Berkat cinta kasih, setiap anggota di dalam keluarga mengembangkan hidup bersama dalam semangat berbagi

Dipublikasikan tanggal 26 March 2011

KOMISI KERASULAN KELUARGA

KEUSKUPAN AGUNG JAKARTA

. Gedung Karya Pastoral,

Jl. Katedral no. 7,

Jakarta 10710

( 021.3519193, 7 021.3855752)

Jakarta, 10 Maret 2011

 

Kepada keluarga-keluarga kristiani

Se-Keuskupan Agung Jakarta

di tempat

Salam damai dalam kasih Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yosep.

Dalam suatu kesempatan, ada seorang umat berkata, "Romo, cinta itu merupakan sebuah pilihan atau keputusan. Cinta di dalam perkawinan juga sama". Kepada umat tersebut saya berkata,"Apa yang Anda katakan tentu saja benar. Tetapi menurut saya perlu dilengkapi". "Apa yang kurang Romo?". "Cinta itu lebih dari sebuah pilihan atau keputusan. Cinta itu merupakan kekuatan". Mendengar apa yang saya katakan, umat tersebut kemudian melanjutkan pertanyaannya. Kekuatan? Ya. Kekuatan. Cinta kasih merupakan merupakan azas sekaligus kekuatan yang membangun persekutuan pribadi-pribadi di dalam keluarga. Berkat cinta kasih itu, setiap anggota di dalam keluarga mengembangkan hidup bersama dalam semangat berbagi. Maksudnya? Berbagi di dalam keluarga dimaksudkan untuk membangun persekutuan pribadi-pribadi dan mengenakan cinta kasih sebagai azasnya. Tak ada pengertian mengenai berbagi jika dipisahkan dari persekutuan pribadi-pribadi yang membentuk sebuah keluarga. Mengembangkan semangat berbagi selalu mempunyai makna untuk menumbuhkembangkan persekutuan antar pribadi yang membentuk sebuah keluarga.

Bagaimana konkretnya? Konkretnya ialah berbagi antara suami-isteri, berbagi antara orang tua dengan anak-anak, berbagi antara sanak-saudara. Nah, hidup bersama dalam semangat berbagi yang berkembang dalam sebuah keluarga bisa meluas dalam praktek hidup bertetangga. Kita memulainya dengan semangat berbagi yang berkembang dalam hidup suami-isteri.

Persatuan yang paling dasar di dalam perkawinan dan hidup berkeluarga ialah: persatuan suami-isteri. Seorang laki-laki dan seorang perempuan bersepakat untuk membangun kebersamaan seluruh hidup, berjanji untuk setia dalam segala situasi. Persatuan suami-isteri berdasar pada kebutuhan dasariah manusia untuk saling melengkapi. Di dalam persatuan itu, keduanya saling berbagi hidup. Suami-isteri berbagi hidup satu sama lain. Kesediaan untuk berbagi hidup secara mendasar berlawanan dengan sikap yang hanya mementingkan diri. Perjalanan perkawinan mau tidak mau merupakan proyek bersama antara suami-isteri. Begitu seorang laki-laki bersepakat membangun kebersamaan dengan seorang perempuan di dalam perkawinan - melalui janji perkawinan, pada saat itu mulailah sebuah babak baru dalam seluruh perjalanan hidup dan menuntut tanggungjawab yang utuh-menyeluruh. Artinya, tanggungjawab yang bersifat timbal balik. Dengan demikian, kebahagiaan keluarga merupakan tanggungjawab keduanya. Jadi, perkawinan menjadi tempat dimana suami-isteri saling berbagi karena ikut bertanggungjawab atas kebahagiaan pasangan.

Dalam kehidupan suami-isteri, ada banyak kenyataan yang menggambarkan bahwa keduanya berusaha untuk saling berbagi hidup terutama dengan memperhatikan mutu relasi yang dibangun. Terkait dengan itu ada banyak hal yang bisa dikembangkan, seperti: suami-isteri berbagi perasaan, berbagi pikiran melalui tukar pendapat tentang kesejahteraan bersama, berbagi kemauan dan kehendak serta menempatkannya dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga, berbagi kasih dalam persatuan seksual saat dimana satu sama lain saling menyerahkan diri untuk kebahagiaan pasangan.

Melalui berbagai kenyataan tersebut, suami-isteri di dalam perkawinan, saling berbagi hidup satu sama lain dengan memberikan diri bagi pasangan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan sebuah persekutuan hidup bersama yang bernama keluarga. Persekutuan hidup bersama yang bernama keluarga itu, tak hanya dikehendaki oleh pasangan suami-isteri melainkan berada dalam rencana agung Allah. Seperti ditegaskan oleh Konsili Vatikan II,"Persekutuan hidup dan kasih suami-isteri yang mesra, yang diadakan oleh sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali" (KV II, GS 48).

Sebuah keluarga jelas sekali dibentuk melalui janji perkawinan. Di dalam janji itu terungkap, bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan menjadi satu dalam suka maupun duka. Menjadi satu disini berarti berbagi seluruh hidup. Menciptakan suatu interaksi relasi yang makin subur. Suami memberikan diri bagi isteri dan memperoleh pemenuhan dirinya justeru pada saat ia sungguh berbagi hidup dengan isterinya. Berbagi seluruh harapan dan cita-cita hidupnya. Demikian juga halnya dengan isteri. Dengan bertindak seperti itu, suami-isteri saling memberikan diri satu sama lain. Singkatnya: saling berbagi hidup. Tetaplah disadari, bahwa semangat berbagi antara suami-isteri tak hanya bermaksud bagi kesejahteraan keduanya melainkan juga demi anak-anak yang lahir dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, berbagi di dalam keluarga berarti juga berbagi antara orang tua dengan anak-anaknya.

Sampai jumpa pada edisi mendatang.

Salam dalam nama Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yosep.

Rm. Ignas Tari, MSF

Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta.