FRATELLI TUTTI (SEMUA BERSAUDARA)

Dipublikasikan tanggal 23 November 2020

FRATELLI TUTTI (SEMUA BERSAUDARA)

Ensiklik Terbaru dari Bapa Suci Fransiskus tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial

Paus Fransiskus menandatangani Ensiklik yang berjudul semua bersaudara tanggal 3 Oktober 2020 pada vigilia Santo Fransiskus Assisi di atas altar makam Santo Fransiskus Assisi. Ini pertama kali dalam sejarah, sebuah dokumen resmi ditandatangani dan dikeluarkan di luar kota suci Vatikan. Tentu saja tindakan ini berdasar atas suatu pembaharuan yang mendesak akan dunia seluruhnya sebagai rumah bersama (casa comune) yang sedang dilanda krisis dan ketimpangan.

Sejak awal pelayanannya sebagai Paus, yang pernah berkata, “Aku ingin satu Gereja miskin bagi orang-orang miskin” hadir dengan terobosan dan gaya baru yakni "Gereja yang keluar" (Chiesa in uscita). Gereja dipanggil untuk menjadi sarana dan wujud dari hadirnya Kerajaan Allah. Gereja siap sedia untuk terbuka dan menyapa semua orang terutama yang kecil dan terpinggirkan. Gereja harus hadir sebagai saudara dan melihat yang lain sebagai saudara dan saudari yang adalah ciptaan dari Allah, karena bumi ini adalah rumah kita bersama. Maka, Gereja berkewajiban untuk menjaga agar tetap dalam damai dan harmonis. Paus mengundang siapa saja yang berkehendak baik untuk bersama-sama memperjuangkannya. Lewat Ensiklik, Paus mengajak umat Katolik dan mengundang seluruh elemen masyarakat, bangsa, dan negara serta organisasi-organisasi di dunia untuk berpikir, berefleksi dan bertindak baik secara pribadi dan bersama menjaga dan melestarikan rumah bersama.

Ensiklik yang terdiri dari 287 nomor dan 8 bab ini memberi suatu gambaran yang komprehensif akan situasi dunia saat ini. Realitas global dan serentak meningkatnya individualisme telah membuat  dunia terancam dari suatu rasa damai dan harmonis. Penting untuk berpikir, berefleksi dan mengambil sikap baik pribadi maupun bersama untuk menciptakan satu persaudaraan yang saling  mendukung nilai kehidupan dalam kasih di tengah perbedaan-perbedaan yang ada. Sikap terbuka kepada yang lain dan panggilan untuk menjadi saudara serta melihat yang lain sebagai saudara dan saudari khususnya mereka yang kecil dan menderita menjadi sebuah perjuangan terus-menerus. Dialog dan relasi yang terus-menerus yang didasari oleh kasih persaudaraan akan membuahkan hasil. 

Terinspirasi oleh Santo Fransiskus Assisi yang telah hidup sebagai saudara bagi yang lain dan melihat yang lain yang lain sebagai saudara dan saudari karena semua bersaudara (1). Paus yang sebelumnya sudah mengeluarkan Ensiklik Laudato Si, juga terispirasi oleh sang santo, mengajak setiap orang yang berkehendak baik untuk berpikir dan menghidupkan semangat persaudaraan dan persahabatan sosial (6). Paus mengkomunikasikan bahwa Allah adalah kasih (4) dan berbahagialah dia yang mengasihi yang lain. Sikap yang terbuka kepada yang lain dan mengasihinya bukanlah tanpa rintangan, hambatan dan tantangan. Namun kesetiaan kepada Tuhan meretas batas-batas yang ada dan kasih sebagai pengikat sehingga bisa menjadi saudara dan saudari sebagimana persahabatan santo Fransiskus Assisi dengan sultan Mesir, Malik- Al-Kamil.

