KAMPANYE 16 HARI ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Dipublikasikan tanggal 29 November 2018

KAMPANYE 16 HARI ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Kampanye 16 Hari Anti-kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Aktivitas ini sendiri pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership. Di Indonesia, gerakan ini diinisiasikan oleh Komnas Perempuan.

Setiap tahun kampanye anti-kekerasan terhadap perempuan berlangsung selama 16 hari, dimulai pada tanggal 25 November hingga 10 Desember, yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan seharusnya menjadi kampanye yang penting setiap tahunnya. Tapi gaung akan kampanye ini dirasakan masih kurang greget. Seberapa dari kita yang mengetahui kampanye ini sebelumnya? Di dalam artikel ini, mari kita telusuri data dan fakta yang akan membuat kita tersadar, kenapa kampanye ini menjadi sesuatu yang sangat penting.

Kondisi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia

Kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sudah dalam tahap mengerikan. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat tajam setiap tahun.

Catatan Akhir Tahun 2016 Komnas Perempuan menyatakan, telah terjadi 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan Indonesia sepanjang tahun itu.  Pada 2017, terdapat 348.446 jumlah pelapor yang terekam dalam daftar. Angka ini melonjak tajam dari tahun sebelumnya, bertambah 89.296 kasus atau melonjak 34,46% hanya dalam kurun 1 tahun saja. Ini adalah angka tercatat, dan pasti cukup besar juga angka yang tidak sempat tercatat alias tidak dilaporlan dan tidak terlacak. Di Indonesia, menurut sebuah laporan Reuters, 90 persen kasus perkosaan tidak dilaporkan. Besar dugaan hal itu disebabkan karena korban kerap mengalami tragedi ganda, yaitu tragedi pertama jelas trauma perkosaan itu sendiri, dan yang kedua, jika pun korban melapor, korbanlah yang kerap disalahkan, bahkan pada saat korban melapor ke petugas kepolisian yang seharusnya bertugas melindungi.

Kekerasan di ranah personal masih menempati angka tertinggi. Kekerasan terhadap istri menempati peringkat pertama, disusul kekerasan dalam pacaran, kekerasan terhadap anak perempuan, dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Jenis kekerasan tertinggi adalah kekerasan fisik, diikuti kekerasan seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi. 

Salah satu lembaga bantuan hukum yaitu Lembaga Bantuan Hukum Apik menyajikan data/ fakta bahwa sebagian besar kasus yang ditangani lembaga ini adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Rata-rata kasus yang paling tinggi setiap tahun adalah kekerasan dalam rumah tangga dimana pada tahun 2017, LBH Apik menangani 648 kasus kekerasan terhadap perempuan di wilayah Jabodetabek.

Tema kampanye

Tema besar untuk kampanye pada tahun 2015-2019 adalah “Kekerasan Seksual adalah Kezaliman terhadap Martabat Kemanusiaan”. Pada tahun 2018 ini , tema kampanye dikerucutkan menjadi “Pahami dan Bahas Segera RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”. Tema ini dipilih untuk memperkuat dukungan dalam upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap perempuan, serta perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual.

Khusus di tahun 2018 ini, Pemerintah Indonesia melalui Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) juga turut mengangkat issue Perkawinan Anak yang merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang perlu dicegah. Acara puncak Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2018 direncanakan akan dilakukan dengan  Peluncuran Kampanye Pencegahan Perkawinan Anak dan pemberian penghargaan Kepada Kepala Daerah Tingkat II, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Aktor Pencegahan Perkawinan Anak. Beberapa kegiatan pendukung  juga disiapkan oleh Kementerian dan Lembaga serta berbagai Organisasi Masyarakat Sipil pemerhati perempuan dan anak yang meliputi berbagai kegiatan sosialisasi Pencegahan Perkawinan Anak yang diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia. Pemerintah mengharapkan dengan adanya kegiatan kampanye tahun ini, kesadaran masyarakat semakin tinggi akan dampak dari perkawinan anak sehingga angka kejadian perkawinan anak dapat ditekan.

Dikutip dari Panduan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Tahun 2018 pada website komnasperempun.go.id, kekerasan seksual adalah issue penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada faktor akibat dimensia yang sangat khas bagi perempuan (dimensia: penyakit dengan gejala-gejala yang mana mengakibatkan perubahan pada pasien dalam cara berpikir dan berinteraksi dengan orang lain, yang mempengatuhi memori jangka pendek, pikiran, kemampuan berbicara dan kemampuan motorik, bahkan beberapa bentuk demensia dapat mengubah kepribadian).

Persoalan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Ketimpangan pun bisa makin parah bila pelaku kekerasan memiliki kendali lebih terhadap korban.

Ada 9 tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, antara lain pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Hasil kajian Komnas Perempuan menemukan, sepanjang tahun 2002 s.d 2012 (10 tahun) sedikitnya 35 perempuan Indonesia (termasuk anak perempuan) menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Itu artinya setiap 2 jam ada 3 perempuan Indonesia (termasuk anak perempuan) yang menjadi korban kekerasan seksual. Dan angka ini pastinya makin membesar tiap tahunnya.

