MENGAMPUNI TUJUH PULUH KALI TUJUH KALI

Dipublikasikan tanggal 06 March 2018

MENGAMPUNI TUJUH PULUH KALI TUJUH KALI
Ampunilah Sesamamu Sama Seperti Allah Mengampunimu!

Lamekh adalah keturunan Kain, salah seorang anak Adam. Ketika Kain membunuh saudaranya Habel, Tuhan menaruh tanda pada Kain bahwa jika seseorang membunuh Kain, dia akan membayar tujuh kali lipat. Suatu hari, seseorang melukai Lamekh, dan dia membalas dendam dengan membunuhnya dan berkata, "Aku telah membunuh seorang pria karena dia melukaiku, jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh kali tujuh kali lipat." (bdk. Kej 4: 23-24) Dalam pikirannya, hal itu dibenarkan, karena siapa pun yang melukainya, sudah tahu sebelumnya apa yang akan terjadi padanya. Filosofi Lamekh adalah "jika Anda menyakiti saya, saya balas menyakitimu, dan bukan hanya sekali tetapi tujuh puluh kali tujuh kali". Semangat balas dendam tidak pernah memuaskan hati manusia.
Sama seperti Lamekh, mungkin Petrus juga dilukai oleh orang dekatnya, bahkan mungkin lebih dari sekali. Maka, dia mendekati Yesus dan bertanya kepadanya, “Berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali? (bdk. Mat18: 21b). Petrus mengira bahwa dia sudah sangat bermurah hati dan mengharapkan Yesus untuk menepuk punggungnya sambil memujinya. Mungkin dia merasa kecewa ketika Yesus "mematahkan" egonya dengan mengatakan kepadanya untuk memaafkan pelaku bukan "... sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali."(bdk. Mat 18:22).
Yesus mengenal Kitab Suci dengan sangat baik, dan Dia sengaja memilih filosofi Lamekh dan mengoreksinya. Manusia dapat mengikuti jejak Lamekh dengan membalas dendam, atau mengikuti Yesus dengan memberikan pengampunan. Namun, manusia tidak mungkin membalas dendam sambil mengampuni. Manusia harus memilih!
Yesus mengajarkan bahwa manusia harus terus mengampuni karena telah menerima pengampunan dari Allah. Pengampunan Allah bersifat tanpa batas, tanpa syarat, dan tuntas. Kita mungkin sukar mengampuni orang lain karena sudah begitu dikecewakan dan disakiti olehnya. Tetapi, Tuhan Yesus memberi teladan dengan mengampuni orang-orang yang sudah menyiksa-Nya bahkan menyalibkan-Nya. Oleh karena itu, apakah masih ada alasan untuk kita tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita?
Sama seperti Petrus, kita pun hampir tidak memiliki kemampuan untuk mengampuni, apalagi mengampuni tanpa batas dan dengan sepenuh hati. Namun, Yesus meminta kita untuk merenungkan satu hal. Andaikan Allah memberlakukan keadilan dan bukannya cinta kasih kepada kita, bagaimana nasib kita? Orang yang sungguh menghayati pengampunan Allah wajib meneruskan pengampunan itu kepada sesamanya. Sebaliknya, orang yang belum mengalami pengampunan Allah, memang mustahil untuk meneruskan misi pengampunan itu. 

Tuhan Mengajarkan Kita untuk Mengampuni Tanpa Batas