PERNIKAHAN KATOLIK

Dipublikasikan tanggal 24 February 2017

PERNIKAHAN KATOLIK

Apa Yang Telah Dipersatukan Allah, Tidak Boleh Diceraikan Manusia!

Bacaan Injil hari ini mengisahkan tentang percakapan antara orang-orang Farisi dengan Yesus mengenai masalah perceraian. Kata “perceraian” menjadi sangat lumrah dalam kehidupan sekarang ini, terutama di kalangan selebritis, sehingga media sosial berlomba-lomba untuk memberitakan tentang hal ini. Lalu, bagaimana sikap dan pandangan Yesus?

Dengan tegas Yesus melarang perceraian. Perkawinan adalah lembaga yang diciptakan oleh Allah sendiri. Sejak semula Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, supaya mereka bisa saling melengkapi dan menyempurnakan. Perkawinan memiliki sifat-sifat hakiki, yaitu monogami dan tidak terceraikan (indisolubilitas). Karena hidup perkawinan merupakan panggilan yang bersifat luhur dan mulia, maka dibutuhkan komitmen yang sangat tinggi. Yesus mengatakan, “… laki-laki akan meninggalkan  ayahnya dan ibunya …”. Kata “meninggalkan” berarti membuat komitmen yang pasti dan jelas meninggalkan zona nyaman.

Panggilan Hidup Perkawinan Menuntut Komitmen dan Tanggung Jawab yang Tinggi

Kanon 1061 Kitab Hukum Kanonik menyatakan bahwa perkawinan sah (ratum) bila terjadi antara orang-orang yang dibaptis dan disempurnakan (consummatum) dengan persetubuhan. Yesus juga mengatakan, “…laki-laki … bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.” (Mrk 10:7). Perkawinan yang ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa mana pun, kecuali kematian (kanon 1141). Hal ini ditegaskan pula oleh Yesus, “…apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mrk 10:9).

Lalu bagaimana dengan perkawinan antara orang Katolik dan orang non-Katolik? Gereja memiliki kuasa untuk mengatur perkawinan umatnya, meskipun hanya salah satu dari pasutri yang beriman Katolik. Perkawinan mereka baru sah kalau dilangsungkan menurut norma-norma hukum kanonik (Gereja). Kawin campur dalam Gereja Katolik ada dua jenis: beda Gereja (mixta religio) dan beda ágama (disparitas cultus). Kawin campur beda Gereja adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis Katolik dengan seorang yang dibaptis bukan Katolik (Kristen Protestan, Anglikan, Ortodoks). Sedangkan perkawinan beda agama adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis Katolik dengan seorang yang tidak dibaptis (Islam, Hindu, Budha, Sinto, dll.) atau yang baptisannya tidak diakui oleh Gereja Katolik. Kawin campur beda Gereja membutuhkan izin dan kawin campur beda agama membutuhkan dispensasi dari otoritas Gereja yang berwenang (ordinaris wilayah).

Gereja Katolik dalam hukum kanoniknya mengenal istilah pembatalan perkawinan (nullitas matrimonii). Dalam konteks studi hukum Gereja, kasus pembatalan perkawinan adalah kasus di mana perjanjian perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan tidak sah sehingga tidak tercipta sebuah perkawinan. Oleh karenanya, meskipun sebuah perkawinan telah dilangsungkan, dalam perkembangan selanjutnya bisa ditinjau kembali apabila pihak-pihak tertentu yang  menggugat dengan mengemukakan adanya halangan-halangan perkawinan. Ada bermacam-macam halangan yang dapat menggagalkan perkawinan (kanon 1083-1094), salah satunya misalnya impotensi (kanon 1084). Sebuah perkawinan harus disempurnakan dengan persetubuhan, maka impotensi mencegah suami dan istri mewujudkan persatuan heteroseksual. Halangan lain misalnya hubungan darah (kanon 1091). Kitab Suci melarang hubungan seksual antara sesama anggota keluarga seperti diuraikan dalam perikop tentang kudusnya perkawinan (Im 18:1-30). Dalam Mat 19:9 Yesus menegaskan, “…Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” Ungkapan “kecuali karena zinah” menyiratkan bahwa ada perkawinan yang menjadi tidak sah karena ada halangan yang menggagalkannya.

Gereja Katolik juga mengenal privilese Paulinum. Privilese Paulinum adalah pemutusan ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak dibaptis (non-Katolik) pada saat menikah. Dasarnya adalah surat Paulus kepada jemaat di Korintus (1 Kor 7:12-16). Syarat-syarat untuk dapat diproses privilese Paulinum adalah:

  • Suami dan istri belum dibaptis pada saat menikah
  • Salah satu pihak menerima pembaptisan setelah menikah dan pihak yang lain tetap tidak dibaptis.
  • Pihak yang tidak dibaptis (non-Katolik) meninggalkan pihak yang dibaptis (Katolik), atau membuat pihak yang dibaptis (Katolik) tidak dapat hidup secara damai dengannya, karena tidak dapat mengamalkan imannya.

Perkawinan yang ratum tapi non consummatum dapat diputuskan dengan privilese Petrinum atau demi iman (in favorem fidei). Kanon 1142 menyatakan bahwa perkawinan yang belum disempurnakan dengan persetubuhan antara orang yang dibaptis (Katolik) dan orang yang tidak dibaptis (non-Katolik) dapat diputus oleh Sri Paus, pemangku jabatan Petrus, wakil Kristus di dunia ini. Privilese ini diambil karena kepentingan iman, karena kepentingan iman mengalahkan kepentingan perkawinan.

Luhurnya nilai perkawinan apakah menurunkan martabat hidup selibat? Tidak sama sekali. Dalam Mat 19:12 Yesus menegaskan, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” Panggilan hidup selibat dengan kaul kemurnian merupakan panggilan hidup yang setara martabatnya dengan panggilan hidup perkawinan. Maka, tahbisan suci (kanon 1087) dan kaul kemurnian dalam tarekat religius (kanon 1088) juga merupakan halangan yang dapat menggagalkan perkawinan.

Panggilan Hidup Selibat Sama Martabatnya dengan Panggilan Hidup Perkawinan