HIDUP BERDAMPINGAN DENGAN COVID-19

Dipublikasikan tanggal 24 May 2020

HIDUP BERDAMPINGAN DENGAN COVID-19

Gereja Menyambut New Normal

Istilah “New Normal” pertama kali digunakan oleh Roger McNamee pada tahun 2003. Istilah ini mengacu pada suatu periode waktu di mana manusia bermain dengan aturan baru untuk jangka waktu yang cukup panjang. Istilah ini pada mulanya merupakan istilah ekonomi yang mengacu pada kondisi keuangan setelah krisis ekonomi dunia tahun 2007-2008. Ketika wabah Covid-19 melanda dunia, istilah New Normal kembali digunakan untuk menegaskan perilaku manusia usai pandemi karena wabah Covid-19 telah mengubah kehidupan sehari-hari bagi banyak orang.

Setelah beberapa bulan dunia berupaya melumpuhkan penyebaran Covid-19 dengan physical distancing, lockdown, PSBB dan lain-lain, manusia menyadari bahwa Covid-19 tidak dapat ditundukkan dengan begitu mudah sebelum ditemukan vaksin atau obat yang tepat. Adapun vaksin baru dapat diperoleh melalui proses panjang bertahun-tahun apalagi kondisi ini dipersulit dengan mutasi virus corona. Di lain pihak, upaya lockdown atau PSBB menimbulkan dampak ekonomi yang luar biasa. Maka, pemerintah-pemerintah di dunia menggaungkan “new normal”, di mana manusia tetap menjalankan aktivitas secara normal sambil mengedepankan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19, misalnya dengan melaksanakan physical distancing, memakai masker, menghindari kerumunan, rajin mencuci tangan dan sebagainya.

Pertanyaan yang muncul pada saat ini adalah bagaimana pelayanan pastoral di gereja bisa disesuaikan dengan protokol new normal. Untuk itu ada baiknya kita mengamati hal-hal yang terjadi dalam pelayanan pastoral selama berlakunya PSBB di Jakarta. 

Pertama, adalah kewajiban mengikuti perayaan ekaristi pada hari Minggu atau hari-hari raya yang diwajibkan, yang merupakan perintah kedua dari lima Perintah Gereja. Karena aturan PSBB kewajiban ini nampaknya bergeser dan umat hanya dapat melaksanakan ibadah di rumah lewat live streaming. Kedua, dengan tidak adanya perayaan ibadah di gereja, kolekte atau persembahan umat pun terhenti, padahal seluruh pelayanan gereja mengandalkan persembahan dari umat. Ketiga, cara penerimaan komuni hanya dimungkinkan dalam satu rupa dan komuni diterima di atas tangan. Cara penerimaan komuni di atas lidah atau penerimaan komuni dalam dua rupa nampaknya tidak sejalan dengan protokol kesehatan Covid-19. Keempat, praktik rohani berupa ziarah juga tidak dapat dilaksanakan oleh umat, karena aturan yang melarang kerumunan atau juga pembatasan moda transportasi antar kota. Kelima, live streaming atau platform digital merupakan sarana yang semakin luas digunakan dalam pelayanan pastoral: misa, rosario, kursus dan pelayanan pastoral lainnya. Keenam, umat semakin bebas bergerak lintas paroki bahkan lintas keuskupan, karena berbagai pelayanan dilaksanakan online

Sekarang, bagaimana gereja dapat menyesuaikan diri pada masa “new normal”? Tentu saja, gereja harus belajar dari pengalaman-pengalaman yang terjadi pada masa PSBB. Kata “gereja” dalam bahasa Yunani “ecclesia” berarti “kumpulan”. Jadi dari makna kata gereja saja kita sudah dapat melihat derajat kesulitannya, karena protokol kesehatan Covid-19 justru mewajibkan penghindaran kerumunan atau perkumpulan raya. Andaikata benar berita yang beredar di media-media sosial bahwa mulai tanggal 6 Juli 2020 tempat-tempat ibadah dapat kembali menerima umat, apa yang perlu dipersiapkan oleh gereja?

Pengecekan Suhu Tubuh Umat Sebelum Masuk ke Gereja

Pertama, new normal adalah aktivitas manusia normal ditambah dengan protokol kesehatan Covid-19. Jadi, gereja dan umat harus siaga menjaga kebersihan gereja dan umat dari kemungkinan terpapar Covid-19 misalnya pengecekan suhu tubuh umat yang masuk gereja, penyediaan cairan antiseptik, pembersihan gereja, toilet dan ruang-ruang lain dengan desinfektan.  Jangan dilupakan juga, ketegasan petugas tata tertib untuk menolak umat yang menunjukkan gejala demam atau flu dan dengan sabar mengarahkan mereka agar melaksanakan ibadah di rumah atau secara online. Jangan sekali-kali mengabaikan kewajiban melaksanakan protokol kesehatan. 

Protokol Kesehatan Selama Penerimaan Komuni

Kedua, dengan adanya kewajiban physical distancing, kapasitas gereja akan berkurang sampai separuh atau bahkan lebih. Belum lagi ditambah secara psikologis mungkin banyak umat juga belum siap untuk melaksanakan ibadah di gereja beserta umat lain. Maka, selama new normal misa live streaming tetap harus menjadi alternatif. Ketiga, kolekte umat pun akan berkurang sejalan dengan penurunan jumlah umat yang beribadah di gereja. Maka, harus diupayakan penggalangan dana lain dalam bentuk donasi lain. Juga, setiap seksi atau komunitas kategorial perlu berhemat menggunakan anggaran supaya anggaran paroki tidak mengalami defisit yang berlebihan.

Keempat, penerimaan komuni hanya dilayani satu rupa dan diterima umat di atas tangan. Praktik menerima komuni dalam dua rupa misalnya pada saat pembaptisan, penerimaan komuni pertama, dan perkawinan harus dipertimbangkan matang-matang sambil menunggu arahan dari keuskupan. Kelima, live streaming tetap menjadi andalan dalam pelaksanaan pelayanan pastoral dan harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Seluruh kegiatan lingkungan, wilayah, seksi dan komunitas kategorial sedapat mungkin tetap dilaksanakan, dengan metode online bilamana dimungkinkan. 

Keenam, ziarah rohani pun dapat dilaksanakan secara online. Ibadah jalan salib dapat dilaksanakan bersama-sama dari rumah masing-masing. Saat ini juga merupakan kesempatan untuk “melahirkan kembali” praktik-praktik rohani seperti latihan spiritual Ignasius Loyola dan devosi-devosi lainnya. Praktik-praktik rohani ini merupakan mata rantai yang dapat mempertahankan komunikasi antar umat. Terakhir, pengurus gereja harus rajin menyapa umat supaya rasa cinta lingkungan, cinta wilayah dan cinta paroki tetap dapat dijaga kehangatannya.

Membangun Keutuhan Komunitas Lewat Platform Digital

Sebagai penutup, kita akan belajar dari sejarah Gereja menghadapi wabah pada abad-abad pertama. Wabah Antonine merebak pada abad kedua (165M) dan menewaskan kurang lebih lima juta orang di kekaisaran Romawi. Seabad kemudian, muncul wabah Siprianus (250M) yang juga tidak kalah mematikan. Apa dampaknya bagi komunitas Kristiani yang masih merupakan minoritas pada masa-masa itu? Seorang sosiolog Rodney Stark mengarang sebuah buku yang berjudul “The Rise of Christianity”. Dia justru mencatat bahwa kedua wabah ini berhasil menambah jumlah umat Kristiani. Hal ini disebabkan oleh tiga alasan. Pertama, umat Kristen berada di garda depan mendampingi orang-orang yang terdampak wabah tanpa memedulikan agamanya. Kedua, secara spiritual umat Kristiani menyadarkan umat non Kristiani bahwa wabah bukanlah murka dewa-dewi, melainkan peringatan Allah agar manusia bertobat. Maka, banyak orang-orang non Kristiani bertobat dan memeluk agama Kristen. Ketiga, secara proporsional umat Kristen lebih tahan terhadap penyakit karena mereka lebih dapat menjaga sanitasi dan higienis. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa tingkat kematian di kota-kota yang memiliki komunitas Kristiani lebih rendah dibandingkan dengan kota-kota lainnya. 

Dengan demikian, tepatlah apa yang dikatakan oleh Yesus dalam Luk 21:13, “Hal ini menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi”. Pernyataan ini disampaikan oleh Yesus ketika murid-murid-Nya bertanya tentang kapan akan tiba dan apa tanda-tanda akhir zaman. Yesus mengajarkan bahwa apabila dunia sedang gonjang-ganjing karena berbagai pemberitaan tentang akhir zaman, murid-murid Yesus harus tetap tenang dan waspada serta tetap bersaksi. Minggu depan adalah hari raya Pentakosta, dan kita ingat akan perkataan Yesus sesaat sebelum Dia naik ke surga, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Kita berharap bahwa PSBB yang konon akan diakhiri pada tanggal 4 Juni 2020 akan menjadi Pentakosta Baru untuk umat Kristiani, terutama umat Paroki Sunter untuk menjadi saksi-saksi Kristus di tengah fase “New Normal”. Tuhan memberkati kita semua!