TRADISI KREMASI DI GEREJA KATOLIK

Dipublikasikan tanggal 28 October 2016

TRADISI KREMASI DI GEREJA KATOLIK

Menyambut Instruksi Ad Resurgendum cum Christo

Sebelum Konsili Vatikan II, Gereja melarang kremasi. Alasan pertamanya adalah bahwa kremasi merupakan praktik kekafiran. Di abad-abad pertama Kekaisaran Romawi menunjukkan sifat bermusuhan terhadap Gereja. Orang-orang Kristen dibunuh dan mayatnya dibakar, lalu abunya ditebarkan. Dengan cara ini orang-orang Romawi ingin memastikan bahwa tidak ada kemungkinan lagi bagi Allah umat Kristen untuk mempersatukan tubuh dan jiwa para martir seperti yang diajarkan oleh para rasul. Namun, Gereja pernah mengeluarkan izin kremasi dalam kondisi darurat, misalnya dalam masa berkecamuk wabah penyakit di Eropa pada abad pertengahan. Alasan kedua adalah bahwa Gereja memandang tubuh manusia sebagai Bait Allah yang kudus (1 Kor 3:16). Bait Allah ini perlu diperlakukan dengan penuh rasa hormat mulai dari pembuahannya, selama masa hidupnya, pada saat dan juga sesudah kematiannya. Oleh karena itu, Gereja selalu mengajarkan bahwa jenazah dan abu kremasi  wajib diperlakukan  dengan penuh rasa hormat sama seperti perlakuan terhadap tubuh manusia. Hal ini disebutkan dalam Tata Cara Pemakaman Katolik (Order of Christian Funerals).

Dalam Konsili Vatikan II dimulai diskusi tentang bagaimana cara melaksanakan praktik kremasi sehingga sesuai dengan tata cara pemakaman Katolik dan dengan tetap memperlakukan tubuh secara hormat. Tidak dapat disangkal lagi bahwa kremasi kerap merupakan kebiasaan lokal, atau dibutuhkan karena alasan kesehatan dan ekonomi serta sudah bukan merupakan kegiatan anti Kristen lagi. Akhirnya pada tanggal 8 Mei 1963 Paus Pius VI mencabut larangan kremasi dengan mempublikasikan Instruksi Apostolik Piam et Constantem. Sikap Gereja yang mengizinkan praktik kremasi tersebut akhirnya dituangkan dalam Kitab Hukum Kanonik 1176 pasal 3 yang berbunyi, “Gereja menganjurkan dengan sangat, agar kebiasaan saleh untuk mengebumikan jenazah dipertahankan; namun Gereja tidak melarang kremasi, kecuali cara itu dipilih demi alasan-alasan yang bertentangan dengan ajaran kristiani.” Dengan demikian, walaupun kremasi sekarang diizinkan, Gereja tetap menganjurkan pemakaman sebagai pilihan pertama dan utama. Penyempurnaan abu jenazah juga mendapat perhatian yang penting. Gereja memandang bahwa abu jenazah wajib diperlakukan dengan penuh rasa hormat, sama seperti perlakuan terhadap tubuh manusia. Maka, Gereja menyatakan bahwa abu jenazah sedapat mungkin dikebumikan di pemakaman, terutama pemakaman Katolik. Praktik menebarkan abu kremasi dari udara, ke dalam laut atau di atas permukaan tanah serta menyimpan abu jenazah di dalam rumah bukanlah merupakan perlakuan yang layak akan martabat manusia yang telah dikremasi menjadi abu.

Bejana Berisi Abu Kremasi di Sebuah Mausoleum di kota New York

Pada tanggal 15 Agustus 2016 Tahta Suci mengeluarkan sebuah dokumen tentang pemakaman dan penyempurnaan abu kremasi. Instruksi ini diuraikan oleh Kongregasi bagi Doktrin Iman (Congregatio por Doctrina Fidei) yang dipimpin oleh Kardinal Gerhard Müller dan berjudul Ad resurgendum cum Christo, serta dipublikasikan pada tanggal 25 Oktober 2016. Bila tidak dikebumikan, abu kremasi harus disemayamkan di tempat yang suci misalnya pemakaman atau dalam kasus tertentu kompleks gereja serta tempat yang khusus disiapkan untuk menyimpan abu kremasi (kolumbarium). Gereja dengan tegas melarang menyimpan abu kremasi di dalam rumah, kecuali dalam keadaan tertentu yang berkaitan dengan kondisi budaya dan karakter lokal atas izin Ordinaris Wilayah (Uskup). Abu kremasi juga tidak boleh dibagi-bagi penyimpanannya di antara para anggota keluarga. Gereja pun tidak mengizinkan abu jenazah disimpan dalam benda-benda peringatan, perhiasan, dan benda-benda lainnya.

Apa latar belakang dikeluarkannya Instruksi Apostolik Ad Resurgendum cum Christo? Kongregrasi bagi Doktrin Iman memandang bahwa praktik kremasi telah menyebar ke sangat banyak negara dan pada saat yang sama ide-ide baru yang bertentangan dengan iman Gereja juga mewarnai praktik kremasi.  Dalam dokumen tersebut Gereja mengingatkan sekali lagi bahwa pemakaman merupakan cara pertama dan utama serta cara yang paling tepat untuk mengungkapkan iman dan pengharapan akan kebangkitan badan. Selain itu, Gereja menyoroti martabat yang luhur dari tubuh manusia sebagai bagian integral dari insan itu sendiri. Maka, Gereja tidak bisa membiarkan keyakinan dan ibadat yang keliru dalam hal kematian. Beberapa keyakinan modern yang keliru tersebut misalnya paham bahwa kematian adalah akhir dari sejarah manusia, bahwa kematian adalah peleburan manusia dengan alam semesta,  bahwa kematian adalah proses dari reinkarnasi atau pendapat bahwa kematian adalah pembebasan jiwa dari penjara raga.

Abu Kremasi Harus Diperlakukan dengan Penuh Rasa Hormat akan Martabat Manusia

Lalu bagaimana halnya dengan praktik melarung atau memakamkan abu kremasi di laut? Instruksi baru tentang pemakaman dan kremasi tidak menyinggung masalah ini. Sebagaimana pemahaman tentang pemakaman, maka cara yang selama ini dianggap paling tepat adalah dengan membenamkan guci abu ke dasar laut. Abu jenazah bukan ditebarkan di permukaan laut, melainkan ditenggelamkan ke dasar laut dengan menggunakan guci. Guci yang tepat adalah guci yang memiliki lubang pada dasar dan tutup guci sehingga memudahkan air untuk masuk ke dalam guci dan dengan demikian membenamkannya ke dasar laut. Perhatian juga harus diberikan kepada tutup guci agar tidak mudah terbuka sehingga menceraiberaikan abu kremasi. Apakah ada pedoman baru tentang cara memakamkan abu kremasi di laut, nampaknya kita masih harus menunggu petunjuk dari Konperensi Waligereja Indonesia.