Ini jugalah yang menggerakkan Paus Fransiskus bertemu dengan imam besar, Ahmad - Al- Tayyeb di Abu Dhabi untuk mengingatkan, bahwa Allah menciptakan kemanusiaan yang menghendaki kesamaan hak, kewajiban dan martabat dan dipanggil untuk hidup bersama sebagai saudara dan saudari di antara mereka (5). Tidak seorang pun dapat hidup bagi drinya sendiri. Dibutuhkan suatu komunitas yang mendukung, yang menolong dan di antara mereka ada sikap saling membantu satu sama lain untuk menatap masa depan (8). Paus menggarisbawahi situasi pademi covid-19 sebagai salah satu tantangan bersama untuk menemukan solusi terbaik secara bersama-sama (7), maka sangatlah penting, kita bermimpi bersama – untuk menciptakan suatu persekutuan di atas bumi ini masing-masing menurut keyakinan iman dan kepercayaannya (8).

Bab I. Bayang-bayang Dunia yang Tertutup

Pada bagian ini Paus memaparkan situasi dunia dengan indikasi-indikasi yang sedang terjadi di Eropa dan zona lain yang memutuskan untuk bekerja sama demi terciptanya suatu rumah bersama dan bergembira atas perbedaan-perbedaan yang ada. (10). Dunia yang sedang menuju persatuan lewat globalisasi, namun terpecah-pecah baik pribadi-pribadi maupun bangsa-bangsa karena globalisasi membuat kita semakin dekat tetapi tidak membuat kita bersaudara. Dalam situasi ini yang kuat akan semakin kuat selanjutnya yang lemah akan semakin tersudut dan menderita (11). Maka dari itu sangat penting memelihara dunia yang mengitari dan mendukung kehidupan bersama, namun kita perlu membangun dalam satu “kita” yang tinggal di rumah bersama. Hal ini akan menjauhkan kita dari sikap mementingkan kepentingan sendiri, kelompok atau bangsanya saja, jika tidak, kita ini sedang menciptakan suatu perang baru yang dibungkus dengan klaim yang mulia (17).

Di sebagian masyarakat ada yang hidup dalam kemewahan, di bagian lain hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan, direndahkan atau diinjak dan hak-hak asasinya diabaikan atau dilanggar (22). Situasi ini menyebabkan manusia mengalami ketakutan, keterasingan dan ketidaknyamanan dan merasa ditinggalkan oleh sistem yang ada, namun muncul situasi yang baik bagi para mafia. Mereka datang dengan dalih “pelindung” dari orang-orang yang dilupakan, dengan berbagai cara dan bantuan. Ada satu tipikal mafia yang menciptakan spirit komunitas yang salah yakni suatu ketergantungan dan sub-ordinasi yang sulit dilupakan.

Dalam komunikasi digital, ada kebebasan untuk mempertunjukkan semua, dan setiap individu menjadi objek pandangan yang menggeledah, menelanjangi dan membuka dan sering kali dengan cara anonim (42). Maka perlu senantiasa bijaksana dalam menggunakan media internet (46) dan teknologi global. Kebijaksanaan sejati mengandaikan pertemuan dengan realitas (47). Berada bersama dan mendengar yang lain sebagai karakteristik pertemuan menusiawi adalah suatu paradigma dari keramah-tamahan yang melampaui narcisisme. Oleh karena itu penting mencari secara bersama-sama kebenaran dalam dialog, pertobatan dan diskusi yang membangun. Inilah harapan kita, demikian Paus Fransiskus menutup bab satu dan mengundang pada suatu pengharapan yakni keberanian, peka melihat yang lain, terbuka pada ide yang benar yang membuat hidup lebih indah dan bermartabat dan selanjutnya kita senantiasa berjalan dalam pengharapan (55).

Bab II. Seorang Asing di Jalan

Pada bagian ini, Paus menekankan pentingnya untuk melihat bahwa selalu ada cahaya yang menerangi di setiap peristiwa hidup terutama di saat-saat sulit, sakit, terpinggirkan, menderita dan terabaikan. Paus mengutip contoh dari perumpamaan Yesus dalam Injil Lukas 10:25-37. Perikop ini berisi perumpamaan tentang siapakah sesama: dalam diri seorang Samaria yang baik hati. Tentu terlepas dari agama dan kepercayaan, Paus mengajak siapa pun yang berkehendak baik untuk membiarkan diri disentuh oleh perumpamaan ini. (56). Perumpamaan yang mengetengahkan bagaimana melampaui aturan untuk hal yang lebih utama. Yesus melakukan suatu terobosan dan budaya yang berbeda (57).

