DINAMIKA KAPITEL ORDO SAUDARA DINA KONVENTUAL

Dipublikasikan tanggal 07 August 2017

DINAMIKA KAPITEL ORDO SAUDARA DINA KONVENTUAL

Kustodia Provinsi Maria Tak Bernoda

Kehadiran para Saudara Dina Konventual dimulai pada tahun 1968 dengan kedatangan para saudara dari Provinsi Bologna Italia. Sebelumnya memang beberapa saudara dari negeri Belanda sempat bermisi di pulau Jawa, namun mereka akhirnya meninggalkan negeri Indonesia secara definitif. Pada saat ini kehadiran para saudara dina Konventual tumbuh pesat terutama di Sumatera Utara, Sumatra Selatan (Lampung), Jawa (Jakarta), dan Timor (Kefamenanu). Ditambah dengan misi di Kalimantan (Nunukan), jumlah komunitas para saudara dina Konventual mencapai sepuluh unit. Jumlah saudara yang hadir di Indonesia adalah 68 orang dan sekitar 40-an calon imam sedang menempuh pendidikan.

Karisma fransiskan hidup dalam berbagai karya pelayanan: pastoral parokial, sekolah, pusat spiritualitas, dan pelayanan sosio-karitatif (misalnya panti asuhan). Mereka menghadirkan wajah fransiskan Indonesia yang bernafaskan Injil dan diinkulturasikan dalam berbagai karakteristik budaya Indonesia. Kasih dan keindahan hidup fransiskan tidak berupaya “mengitalianisasi”, melainkan memadukannya dengan budaya tanah Indonesia.  

Momen-momen pelaksanaan Kapitel dibagi menjadi dua bagian dengan masa reses. Satu keputusan penting dalam Kapitel ini dan didukung dengan suara mayoritas absolut menyatakan bahwa Kustodia meminta kepada Ordo melalui Provinsi Antonius Padua untuk menjadi provinsi. Ini adalah sebuah langkah signifikatif dalam tekad dan keinginan untuk mengukir sejarah dengan penuh tanggung jawab.

Pada saat yang bersamaan dilaksanakan pula pemberkatan sebuah sekolah di Tiga Juhar pada hari Minggu tanggal 30 Juli 2017. Proyek pembangunan sekolah ini dibiayai dengan santunan dana dari Messagero di S. Antonio dan Caritas Antoniana. Berkenan pula hadir pada saat yang membahagiakan tersebut Bapak Prof. Dr. Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Sekolah yang pada mulanya akan diberi nama St. Antonius Padua ini,  menampung anak-anak didik dari daerah sekitar yang kesulitan mencari sekolah yang berlokasi di dekat rumah. Sekolah ini juga melayani murid-murid yang beragama lain (non Katolik). Karena alasan ekumenis, akhirnya sekolah ini diberi nama “Satu Padu”. Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia sejak berabad-abad lamanya. Hal yang menarik adalah bahwa dalam kata “Satu Padu” juga tersirat nama Santo Antonius Padua. Maka, gambar sang orang kudus ini dihadirkan dalam salib Tau pada logo sekolah.

Sumber: P. Giovanni Voltan, OFMConv