BAGI ALLAH TIDAK ADA YANG MUSTAHIL

Dipublikasikan tanggal 09 April 2018

BAGI ALLAH TIDAK ADA YANG  MUSTAHIL

Ayah dan Anak Akan Ditahbiskan di Amerika Serikat

Sebuah peristiwa langka terjadi di Gereja Katolik. Seorang ayah dan anaknya akan ditahbiskan menjadi imam di Amerika Serikat. Mereka adalah Frater Peter Infanger dan putranya Diakon Andrew Infanger. Peter, yang berusia 63 tahun, menduda pada tahun 2013 ketika istrinya Michelle meninggal dunia karena kanker payudara. Pada tahun yang sama putranya Andrew diterima di Seminari Santo Fransiskus dari Sales, Keuskupan Agung Milwaukee, Wisconsin.

Setelah menjadi duda, Peter mengikuti proses discernment panggilan dan pada tahun 2014 diterima menjadi seorang seminaris. Pada tahun ini dia menyelesaikan tahun keempat studinya di Seminari Mundelein di luar kota  Chicago (Illinois). Jika semua berjalan lancar, tahun depan dia akan ditahbiskan menjadi diakon dan akan mengikuti jejak putranya menjadi imam. Andrew yang berusia 30 tahun akan ditahbiskan menjadi imam dalam waktu kurang dari dua bulan. Menurut Diakon Andrew peristiwa ini langka terjadi, karena pada umumnya orang-orang seusia ayahnya akan didiskualifikasi sebagai calon imam. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan kasus demi kasus, akhirnya Peter Infanger diterima menjadi calon imam, mungkin karena kondisi kesehatannya dan kemampuannya mengikuti studi filsafat dan teologi.

Peter Infanger mengatakan bahwa kematian istrinya dalah mimpi terburuk dalam hidupnya, namun Tuhan ternyata membawanya ke dalam panggilan kedua untuk melayani sesama. Banyak temannya  pun meragukan panggilannya, terlebih karena dia sudah mengecap hidup perkawinan selama 34 tahun. Komunitas di Milwaukee meyakini bahwa hubungan antara ayah dan anak itu sangat baik.

Sebagai seorang pemuda  Andrew menghadiri Misa setiap hari Minggu. Dia aktif dalam kegiatan-kegiatan paroki dan menghabiskan sebagian musim panasnya di sebuah kamp yang dikelola oleh biarawan Benediktin. Ia memperoleh gelar S2 dalam bidang teologi di sebuah universitas Katolik. Meskipun demikian, dia tidak pernah menganggap dirinya sebagai teladan Kristiani atau cukup saleh untuk menjadi imam hingga pada suatu waktu dalam hidupnya dia menerima panggilan Tuhan untuk menjadi imam. Menurut P. Timothy Kitzke yang menjadi mentornya, Diakon Andrew adalah seorang yang cerdas dan sangat komunikatif. Setelah ditahbiskan,  Andrew akan dikirim ke West Bend, di mana dia akan melayani di paroki St. Francis Cabrini dan St. Mary Immaculate Conception.

Sedangkan Peter mengalami peristiwa panggilan yang berbeda. Ketika berusia 34 tahun dan Andrew masih berusia 2 tahun, dia ingin berhenti dari pekerjaannya dan melakukan pekerjaan amal di yayasan Katolik. Istrinyalah yang menyarankan agar dia terus bekerja sambil aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di luar jam kerja. Hal itu dilakukannya selama 10 tahun, di mana dia bekerja di Kementrian Pengadilan Pidana sambil menjadi katekis dan relawan di parokinya. Kemudian, dia juga mulai mempelajari Kitab Suci. Setelah istrinya meninggal, Peter merasa harus mengambil keputusan. Diakon Andrew, yang pada saat itu masih menjadi seminaris, mendampingi sang ayah hingga akhirnya memutuskan untuk masuk seminari.

Untuk memastikan panggilannya, Peter berkonsultasi dengan Uskup Joliet (Illinois) dan Uskup Daniel Conlon, yang akhirnya memberikan persetujuannya. Dalam sebuah pernyataan Uskup Conlon menegaskan bahwa meskipun Peter Infanger berada di atas batasan usia untuk seorang seminaris, tetapi Gereja berkarya di bawah rahmat Allah dan segala sesuatu mungkin saja terjadi. Kasus Peter Infanger  membuktikan bahwa Tuhan benar-benar memanggilnya untuk melayani. Peter juga yakin bahwa almarhumah istrinya pasti bersukacita atas keputusan yang diambilnya. Dia mengisahkan bagaimana istrinya begitu bangga bahwa anaknya menjadi calon imam dan menceritakan hal itu kepada seluruh perawat di rumah sakit.

Sumber : Milwaukee Journal Sentinel