MANTILA YANG SEMAKIN DIMINATI

Dipublikasikan tanggal 07 June 2018

MANTILA YANG SEMAKIN DIMINATI

Fenomena Kerudung yang Semakin Marak

Sejak beberapa waktu yang lalu para putri altar Paroki Sunter bertugas dengan penampilan berbeda. Mereka memakai kerudung atau yang kerap disebut “mantila”. Fenomena penggunaan mantila selama perayaan Ekaristi semakin marak akhir-akhir ini terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Meskipun demikian, masih terjadi pro dan kontra dalam hal pemakaian mantila selama perayaan Ekaristi, sehingga majalah Hidup pernah membahas hal ini bersama P. Hieronimus Sridanto Ariwibowo Nataantaka, Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Agung Jakarta dalam edisi bulan Agustus tahun lalu.

Sumber Kitab Suci yang biasa dikutip sebagai dasar pemakaian mantila dalam perayaan Ekaristi adalah 1 Kor 11:4-16 terutama ayat 5 dan 6 yang berbunyi, “Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.” Teks ini tidak serta-merta menyatakan bahwa wanita wajib memakai kerudung pada saat beribadah tanpa memahami konteks penulisan 1 Kor.

Sebagai sebuah kota pelabuhan yang letaknya sangat strategis, Korintus dikenal dengan sebutan “Kota Birahi”. Korintus sarat dengan rumah-rumah prostitusi, dan praktik itu sudah menjadi hal yang biasa bagi penduduk kotanya. Kota ini juga merupakan pusat penyembahan berhala, salah satunya kepada Dewi Venus, dewi kesuburan, yang kuilnya banyak dikunjungi orang. Dewi ini dipuja melalui praktik pelacuran bakti, di mana tersedia imam-imam wanita di kuil Dewi Venus, yang siap melaksanakan “pelacuran atau persundalan bakti” demi pemujaan terhadap Dewi Venus.

Dalam praktik pemujaan Dewi Venus, imam-imam wanita tampil dominan dengan rambut yang terburai dan para pria menjadi umatnya. Praktik semacam ini yang dikritisi oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus. Maka, tidak heran kalau dia menyuruh para wanita untuk memakai kerudung pada saat beribadah. Di lain tempat, dia menyuruh para wanita untuk berdiam diri dalam pertemuan-pertemuan jemaat (bdk. 1 Kor 14:34). Itulah konteks 1 Kor yang perlu dipahami ketika membaca tulisan Paulus tentang hiasan kepala wanita atau kerudung.

Pemakaian kerudung oleh para wanita selama beribadah pernah diwajibkan dalam Kitab Hukum Kanonik 1917 Kanon 1262 pasal 2 yang berbunyi, “pria dalam ibadah tidak perlu memakai tutup kepala, kecuali keadaan-keadaan khusus yang menentukan sebaliknya, dan perempuan harus mengenakan tutup kepala dan berpakaian sopan, terutama ketika mereka mendekati altar Tuhan. “ Praktik pemakaian kerudung mulai pudar pada tahun 70-an dan akhirnya Kitab Hukum Kanonik 1983 menghapuskan pasal tersebut. Dengan demikian, Gereja tidak mewajibkan wanita untuk memakai kerudung/mantila ketika beribadah. Sebaliknya, Gereja tentu saja tidak melarang praktik tersebut. Praktik pemakaian kerudung dipertahankan di beberapa negara terutama di Asia misalnya Korea.

Wanita Korea Memakai Kerudung Selama Perayaan Ekaristi

Lalu, apa sebaiknya yang perlu dipahami oleh seorang wanita yang memakai kerudung ketika beribadah? Kembali ke konteks kota Korintus, kewajiban pemakaian kerudung bagi para wanita adalah simbol dari kesederhanaan dan kerendahan hati. Pada zaman Paulus, seorang wanita dianggap rendah hati dan sederhana apabila memakai kerudung. Hal inilah yang ditekankan oleh Paulus dalam kehadiran mereka di pertemuan-pertemuan jemaat. Para imam wanita pemuja Dewi Venus justru memburaikan rambutnya sebagai simbol dominasi atau kesombongan. Mantila sebagai simbol kesederhanaan dan kerendahan hati tentu saja harus tercermin dalam ucapan dan perilaku si pemakai. Kalau tidak demikian halnya, tentu mantila hanya menjadi “simbol” belaka.