KITA ADIL, BANGSA SEJAHTERA

Dipublikasikan tanggal 28 November 2019

KITA ADIL, BANGSA SEJAHTERA

Memasuki Masa Adven 2019

Tahun depan bangsa Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan yang ke-75. Genap 75 tahun yang lalu para pendiri bangsa memaklumatkan kemerdekaan yang berdasarkan suatu cita-cita bersama. Cita-cita itu dituangkan secara agung dalam Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia. Salah satu sila dalam Pancasila, yakni sila kelima berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Di usia bangsa yang ke-75 ini patutlah kita merenungkan apakah keadilan sosial sudah menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari atau sekedar ide yang masih jauh dari pengejawantahannya, jauh panggang dari api? Indikator yang paling jelas adalah tingginya kesenjangan sosial dan masih banyak warga negara Indonesia yang belum terjamin hak-haknya di bidang politik, ekonomi, sosial dan hukum. Memang keadilan didengung-dengungkan di berbagai kesempatan, namun hanya sebatas wacana, obrolan atau diskusi semata.

Namun, bagi Tuhan ketidakadilan bukan hanya pantas didiskusikan atau dibicarakan semata-mata, melainkan harus dicari jalan keluarnya. Mengapa demikian? Karena itulah alasan Tuhan ketika dia mengutus Abraham untuk menjadi bapa bangsa-bangsa. Dalam Kitab Suci kata keadilan muncul pertama kali dalam kitab Kejadian, dalam kisah doa syafaat Abraham untuk Sodom (Kej 18:16-33). Allah memanggil Abraham untuk menjadi bapa bagi bangsa-bangsa dan untuk tetap hidup di jalan Allah dengan melakukan kebenaran dan keadilan (Kej 18:19).

Dalam seluruh peraturan dan pengajaran tentang keadilan, bangsa Israel diingatkan supaya mereka memahami dan mempertahankan hak hidup manusia, terutama mereka yang berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Pengalaman bangsa Israel dalam peristiwa keluaran harus menjadi tolok ukur bagi perhatian mereka kepada orang-orang yang kurang beruntung. Allah bersabda lewat Musa, “Haruslah kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu; itulah sebabnya aku memberi perintah itu kepadamu pada hari ini” (Ul 15:15). Alasan ini pula yang menjadi motif yang mendorong umat Allah untuk menegakkan dan mempromosikan keadilan, seperti prihatin terhadap orang miskin, perlindungan dan pemeliharaan bagi anak-anak yatim dan para janda, juga orang-orang asing. Bangsa Israel juga harus membayar upah yang layak serta menjauhi praktik pinjam-meminjam dengan mengambil riba. Para hakim dan pejabat negara yang melakukan praktik suap dikutuk habis-habisan.

Di samping itu, masih ada beberapa hal praktis lain yang harus diperhatikan oleh orang Israel dalam mewujudkan keadilan, misalnya dengan membagikan harta milik. Ul 24:19-22 berbunyi, “Apabila engkau menuai di ladangmu, lalu terlupa seberkas di ladang, maka janganlah engkau kembali untuk mengambilnya; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda—supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu. Apabila engkau memetik hasil pohon zaitunmu dengan memukul-mukulnya, janganlah engkau memeriksa dahan-dahannya sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda. Apabila engkau mengumpulkan hasil kebun anggurmu, janganlah engkau mengadakan pemetikan sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda. Haruslah kau ingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir; itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini”.

Hal praktis lain lagi yang perlu dilaksanakan oleh bangsa Israel adalah membatalkan hutang-piutang dan mengembalikan kepemilikan kepada para pemilik yang sesungguhnya. Hal ini terjadi pada tahun penghapusan hutang atau tahun Sabat (Ul 15:1-18). Pada tahun ketujuh, mereka juga didesak untuk membuka dan mengulurkan tangan, membantu orang-orang yang membutuhkan dan miskin di negeri mereka, dengan kepercayaan bahwa Allah akan tetap memberkati semua pekerjaan mereka. Dengan melakukan hal-hal demikian, diharapkan, bahwa setiap orang akan terhindar dari penumpukan kekayaan yang berlebihan dan menjamin bahwa ia memiliki sesuatu untuk menghidupi baik dirinya sendiri maupun berbagi dengan orang lain. Secara alkitabiah, perbuatan-perbuatan ini adalah cara Allah untuk menyediakan topangan hidup bagi kaum marjinal.

Semua itu dapat terwujud jika keadilan dibawa ke dalam tatanan hukum dan peraturan, sehingga keputusan yang tepat dan penghakiman yang adil dapat selalu diakses oleh mereka yang terpinggirkan dan tertindas. Merefleksikan semua ini dalam konteks kekinian, berbagai persoalan ketidakadilan yang semakin marak terjadi tampaknya bukan semata akibat ulah orang-orang berdosa yang belum kenal TUHAN, tetapi juga akibat kelalaian umat Allah untuk menghidupi kebenaran-kebenaran Kitab Suci, khususnya yang berkaitan dengan keadilan. Jika memerhatikan dengan seksama tentang realitas sosial yang ada, kita akan terkejut melihat fakta bahwa banyak persoalan ketidakadilan hukum, sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi di sekitar kita yang melibatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, umat Allah atau orang-orang Kristiani. Karena itu, sudah waktunya bagi umat Allah pada masa kini, untuk mendengar kembali dengan sepenuh hati dan melakukan dengan setia apa yang diajarkan oleh Kitab Suci tentang keadilan.

Tujuan semua ini adalah supaya tercapai keseimbangan  dan keadilan baik di hadapan Allah maupun di antara sesama umat Allah, khususnya mereka yang miskin, terpinggirkan, dan tertindas. Hal ini secara meyakinkan dinyatakan dalam kalimat, “… maka tidak akan ada orang miskin di antaramu” (Ul. 15:4). Walaupun, dalam kenyataannya, kehidupan umat Allah menunjukkan kenyataan yang berbeda, dan hal itu diakui juga dalam Kitab Suci,  “Sebab orang-orang miskin tak hentinya akan ada di dalam negeri itu” (Ul. 15:11a). Paradoks ini menegaskan kembali tanggung jawab mereka yang memiliki lebih banyak harta untuk “membuka tangan lebar-lebar bagi saudaramu, yang tertindas dan yang miskin di negerimu” (Ul. 15:11c). Dengan memasuki masa Adven pada hari Minggu ini, kita juga memasuki Tahun Keadilan Sosial, tahun sila kelima. Sepanjang tahun kita diminta mengamalkan Pancasila, cita-cita bangsa yang luhur. Kita adil, bangsa sejahtera!

Sebab Orang-orang Miskin Tidak Hentinya Akan Ada di dalam Negeri

Haruslah Engkau Membuka Tangan Lebar-lebar bagi Saudaramu