Di Indonesia sendiri, ada beberapa jenis kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan. Dari hasil pemantauan Komnas Perempuan, ada 15 jenis kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan di Indonesia, antara lain:

  1. Perkosaan.
  2. Intimidasi/serangan bernuansa seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan.
  3. Pelecehan seksual.
  4. Eksploitasi seksual.
  5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual.
  6. Prostitusi paksa.
  7. Perbudakan seksual.
  8. Pemaksaan perkawinan.
  9. Pemaksaan kehamilan.
  10. Pemaksaan aborsi.
  11. Kontrasepsi/sterilisasi paksa.
  12. Penyiksaan seksual.
  13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuasan seksual.
  14. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan.
  15. Kontrol seksual termasuk aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.

Dari sampling di beberapa kota dan propinsi di Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa pernah melakukan survei bagaimana pria Indonesia memandang perempuan. Laporan "Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent it?"  / “Bagaimana Beberapa Pria Menggunakan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Bagaimana Kita Melakukan Antisipasi” (terbit pada tahun 2013), menunjukkan setidaknya 40 persen responden menganggap perempuan mesti rela mengalami kekerasan agar keluarga tetap bisa bertahan. Rata-rata 97 persen responden meyakini perempuan mesti tunduk pada suami dalam keluarga. Laporan itu juga menyebutkan bahwa ada 21,1 persen pria Papua yang setuju wanita ada kalanya pantas dipukul. Di kota besar, yang diwakili Jakarta, ada 4,9 persen pria yang beranggapan demikian. Adapun di pedesaan (Purworejo), ada 8,5 persen laki-laki yang beranggapan wanita boleh dipukul. Bahkan 85 persen korban kekerasan dalam pacaran terus menjalani hubungan tak sehat. Banyak korban tak punya jalan keluar atau memang dibuat tunduk oleh pasangannya sehingga ia tak bisa lagi berkembang. Di sisi lain, lembaga bantuan pendampingan korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam pacaran/rumah tangga di Indonesia masih sangat sedikit.

Bisa kita lihat bahwa penghapusan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan kerja bersama dan sinergi dari berbagai komponen masyarakat untuk bergerak secara serentak, baik aktivis HAM perempuan, Pemerintah, maupun masyarakat secara umum. Dengan memadainya gaung kampanye, dalam rentang 16 hari, para aktivis HAM perempuan akan mempunyai waktu yang cukup guna membangun strategi pengorganisiran agenda bersama untuk menggalang gerakan solidaritas berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM, misalnya mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan yang lebih baik bagi para survivor (korban yang sudah mampu melampaui pengalaman kekerasan) dan mengajak semua orang untuk turut terlibat aktif sesuai dengan kapasitasnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Selain tujuan-tujuan di atas, gerakan ini juga ingin mengubah sudut pandang dan sikap masyarakat yang cenderung memojokkan dan menghakimi korban. Bahkan sampai saat ini pun masih banyak korban berjatuhan tapi negara belum benar-benar optimal dalam melindungi korban. Bahkan ada korban yang malah ikut disalahkan kemudian dipenjara. Perempuan korban kekerasan pun ada yang sampai kehilangan hak-hak dasarnya sebagai warga negara, sesuatu hal yang sangat keterlaluan.

Contoh kasus kekerasan (pelecehan seksual secara verbal)

Di bawah ini adalah salah satu contoh kasus yang cukup sering terjadi.

Pagi itu, ojek yang dinaiki Janitra Ayu, seorang pekerja di Jakarta, melewati sebuah bus kota dengan jendela terbuka yang isinya penuh laki-laki. Salah satu dari mereka memanggil-manggilnya, meminta Janitra untuk menoleh ke arahnya dan melontarkan komentar seperti “Duh, pagi-pagi udah bikin seger aja, Mbak.” Janitra diam. Ia tak ingin memberikan kesempatan pada dirinya untuk marah. Karena tak digubris, beberapa lelaki dalam bus itu akhirnya ikut bersuara dan bersiul ramai-ramai. Setiap hari, Janitra berangkat ke kantor menggunakan standard seragam kerja: kemeja lengan panjang dan rok selutut. Hanya saja, karena ia memilih naik ojek, rok yang ia pakai sedikit terangkat di atas lutut. “Itu saja. Nothing racy nor provocative about what I wore that day. Kalau saya pakai baju enggak sopan juga pasti disuruh pulang dan ganti bajulah sama atasan saya di kantor,” katanya. Hal menyedihkan lain adalah bukan hanya laki-laki yang menyalahkan cara ia berpakaian, tetapi banyak perempuan juga berkomentar hal serupa. Bahkan ada yang menyatakan secara gamblang bahwa ia layak dilecehkan karena pakaian yang digunakan. “Menurut mereka, saya sendiri yang mengundang kejadian tersebut, saya sendiri yang memberikan akses ke orang lain untuk melecehkan diri saya. Pokoknya saya yang salah,” kata Janitra. Di Jakarta, perilaku catcalling atau pelecehan seksual verbal merupakan peristiwa sehari-hari!!!!!

