PERTOBATAN

Dipublikasikan tanggal 30 November -0001

PERTOBATAN

Bagaimana Mengisi Masa Prapaskah?

Tidak terasa hari Minggu ini kita sudah memasuki hari Minggu Prapaskah III. Masa Prapaskah yang dimulai dengan hari Rabu Abu memiliki makna untuk membina semangat pertobatan umat beriman. Ada dua kata Yunani yang merupakan padanan kata “pertobatan” yakni “metanoia” dan “metamelomai”. Kata pertama jauh lebih sering dipergunakan dalam Perjanjian Baru. Kata “metanoia” berasal dari dua kata Yunani “meta” yang artinya “melampaui” dan “noeo” yang berarti “pikiran”. Maka, secara harafiah “metanoia” berarti “perubahan pikiran”.

Dalam konteks kekristenan kata “metanoia” memiliki arti yang lebih spesifik yang berarti “pertobatan“. Ketika menerima tanda abu di dahi pada hari Rabu abu, kita mendengar imam atau prodiakon berseru, “Bertobatlah, Kerajaan Surga sudah dekat!” (Mat 3:2) yang dalam bahasa Yunani berbunyi, “Metanoeite engiken gar he basileia ton ouranon.” Jadi arti bertobat adalah mengubah pikiran sehingga manusia bisa memahami kehendak Allah dan mengalami perubahan hidup.

Metanoia Berarti Berubah Pikiran dan Mengalami Perubahan Hidup

Tentu saja pertobatan erat kaitannya dengan dosa. Bertobat artinya mengubah pikiran dan hidup agar tidak berbuat dosa lagi. Kini kita mencoba untuk mencermati bacaan Injil pada hari Rabu Abu yang diambil dari Mat 6:1-6,16-18. Bacaan ini menyoroti apa yang harus dilakukan oleh pengikut Kristus apabila mereka melaksanakan kewajiban agama seperti memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa. Apa hubungan ketiga hal ini dengan pertobatan?

Untuk itu kita harus memahami arti kata dosa. Dosa artinya perbuatan manusia yang merusak hubungan manusia dengan Allah, sesama, dan diri sendiri. Akibat dosa yang merusak hubungan manusia dengan Allah nampak dalam kisah manusia pertama jatuh ke dalam dosa (Kej 3). Dosa juga merusak hubungan antara manusia dan sesama, seperti dilukiskan dalam kisah Kain dan Habil (Kej 4). Dosa juga merusak hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri seperti pergumulan Daud dalam Mzm 51:5, “Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku.” Pertobatan adalah berbalik dari kehidupan dalam dosa dan kembali kepada kehendak Allah. Maka, pada dasarnya pertobatan menuntut upaya manusia untuk memperbaiki hubungan yang rusak akibat dosa baik dengan Allah, sesama, maupun dengan diri sendiri. Maka pertobatan harus dijalankan dengan sungguh-sungguh melalui beberapa upaya misalnya:

  1. Demi memperbaiki hubungan dengan Allah lewat doa, devosi Jalan Salib, mengikuti perayaan ekaristi, mengikuti pendalaman iman APP, menerima Sakramen Tobat dll.
  2. Demi memperbaiki hubungan dengan sesama lewat perbuatan-perbuatan amal (sedekah, mengisi amplop APP, dll)
  3. Demi memperbaiki hubungan dengan diri sendiri lewat puasa, pantang, dan mati raga.

Apa yang harus kita persembahkan kepada Allah lewat pertobatan kita selain dari melaksanakan kewajiban-kewajiban agama tersebut di atas? Tentu saja penyesalan akan dosa-dosa yang telah dilakukan, niat yang kuat untuk tidak berbuat dosa lagi, dan percaya akan kerahiman Allah. Maka, pertobatan sejati selayaknya merupakan pertobatan batin, yang berangkat dari sebuah dinamika penyesalan, seperti diucapkan Daud, “Kurban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.” (Mzm 51:19). Orang yang sungguh bertobat pasti berharap penuh pada kerahiman Allah.

Pertobatan Berangkat dari Dinamika Penyesalan dan Berharap Penuh pada Kerahiman Allah

Jelaslah bahwa pertobatan tidak hanya berciri lahiriah dan sosial, tetapi juga batiniah dan individual. Masa Prapaskah ini dapat dianggap sebagai sebuah “Retret Agung” yang mengajak umat beriman untuk semakin rajin berdoa dan mendengarkan Sabda Allah. Di samping itu umat juga diajak untuk membangun niat pertobatan yang diwujudnyatakan secara konkret baik di tengah keluarga, komunitas, Gereja, dan masyarakat, sehingga layak merayakan misteri Paskah.