KITA BHINNEKA KITA INDONESIA

Dipublikasikan tanggal 15 January 2018

KITA BHINNEKA, KITA INDONESIA

Merajut Persatuan di Tengah Keragaman

Seorang ahli Taurat mencobai Yesus dengan mengajukan sebuah pertanyaan yang menjebak, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (bdk. Luk 10:25) Seperti biasa, Yesus tidak mudah untuk dijebak, dan jawaban-Nya selalu skak mat, “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Kemudian dengan  mahir sang ahli Taurat menjawab pertanyaan Yesus, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. “ Tidak percuma dia belajar Kitab Suci karena dengan segera dia dapat mengutip dua ayat dari Ul 6:5 dan Im 19:18.

Seakan tidak mau kalah set sang ahli Taurat kembali mencoba menjebak Yesus dengan pertanyaan, “Siapakah sesamaku manusia?” Kali ini Yesus menjawab pertanyaan sang guru Kitab Suci dengan menceritakan sebuah kisah. Kisah ini sangat terkenal dan menjadi inspirasi bagi para seniman dalam karya-karya mereka, yakni kisah tentang  orang Samaria yang murah hati.

Mungkin kita perlu menggali sedikit informasi tentang siapakan orang Samaria. Sejak raja Salomo mangkat, kerajaan Israel terpecah menjadi dua: kerajaan Utara (Israel) dengan ibukotanya di Samaria dan kerajaan Selatan (Yudea) dengan ibukotanya di Yerusalem. Pada tahun 721 SM kerajaan Utara jatuh ke tangan bangsa Asyur. Untuk mempertahankan stabilitas di daerah jajahan, bangsa Asyur membuat kebijakan dengan membuang sebagian penduduk kerajaan Utara ke Asyur dan sebaliknya mengirimkan banyak penduduk asing ke kerajaan Utara. Dari sanalah kita mengenal orang Samaria, “blasteran” Yahudi dan bangsa asing. Orang Yahudi memang tidak menyukai orang Samaria karena mereka dianggap bukan asli Yahudi; issue orang Yahudi dan orang Samaria adalah issue pribumi dan non pribumi.

Di bidang keagamaan juga ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Samaria. Orang Samaria hanya menerima kelima kitab Taurat sebagai kitab suci mereka. Kitab nabi-nabi dan tulisan lain tidak diterima sebagai kitab suci mereka. Kalau orang Yahudi memusatkan ibadah di Bait Allah di kota Yerusalem, orang Samaria juga memiliki “Bait Allah” sendiri di Gunung Gerizim. Hal ini disebabkan karena pasca pembuangan Babel, orang Yahudi mulai memikirkan “kemurnian” identitas dan agama Yahudi. Uluran tangan orang Samaria untuk membantu pembangunan kembali Bait Allah ditolak mentah-mentah oleh orang Yahudi. Maka, berbicara tentang orang Yahudi dan orang Samaria juga berbicara tentang issue beda agama.

Kisah orang Samaria yang murah hati begitu terkenal sehingga tidak perlu diulang lagi di sini. Kisah ini menceritakan tentang bagaimana seorang Yahudi dirampok dan ditinggalkan setengah mati di tengah jalan. Ada dua orang yang lewat: seorang imam dan seorang Lewi. Mereka menjauhi korban perampokan karena mengira dia sudah mati dan tentu saja bersentuhan dengan mayat akan menajiskan mereka dari tugas pelayanan keagamaan. Orang ketiga yang lewat adalah orang Samaria, orang yang beda ras dan agama dengan orang Yahudi. Namun, justru dia yang tampil sebagai tokoh protagonis dalam cerita Yesus. Apa yang menyebabkan orang Samaria itu menolong orang Yahudi yang kerampokan di tengah jalan? Luk 10:33 mencatat bahwa hatinya tergerak oleh “belas kasihan”.

Tahun 2018 ditetapkan oleh Keuskupan Agung Jakarta sebagai Tahun Persatuan dengan tema “Amalkan Pancasila: Kita Bhinneka Kita Indonesia”. Kata “bhinneka” bukan kata asing dalam kehidupan berbangsa di negeri ini. Semboyan Republik Indonesia adalah “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya “berbeda-beda namun tetap satu”. Semboyan ini dikutip dari kitab abad ke-14 Sutasoma karangan Mpu Tantular. Mpu Tantular hidup di zaman kerajaan Majapahit dan kitab ini mengajarkan tentang toleransi antara umat Hindu dengan umat Budha.

Lalu, apa yang dapat direnungkan dari kisah orang Samaria yang murah hati tentang kebhinnekaan? Beberapa hal yang mungkin dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:

  1. Berbicara tentang kebhinnekaan berarti menjauhkan manusia dari kotak-kotak yang membatasi seperti suku, agama, ras, dan golongan, sama seperti yang dilakukan oleh orang Samaria terhadap orang Yahudi yang kerampokan.
  2. Kebhinekaan tidak cukup bahkan tidak mungkin apabila hanya menjadi dialog tingkat atas, dialog antar tokoh dan pemimpin agama saja. Kebhinekaan justru harus dirajut di tingkat akar rumput, di tingkat masyarakat yang harus berbagi ruang hidup yang sama di tengah perbedaan. Kisah orang Samaria yang murah hati membuktikan bahwa imam dan orang Lewi tidak bisa mewujudnyatakan kebhinnekaan.
  3. Kunci dari ajaran Yesus dalam kisah orang Samaria yang murah hati adalah belas kasih. Berbicara tentang kebhinnekaan berarti berbicara tentang belas kasih, maka terlebih dahulu manusia harus mengosongkan hatinya dari segala jenis kebencian.

Tahun Persatuan digongkan pada tanggal 6 Januari 2018 yang lalu. Inisiatif Keuskupan Agung Jakarta yang mulia ini tentu tidak akan berbuah banyak apabila hanya menjadi pekerjaan rumah Panitia Tahun Persatuan, para pastor atau anggota Dewan Paroki semata-mata. Semua umat Katolik harus menyadari bahwa ini semua  merupakan tanggung jawab bersama. Merajut kebhinnekaan adalah ajaran Kristus. Maka, Dia tidak ragu untuk menutup pembicaraan-Nya dengan sang ahli Taurat sebagai berikut, “Pergilah dan perbuatlah demikian!” (bdk. Luk 10:37) Hal ini berarti jadilah manusia yang memahami kebhinnekaan, jadilah manusia yang menunjukkan belas kasih kepada sesama.

Merajut Kebhinnekaan, Meneguhkan Pancasila