Bagian lain dari kitab suci yang dapat kita lihat bagaimana kasih Allah melampaui batas-batas ada dalam kitab Ayub (Ayb 31: 151) juga dalam kitab Tobit (Tb 4: 15), dalam kitab Putra Sirakh (Sir 18: 13) dan teks-teks lainnya  dalam Perjanjian lama (Kel 22: 20, Kel 23: 9, Im 19: 33-34, Ul 24: 21-22) maupun dalam Perjanjian Baru (Mat 5: 45, Mat 7: 12, Luk 6: 36, Gal 5: 14, 1Tes 3: 12, 1 Yoh 2: 10-11, 1 Yoh 3: 14, 1 Yoh 4: 20, 3 Yoh 5).

Perikop Injil Lukas 10: 25-37 adalah gambaran dari seorang yang menderita di jalan. Banyak yang lewat, orang-orang penting dalam masyarakat tetapi mereka tidak memiliki dalam hatinya kasih bagi kebaikan bersama (63). Tidak mau meluangkan waktu sedikit pun untuk melayani atau mencari bantuan. Ini sama dengan masyarakat yang sakit yang tidak mau atau lari dari beban dan sakit (65). Lalu ada orang yang mau mendekat, berhenti dan melayani dengan tangannya sendiri, membayar kebutuhannya dan melayaninya -  meluangkan waktu dan dirinya untuknya. Sesungguhnya dia sudah memiliki program, namun ia sanggup dan mampu membantu dia yang menderita di hadapannya dan tanpa mengenalnya – menganggapnya layak menerima rahmat dari waktunya (63).

Contoh ini menjadi model yakni seorang Samaria yang baik hati yang mengundang kita untuk bangkit, membangun hubungan sosial yang baru. Dengan tindakannya ini, dia telah menampakkan bahwa eksistensi dari setiap orang yang ada di antara kita selalu berhubungan dengan yang lain dan kehidupan bukanlah waktu yang lewat begitu saja tetapi adalah waktu pertemuan “pentingnya waktu untuk bertemu” (66). Sejarah Samaria yang baik hati ini terulang di dunia yang masyarakatnya hidup dalam marginalisasi baik dalam lingkup sosial maupun politik. Perumpamaan ini memberi kita semangat sehingga hidup dalam kasih akan mengurangi penderitaan dan membangun suatu masyarakat yang lebih layak (71). Kita memiliki satu tanggung jawab terhadap dia yang menderita yang adalah manusia dan atas semua manusia di atas bumi.

Maka dari itu, pertanyan Yesus, Siapakah sesamaku? Sudah terjawab dalam perumpamaan ini (80), yaitu bukan saja mereka yang merupakan bagian dari satu kelompok, ras sebagaimana terminologi  pada saat itu. Seorang samaria yang baik hati telah menjadi sesama bagi seorang Yahudi yang menderita untuk menjadi dekat dan hadir, dia telah melewati semua batas-batas budaya dan sejarah. "Pergilah dan perbuatlah demikian" (Luk 10: 37),  mengingatkan kita untuk menjadi dekat bagi siapa pun yang menderita tanpa membeda-bedakan. Jadi aku tidak lagi berkata bahwa aku mempunyai “sesama” untuk ditolong, tetapi bahwa aku merasa terpanggil untuk menjadi seorang dalam sesama (81).

Bab III. Berpikir dan Melahirkan suatu Dunia yang Terbuka

Seseorang tidak akan mengenal secara mendalam kebenaran yang ada jika tidak bertemu dengan yang lain: aku tidak dapat mengkomunikasikan secara efektif tentang diriku sendiri jika tidak dalam relasi dengan yang lain. Kasih adalah pengikat relasi karena kita tercipta untuk mengasihi (87). Relasi atas dasar kasih yang otentik ini, membantu kita untuk bertumbuh dalam bentuk-bentuk yang lebih agung dari persahabatan, meneguhkan hati dan membiarkan diri untuk selalu diperbaharui. Maka, tempat pertama adalah kasih, dan bahaya yang paling besar adalah tidak mengasihi (bdk. 1 Kor 13: 1-13). Tidak seorang murid pun menjadi matang dalam kesendiriannya (isolasi). Sebagaimana Yesus sabdakan, kalian semua adalah saudara “Mat 23:8” (95). Kasih membuka cakrawala menuju persekutuan universal.

Universalitas yang bagaimana? Bukanlah “monocromatico” (searah atau sejenis) tetapi jika kita memiliki kemauan adalah mungkin melihat masing-masing pribadi dalam keberagaman dan keberbedaan memberikan kontribusinya. Oleh karena itu, alangkah pentingnya keluarga manusiawi kita belajar untuk hidup bersama dalam harmonis dan damai tanpa kita harus menjadi sama semuanya (100). Nilai persaudaraan mempunyai sesuatu yang positif untuk dibagikan atas kebebasaan dan kesamaan. Individualisme tidak membuat lebih bebas, lebih sama, dan lebih bersaudara. Secara individu tidak akan dapat membangun kebaikan bersama. Invididualisme radikal adalah virus yang paling sulit untuk ditaklukkan (105).

Maka dari itu Paus menegaskan pentingnya mengembangkan kebaikan moral dan nilai solidaritas. Berani melakukan terobosan untuk menghancurkan egoisme, kekerasan, korupsi dan berbagai bentuknya, keberbedaan, satu bentuk hidup yang tertutup terhadap setiap transendesi dan hanya terpusat pada kepentingan-kepentingan pribadi (113). Maka perlu adanya sikap solidaritas sebagai keutamaan moral dan tindakan sosial buah dari pertobatan personal yang membangun dan mendidik. Solidaritas terlaksana secara konkret dalam pelayanan bagi sesama. Pelayanan di berbagai aspek, terutama bagi yang lemah dan mereka ini adalah keluarga, masyarakat, penduduk kita (115). 

Bab IV. Satu Hati yang Terbuka kepada Dunia Seluruhnya

Paus menekankan tema imigran. Memang idealnya menghindari imigrasi dan situasi yang ada saat ini membuat kita berpikir dan berbuat secara manusiawi terhadap mereka sebagai pribadi. Ada 4 kata kerja yang memberi semangat bagi kita berhadapan dengan imigran: menyambut, melindungi, mengembangkan, mengintegrasi (129). Satu hati yang terbuka kepada dunia seluruhnya: yang lain berbeda dari kita adalah rahmat dan satu kekayaan bagi semua. Karena keberbedaan menghadirkan satu kemungkinan untuk bertumbuh (134).

Maka dari itu kita butuh komunikasi, menemukan kekayaan yang ada dalam setiap pribadi, memberi nilai yang menyatukan dan melihat perbedaan-perbedaan sebagai kemungkinan pertumbuhan untuk menghormati semua. Oleh karena itu adalah penting satu dialog yang sabar dan percaya, dengan cara bahwa pribadi-pribadi, keluarga dan komunitas-komunitas dapat membagikan nilai-nilai dari budayanya sendiri dan menerima kebaikan yang datang dari pengalaman-pengalaman yang lain (134).

Bersama dengan imam Ahmad Al-Tayyeb, Paus Fransiskus mengingatkan akan pentingnya keterbukaan ini: hubungan antara dunia Barat dan Timur yang tidak dapat tidak saling membutuhkan, dan keduanya saling memperkaya melalui pertukaran, dialog budaya. Sikap seperti ini sangat penting juga bagi pertukaran yang sehat antar negara karena memberi kebaikan bagi semua. Kita membutuhkan pertumbuhan akan kesadaran bahwa sekarang ini atau kita selamatkan semua atau tidak seorang pun selamat (137).

Perlu melihat realitas ini dan membangun koneksi dan komunikasi baik di bidang politik maupun ekonomi (138) tanpa melupakan adanya yang namanya cuma-cuma atau gratis (139). Allah memberi secara cuma-cuma sampai batas dimana memberi mereka yang tidak setia sekali pun, menciptakan matahari baik bagi yang jahat dan yang baik (Mat 5: 45). Kita telah menerima hidup secara cuma-cuma, kita tidak membayar untuk memperolehnya. Maka semua dapat kita beri tanpa menanti sesuatu, melakukan kebaikan tanpa mengharapkan imbalan dari mereka yang kita tolong. Sebagaimana sabda Yesus kepada murid-murid: “Kalian menerima dengan cuma-cuma, berilah dengan cuma-cuma” (Mat 10:8).

Perlu melihat antara globalisasi dan lokalisasi artinya bijaksana melihat secara global dan serentak menerima secara baik dimensi lokal karena menawarkan apa yang tidak dimiliki oleh global. Maka persaudaraan universal dan persahabatan sosial dalam lingkup setiap masyarakat (societas) adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan ko-esensial – memisahkannya adalah sebuah tindakan deformasi dan polarisasi yang berbahaya (142).

Bab V. Politik yang Lebih Baik

Paus Fransiskus menekankan pentingnya politik yang baik, tempat pelayanan yang benar bagi kebaikan bersama (154). Kebaikan bersama yang muncul akhir-akhir ini dalam ekspresi populisme atau kerakyatan. Banyak cara yang digunakan untuk mengklasifikasikan berangkat dari satu pembagian antar “kerakyatan” atau “ketidakrakyatan” (156). Pada realitasnya fenomena ini menghantar pada pembedaan struktur dalam kemasyarakatan. Masyarakat bukanlah satu kategori logis, dan juga kategori mistik. Kata masyarakat memiliki sesuatu yang lebih yang tidak dapat diterangkan dengan logika semata. Ada sebagai bagian dari masyarakat adalah ambil bagian dari satu identitas bersama yang dibentuk atas hubungan sosial dan budaya. Dan ini bukanlah suatu yang terjadi secara otomatis, bahkan, prosesnya lambat, sulit,  menuju satu proyek bersama (158). Maka dari itu nilai intrinsik dari sebuah masyarakat adalah adanya hubungan komunitas dan budaya, yang menolak segala bentuk individualisme (163). Karena tidak seorang individu atau kelompok manusia yang menganggap diri sangat berkuasa “onnipotente” (171).

Sebagai contoh, pasar dari dirinya sendiri tidak dapat menyelesaikan semua. Di satu pihak adalah sangat diperlukan satu politik ekonomi yang aktif, berorientasi kepada “pengembangan satu ekonomi yang mendukung perbedaan-perbedaan produksi dan kreativitas pengusaha dan di lain pihak “tanpa bentuk-bentuk solidaritas dan saling percaya, pasar tidak dapat sepenuhnya membawa fungsi ekonominya”. Maka dari itu suatu ekonomi yang terintegrasi dalam satu proyek politik, sosial, budaya dan kemasayarakatan yang mengusahakan kebaikan bersama dapat “membuka jalan kepada kesempatan berbeda-beda, yang tidak menghentikan setiap kreativitas manusia dan bermimpi akan masa depannya, tetapi lebih lagi untuk menyalurkan energi dengan cara baru” (179). Paus mengundang sekali lagi untuk mengevaluasi politik, yang “adalah satu panggilan tertinggi, adalah satu dari beberapa bentuk berharga dari karitas, karena mencari kebaikan bersama” (180). Karitas sosial membuat kita mengasihi kebaikan bersama dan mencari dengan cara lebih efektif kebaikan bagi semua pribadi, mempertimbangkan bukan saja individu, tetapi juga dalam dimensi sosial yang mempersatukannya (182). 

Paus menggarisbawahi apa yang sudah dilakukan bersama dengan Imam Ahmad Al-Tayyeb, yang meminta “kepada pemengang politik internasional, dan ekonomi dunia, untuk bekerja secara lebih serius dalam memperluas budaya toleransi, hidup bersama dalam damai, dengan cara yang mungkin, untuk menghentikan pertumpahan darah mereka yang tidak berdosa” (192). Oleh karena itu, politik yang otentik, didasari atas hak dan suatu dialog yang loyal atas subjek, yang diperbaharui dengan kepercayaan bahwa setiap wanita, setiap pria dan setiap generasi mengungkapkan dalam dirinya sendiri satu janji bahwa bisa memberi energi baru dalam relasi baik intelektual, budaya dan spiritual. (196).

Bab VI. Dialog dan Persahabatan Sosial

Pada bagian ini dipaparkan bagaimana menjalin suatu dialog yang benar. Sebagaimna kita semua hidup dalam masyarakat maka perlu dialog yang memberi dan menerima, terbuka akan kebenaran (199). Kurangnya dialog tampak dari minimnya perhatian atas kebaikan bersama baik secara pribadi maupun di setiap sektor yang ada (202). Dialog sosial yang otentik mengandaikan kapasitas untuk menghormati pandangan yang lain, menerima kemungkinan bahwa akan adanya kesepakatan atau kepentingan yang sah. Satu roh yang benar dari suatu dialog adalah menggembangkan kemampuan untuk memahami makna dari tanggapan yang berbeda, melakukannya sekalipun tidak dapat menerimanya sebagaimana keyakinannya sendiri. (203)

Dalam masyarakat plural, dialog adalah jalan paling adekuat untuk sampai kepada pengenalan dari apa yang seharusnya selalu ditentukan dan dihormati, dan nilai lain atas kesepakatan sebelumnya (211). Sebab ada sebagai manusia yang memiliki martabat yang luhur tidak dapat diganggu gugat dalam setiap episode sejarahnya dan tidak seorang pun dapat merasa berkuasa atas lingkungan dan menolak keyakinan ini atau untuk tidak berbuat secara konsekuen. (213).

Hidup adalah sebuah seni pertemuan, walaupun banyak bentrokan yang terjadi dalam kehidupan (215). Lewat pertemuan-pertemuan diharapkan keterlibatan dari semua pihak. Maka dari itu, berbicara “budaya bertemu” berarti mengungkapkan bagaimana masyarakat terpesona untuk ingin selalu bertemu, mencari kontak, menunjukkan jalan, merencanakan sesuatu yang melibatkan semua. Ini menjadi satu aspirasi dan satu gaya hidup (216).

Berapa banyak, mereka yang menyatakan sebagai pembawa damai dalam masyarakat namun melupakan kemanusiaan seluruhnya. Dan bahwa  tanpa adanya kesamaan dalam setiap kesempatan, akan menjadi lahan yang subur bagi penindasan dan akhirnya melahirkan perang. Ketika masyarakat – lokal – nasional – internasional– meninggalkan mereka yang terakhir (kecil dan tertindas) sebagai bagian dalam dirinya, maka tidak akan ada program-program politik, juga kekuatan atau intelektualitas yang dapat menjamin ketenangan yang stabil. Paus Fransiskus menekankan “jika berbicara untuk memulai, maka harus selalu akan berangkat dari yang terakhir”. 

Bab VII. Perjalanan Menuju Satu Pertemuan yang Baru

Pada bagian ini, topik yang diketengahkan adalah tentang nilai dan promosi damai. Tentu damai yang dimaksud adalah bersumber dari kebenaran. Perjalanan menuju kedamaian pada realitasnya merupakan suatu usaha untuk mencoba menemukan satu sintesis bagi kebaikan bersama (226). Kebenaran ini sebagai satu persahabatan yang didalamnya tidak terpisahkan antara keadilan dan belas kasih (227). Perjalanan menuju kedamaian tidak menuntut suatu kesamaan dalam masyarakat, tetapi suatu tugas bersama. Pekerjaan yang tekun untuk melampaui apa yang memisahkan tanpa kehilangan identitas masing-masing dan menjamin bahwa semua tetap hidup dan merasa sebagai bagian dari yang lain. Masyarakat damai  ketika setiap pribadi, setiap kelompok sosial, sungguh-sungguh merasa berada dalam satu rumah. Sebagaimana dalam satu keluarga, orang tua, kakek-nenek, anak-anak di dalam satu rumah, tidak seorang pun merasa teralienasi “terasing” (230).

