GEREJA SEMASA PANDEMI, GEREJA DIGITAL

Dipublikasikan tanggal 19 March 2021

GEREJA SEMASA PANDEMI, GEREJA DIGITAL

Kristus, Sang Komunikator Sempurna

Teknologi tentu saja sudah digunakan oleh Gereja bahkan jauh sebelum pandemi Covid-19 berkecamuk di dunia. Banyak kegiatan gerejani seperti seminar Kitab Suci, doa-doa devosi, dan kegiatan-kegiatan lain disiarkan secara online. Namun, tentu saja kegiatan-kegiatan gerejani yang disiarkan secara online merupakan suplemen atau pelengkap dari kegiatan-kegiatan offline. Wabah Covid-19 yang melanda dunia mengubah wajah Gereja. Di tengah ketatnya pelaksanaan protokol kesehatan dengan menjaga jarak,  online menjadi satu-satunya cara untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan gereja, termasuk Ekaristi, terutama pada awal-awal masa pandemi, di mana bangunan-bangunan gereja tertutup untuk umat. 

Bukan sekali ini Gereja harus menghadapi perubahan. Sejarah Gereja Perdana membuktikan bahwa praktik tatap muka antara seorang rasul dan umat harus berubah ketika Injil mulai diwartakan ke luar Palestina. Dari 27 kitab dalam Perjanjian Baru kita menemukan 22 berbentuk surat, apabila kita juga meyakini bahwa kitab Wahyu adalah sebuah surat. Surat-menyurat antara rasul dan umat menggantikan pola tatap muka seperti dikisahkan dalam Injil dan Kisah Para Rasul. Gereja telah mengarungi sejarah ribuan tahun dan pasti sudah mengarungi berbagai masalah yang mengganggu jalannya ibadah, misalnya penganiayaan jemaat pada abad pertama, atau wabah-wabah yang berkecamuk pada awal-awal sejarah Gereja. Maka, ketika Gereja juga harus beradaptasi dalam menghadapi pandemi Covid-19, hal ini tentu bukan merupakan persoalan baru. 

Media sosial adalah fakta relasi sosial yang tidak dapat dipungkiri. Sudah sejak Konsili Vatikan II Gereja, melalui Dekrit Inter Mirifica Gereja membuka diri terhadap perkembangan teknologi di bidang media seperti radio, televisi dan lain-lain. Perkembangan komunikasi sosial diperdahsyat dengan lahirnya teknologi Internet. Untuk itu Gereja juga sudah jauh-jauh hari menyatakan sikapnya, yakni “menggunakan alat teknologi yang luar biasa ini dengan bijak dan hanya untuk kebaikan” (Gereja dan Internet #12). Dalam refleksinya tentang internet, Gereja mengingatkan bahwa “sama seperti sarana komunikasi sosial lainnya, Kristus adalah ‘Sang Komunikator Sempurna’”. Dia adalah Sang Sabda yang menjadi daging dan tinggal di antara manusia. 

Namun, di lain pihak, Gereja juga mengingatkan umat bahwa “Realitas virtual tidak bisa menggantikan kehadiran nyata Kristus dalam Ekaristi, realitas sakramental dari sakramen-sakramen lainnya, dan ibadah yang dirayakan di dalam komunitas manusiawi dalam daging dan darah. Tidak ada sakramen-sakramen dalam internet. Juga pengalaman-pengalaman religius, yang ada karena rahmat Allah, tidak cukup jika dipisahkan dari interaksi dunia nyata dengan orang-orang beriman lainnya. Itulah aspek lain dari internet yang memerlukan studi dan refleksi. Pada saat yang sama, rencana pastoral hendaknya memikirkan bagaimana menuntun orang-orang dari dunia maya ke dalam komunitas nyata dan bagaimana, melalui ajaran dan katekese, kemudian internet dapat dipergunakan untuk mendukung dan memperkaya mereka dalam komitmen Kristiani mereka” (Gereja dan Internet #9).

Misa Online, Pilihan di Masa Pandemi

Butir-butir permenungan di atas membawa kita pada pemikiran tentang bagaimana wajah Gereja pasca pandemi Covid-19. Ada sementara orang berpendapat bahwa pasca pandemi Gereja akan kembali ke cara-cara offline, karena Gereja pada dasarnya adalah persekutuan (koinonia). Hal ini juga dicatat sebagai cara hidup Gereja Perdana di mana umat “selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Dalam misa pada tanggal 17 April 2020, Paus Fransiskus mengingatkan umat akan risiko iman “imajiner” yang harus dibedakan dari iman sejati. Beliau menekankan pentingnya unsur fisik dari sakramen-sakramen, terutama Ekaristi dan komunitas. Kalaupun sekarang umat harus menjalani ibadah online dengan komuni batin, hal ini tentu saja mengingat situasi darurat di mana demi menaati protokol kesehatan, umat harus menghindari kerumunan.

Di lain pihak, ada juga orang-orang yang berpendapat bahwa apa yang menjadi dinamika Gereja selama masa pandemi tidak perlu ditinggalkan, meskipun wabah sudah berlalu. Kegiatan-kegiatan online justru meniadakan pembatasan-pembatasan ruang dan waktu, serta mengikat tali persaudaraan yang universal. Sebuah unggahan pesan untuk mendoakan seseorang pada laman Facebook misalnya bisa menggugah simpati umat dari berbagai belahan bumi. Maka, Gereja harus mulai memikirkan pola-pola ekklesiologi yang semakin mengarah pada “Ekklesia Digital”.

Apapun yang akan menjadi wajah Gereja nanti pasca pandemi, kita harus yakin bahwa Allah akan memberikan rancangan-Nya yang terbaik untuk Gereja-Nya. Para penggiat Komunikasi Sosial (Komsos) di tingkat keuskupan dan di tingkat paroki harus menyadari perannya untuk memanfaatkan teknologi sebagai sarana untuk membangun komunitas, memampukan komunikasi yang semakin erat antar umat dan melakukan pemuridan melalui sarana komunikasi sosial. Satu hal perlu ditekankan adalah bahwa penggiat-penggiat Komunikasi Sosial kebanyakan adalah kaum muda, generasi penerus dan wajah Gereja di masa yang akan datang. Kita yakin bahwa praktik-praktik yang menjadi pembelajaran kita selama masa krisis ini tentu saja tidak akan ditinggalkan begitu saja. Akhir kata, kita sebagai penggiat-penggiat Komsos diingatkan untuk tetap menjalankan peran sebagai komunikator-komunikator yang meneladani Kristus, Sang Komunikator Agung, Sang Komunikator Sempurna.