Beato Egidius dari Assisi, 23 April

Dipublikasikan tanggal 23 April 2014

1724.0423beato_egidio_d_assisi_1_400

23 April

Beato Egidius dari Assisi

Siapakah Beato Egidius? Jarang sekali orang mendengar namanya, dia tidak sepopuler dua orang santo dan santa asal Assisi lainnya, Santo Fransiskus dan Santa Klara, walaupun Egidius sendiri tidak bisa dipisahkan dari spiritualitas Santo Fransiskus.

Murid Santo Fransiskus Assisi

Egidius dari Assisi merupakan salah seorang pengikut Fransiskus yang pertama. Sudah pada tahun 1209, 23 April, ia bergabung dengannya sebagai saudara yang ketiga, setelah seminggu sebelumnya, Bernardus dari Quintavalle dan Petrus Catanii mendahuluinya bergabung.

Egidius itu anak seorang petani. Dalam Ordo Saudara Dina, ia berkembang menjadi tokoh yang terkenal karena hikmat kebijaksanaannya. Ia banyak didatangi orang yang ingin mendapat nasehatnya.

Tentang Egidius ini, Thomas dari Celano menulis pada tahun 1229 mengenai saudaranya yang se-ordo ini bahwa dia seorang "yang sederhana dan jujur dan takut kepada Tuhan", lalu Thomas menyambung, "ia telah lama berada di tengah2 kami dan hidup suci, jujur, dan saleh, dan memberi kita teladan ketaatan sempurna, pekerjaan tangan, hidup bertapa dan kontemplasi suci" (I Cel X, no. 25).

Egidius meninggal pada tahun 1262, ketika Bonaventura sedang menyusun Legenda Maior-nya tentang hidup Fransiskus. Kesaksian Bonaventura mengenai Egidius itu senada dengan Celano, tetapi lebih terinci: "Ia unggul dalam keutamaan dan karena itu dianggap layak - sebagaimana diramalkan oleh hamba Allah [yaitu Fransiskus] - untuk diangkat pada puncak kontemplasi yang tertinggi, kendati ia seorang yang sederhana dan tak terpelajar. Sebab selama sederetan tahun yang panjang ia bersungguh2 dalam mengarahkan hati dan pikirannya kepada Tuhan, sedemikian rupa sehingga seringkali ia mengalami Allah dalam ekstase, sebagaimana telah kusaksikan sendiri. Hidupnya di tengah kita lebih menyerupai hidup malaikat daripada hidup manusia" (LegMai III, 4).

Egidius memberi kita teladan hidup bertapa, kata Celano, dan Bonaventura menambahkan bahwa ia unggul dalam keutamaan. Salah satu "kata mutiara" asal Egidius berbunyi: "Keutamaan itu ibarat tangga dan jalan untuk naik ke surga; cacat cela dan dosa itu ibarat tangga dan jalan untuk turun ke neraka".

Delapan Permata

Tentang tradisi ulah tapa atau askesis itu Egidius sendiri menjelaskan bagaimana ia memandangnya: Delapan permata dianugerahkan Tuhan kepada para eremit suci, kepada Santo Fransiskus dan Dominikus, juga kepada para rahib suci, malah kepada semua orang kudus.

Permata ke-1: diberi untuk menyesali dosa dan mengakukannya dengan jujur, melunasinya, mencegahnya di masa depan dan untuk menjadi orang yang taat.

Permata ke-2: membantu para kudus melepaskan diri dari segala harapan pada dunia dan manusia, sehingga hatinya tidak melekat lagi pada apa yang bersifat sementara dan fana, dan mereka hanya dapat berbalik kepada Allah saja yang telah menciptakan hati mereka.

Permata ke-3: Membantu mereka mengenali segala kebaikan yang ada pada mereka itu sebagai kepunyaan Allah, dan menyadari bahwa segala kejahatan diakibatkan oleh kedosaan mereka sendiri.

Permata ke-4: membantu untuk dan dengan senang dan segenap hati mengabdi kepada setiap orang yang mengumpat mereka atau berbuat jahat terhadap mereka.

Permata ke-5: membantu untuk dengan gembira menerima teguran tetapi bukan penghormatan, untuk berusaha agar dalam persekutuan para pentobat itu semua sehati sejiwa, dan untuk menjadi murah hati dan saleh.