Kedamaian yang dimaksud bukan hanya tanpa perang, tetapi tugas yang tanpa kenal lelah – terutama ketika kita bekerja dalam satu tanggung jawab khusus – untuk mengenal, memberi garansi dan membangun kembali secara konkret martabat, yang sering kali dilupakan atau dibodohi, dari saudara-saudari kita, sehingga mereka dapat merasa sebagai tokoh utama dari tujuan bangsanya sendiri (233) Namun sering kali, yang terakhir dalam masyarakat telah tersinggung lewat ketidakadilan yang ada (234). Tidak dapat dikatakan bahwa seseorang sebagai pembawa damai jika melupakan mereka yang kecil dan menderita. Selanjutnya tanpa kesamaan pada setiap kesempatan, akan memunculkan lahan yang subur untuk suatu pertikaian dan perang. Jika berkata ingin memulai, selalu berangkat dari yang terakhir yang terlupakan (235).

Contoh konkret yang pernah terjadi yakni bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Peristiwa yang tidak terlupakan akibat penganiayaan, perdagangan budak, pembunuhan etnik yang juga terjadi di beberapa negara dan masih banyak lagi peristiwa historis yang membuat kita malu sebagai manusia. Semua ini bukan hanya ingatan akan peristiwa yang mengerikan, tetapi juga suatu teguran di tengah dunia yang sedang tercemar dan rusak, sekalipun terdapat perbaikan dan pengembalian martabat lewat tindakan kecil maupun besar melalui solidaritas, pengampunan dan persaudaraan (249).

Bab VIII. Agama-agama bagi Pelayanan Persaudaraan di Dunia

Agama-agama yang berbeda, dipanggil mempersembahkan kontribusi yang penting dalam memperjuangkan keadilan dan membangun persaudaraan dalam masyarakat. Dialog di antara pribadi-pribadi dari agama yang berbeda tidak dilakukan hanya sebatas diplomasi, keramahan atau toleransi (271). Gereja mengapresiasi tindakan Allah dalam agama-agama lain (277). Bagi kita orang Kristen, sumber martabat manusia dan persaudaraan ada dalam Injil Yesus Kristus. dariNya “mengalir bagi pemikiran pemahaman kristiani dan aksi Gereja yang tampak lewat relasi, pertemuan dengan misteri kudus lain, persekutuan universal dengan kemanusiaan seluruhnya sebagai panggilan bagi semua manusia” (277).

Paus melanjutkan bahwa perintah untuk berdamai termaktub dalam tradisi terdalam dari agama-agama. Maka dari itu sebagai leader religius, kita dipanggil untuk menjadi “dialogal” dalam perbuatan dan tindakan membangun kedamaian tidak saja sebagai perantara, tetapi sebagai mediator otentik. (284). Sebagai orang-orang yang percaya kita dipanggil untuk kembali ke sumber awal yang berkonsentrasi pada hal yang esensial: menyembah Allah dan mengasihi sesama, dengan cara bahwa sebagian aspek dari doktrin kita, keluar dari konteksnya, tidak menghentikan pengembangan bentuk-bentuk perendahan, kebencian, xenofobia, dan penyangkalan lainnya. Kebenaran adalah bahwa kekerasan tidak menemukan dasar dari berbagai keyakinan religius fondamental, bahkan dalam deformasi-deformasi mereka. (282).

Pada akhirnya, panggilan para leader religius yang berperan sebagai mediator otentik yang mengupayakan pembangunan damai sebagaimana Paus Fransiskus mengutip dokumen persaudaraan manusia bagi perdamaian dunia dan kehidupan bersama, yang ditandatangani pada 4 februari 2019 di Abu Dhabi bersama Imam besar Al-Azhar, Ahmad Al-Tayyib. Selanjutnya Paus menominasikan beberapa tokoh yang mengispirasi beliau atas refleksi persaudaraan universal khususnya Santo Fransiskus Assisi, dan juga Beato Charles de Foucalud. Paus juga menyebut saudara-saudara lain yang bukan katolik: Martin Luther King, Desmond Tutu, Mahatma Gandhi yang terlibat dalam menciptakan suatu persaudaraan universal.(286). Ensiklik ditutup dengan dua doa: satu kepada “Pencipta” dan yang lain “Kristen ekumenis” untuk menyebarkan “satu roh persaudaraan” (287).

 

Buah Pena        : P. Fictor Natanael Ginting, OFMConv

Sumber             : Menjemaat – Majalah Bulanan Keuskupan Agung Medan