Dan mengapa pola catcalling bisa dan masih terjadi walaupun di perkotaan besar? Menurut pengamat, karena lebih mudah menyalahkan korban dibanding mencari akar permasalahan. Ketika perempuan juga berkomentar dengan menyalahkan sesama perempuan saat terjadi pelecehan, di bawah sadarnya dia telah masuk menjadi produk yang melegitimasi patriarki (kbbi: perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial), merasa perempuan selalu lebih rendah daripada laki-laki.

Pelecehan verbal melalui gurauan seksis merupakan langkah awal pelecehan yang lebih besar. Akar masalah baik pelecehan seksual maupun verbal adalah relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, kurangnya pemahaman tentang masalah gender, dan edukasi tentang kepedulian. Yang pasti, pria yang melakukan hal tersebut kemungkinan besar kurang edukasi, kurang empati, dan tidak pernah memahami bagaimana merasakan hidup di bawah ketakutan konstan; ketakutan melakukan ini-itu maupun takut bersuara karena tidak sesuai dengan norma sosial. Banyak kaum pria yang masih terjebak pada paradigma purba, pola pikir patriarki yang terlalu terpatri: bahwa mereka lah yang memegang kontrol mengenai salah-benar dalam kehidupan sosial sementara perempuan ditempatkan menjadi pihak yang terdominasi. Masih banyak pria yang kerap menggunakan kekerasan (verbal maupun fisik) untuk mengatasi masalah.

Di Jakarta mulai muncul kesadaran untuk melawan fenomena pelecehan verbal ini. Gerakan ini dinamakan Hollaback! Gerakan ini bertujuan mendorong perempuan berani bicara tentang apa yang dialaminya. Harapannya, dengan berani bicara dan membahas pelecehan yang dialami, perempuan lain bisa belajar dan tahu cara mengantisipasi pelecehan verbal tadi. Selain itu, upaya memetakan daerah rawan pelecehan di jalanan (street harrasment) diharapkan bisa membantu untuk mengatasi permasalahan terkait.

Gerakan Hollaback sendiri awalnya muncul di New York, AS. Di sana Hollaback menjadi wadah bagi perempuan menceritakan pengalamannya dan belakangan hal itu dijadikan bahan untuk membuat kebijakan melindungi perempuan dari pelecehan. Saat ini Hollaback telah ada di 70 kota dan 25 negara di seluruh dunia.

Bagaimana Peran Kita?

Mengambil momentum Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang berlangsung tiap tahun, gerakan ini ingin mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk bergabung. Gerakan ini terbuka bagi siapa saja, tanpa batasan apapun, seperti gender, geografis, golongan, dan kepercayaan. Para pria pun memegang peranan penting dalam kampanye ini. Para pria dapat mengedukasi diri sendiri, dapat saling mengingatkan kalau melihat sesama kaum laki-laki melakukan pelecehan, sehingga dapat memandang perempuan sebagai mitra yang harus dihargai.

Kejadian 2:18

TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."

Penghapusan kekerasan seksual sangatlah penting sebab siapa saja bisa jadi korban. Yang jadi korban bisa saja orang lain, tapi bisa juga orang terdekat: istri atau anak perempuan kita , ibu atau saudara perempuan kita, bahkan diri kita sendiri.

Salah satu langkah paling mudah yang dapat kita lakukan di jaman now: ada beberapa organisasi non pemerintah yang berjuang bersama-sama mewujudkan kepedulian ini. Antara lain indorelawan.org bersama change.org, yang menginisasi Kampanye "The New Me", mengajak masyarakat untuk menyuarakan anti kekerasan terhadap perempuan, menjadi #thenewme yang peduli dengan sesama perempuan dan mau mendengarkan mereka yang belum berani bicara, menjadi sesama perempuan yang selalu mendukung perempuan lainnya, menjadi pria yang peduli dan berempati terhadap para perempuan. Dilihat dari website nya, tugas Relawan Campaigner adalah menyebarkan awareness (materi dan e-poster) tentang 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di media sosial.

Don't cover bruises with makeup, speak up!

Galatia 3:28

“Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.”

Sudahkah kita benar-benar memahami pentingnya penghapusan kekerasan terhadap perempuan? Kini, saatnya kita ikut berperan dalam mengfasilitasi upaya terkait hal ini. Jika masyarakat lebih berpihak pada korban, tidak akan ada lagi korban yang takut bersuara, tidak akan ada lagi pelaku kekerasan yang 'dimaklumi' kejahatannya.

Amsal 14:31

“Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia.”

Menutup artikel ini, juga sebagai informasi dan renungan silakan klik disini

(Artikel dan foto disadur dari berbagai sumber oleh Subsie Kesetaraan Gender - Sie Keadilan dan Perdamaian Paroki Sunter)