Permata ke-6: membantu menganggap diri sebagai yang terendah dari semua orang, dan memandang orang lain lebih utama daripada diri sendiri.

Permata ke-7: membantu untuk diri sendiri melayani dan tidak mengharapkan dilayani; dan untuk menyetujui orang lain yang memandang kita sebagai kurang penting.

Permata ke-8: membantu melihat semua perbuatan baik sebagai anugerah Allah dan mengembalikannya kepada-Nya dengan berkata, "Apa artinya kami ini, ya Tuhan? Kalau Engkau mengambil kembali kebaikan yang Kau kerjakan di dalam diri kami, maka kami menjadi orang paling jahat di seluruh negeri. Sebab barang siapa membuat kebaikan yang Allah punyai itu menjadi miliknya sendiri, mencuri kepunyaan Allah. Dan barang siapa tidak menjadikannya sesuatu apa pun miliknya sendiri, melainkan mengakui bahwa semuanya itu pemberian Tuhan, menerima kebaikan yang diciptakan Allah itu menjadi miliknya sendiri. (Dicta Beati Aegidii Assisiensis, Appendix, I,2)

Dari kata-kata Egidius ini, tampak dengan jelas betapa betapa besar kesesuaian pikiran antara dia dengan Fransiskus. Gagasan Fransiskus bahwa kebaikan jangan kita jadikan milik sendiri, tetapi harus kita kembalikan kepada Allah, sebab hanya dialah yang berhak memilikinya, dijunjung tinggi oleh Egidius.

Begitu pula sehati sejiwanya kedua orang kudus ini tampak dari pernyataan Egidius bahwa kadar seorang saudara dina semakin tinggi bila ia semakin menjadi tumpuan kaki bagi semua orang; dan - berkaitan dengan itu - pernyataannya bahwa "naik menjadi turun", dan juga bahwa "justru karena itu Santo Fransiskus berkata bahwa Tuhan telah mewahyukan kepadanya bahwa mereka harus menamakan diri saudara dina".

Tujuh Taraf Kontemplasi

Selain dalam hidup bertapa juga dalam berkontemplasi, Egidius berguru pada Fransiskus dan - menurut kesaksian orang sejaman - murid ini tidak kalah keunggulannya bila dibandingkan dengan gurunya.

Seorang saudaranya seordo, barangkali sdr. Leo (yang juga menulis riwayat hidup Beato Egidius) pernah bertanya kepada Egidius mengenai kontemplasi. Menjawab pertanyaan itu, Egidius berkata bahwa ada tujuh taraf atau anak tangga kontemplasi: api, pengurapan, ekstase, menatap, mengecap, beristirahat dan kemuliaan. Dengan sepatah kata, ia menjelaskan berturut-turut ketujuh taraf itu.

API adalah semacam cahaya yang mendahului untuk menerangi jiwa.

Kemudian menyusul PENGURAPAN dengan minyak mewangi; dari padanya timbul bau harum semerbak, sebagai lanjutan langsung dari cahaya tersebut. Dalam Kidung Agung ada tertulis tentangnya: "harum bau minyakmu" (Kid 1:3).

Lalu EKSTASE, sebab begitu jiwa menyadari bau harum ini, maka tercengkramlah ia oleh Tuhan; dan pancaindera yang jasmani tidak mengamati lagi sesuatu apapun.

Lantas menyusul hal MENATAP, setelah jiwa dibebaskan dari kontak inderawi apapun juga, ia menatap Tuhan dengan cara yang menakjubkan.

Taraf berikutnya ialah hal MENGECAP/MENIKMATI, sebab, waktu menatap, jiwa mengalami kemanisan yang mencengangkan. Tentangnya dikatakan oleh mazmur, "Kecaplah dan lihatlah betapa sedapnya Tuhan itu!" (34:9).

Lalu tibalah taraf ISTIRAHAT, bila langit-langit rohani mencicipi kemanisan, jiwa beristirahat dalam kemanisan ini.

Akhirnya dicapai KEMULIAAN, dalam istirahat yang tenang dan tentram ini jiwa dimuliakan dan disegarkan dengan sukacita yang tak dikenal. Mengenai hal ini kita baca dalam Mazmur 16:3, "Penampakkan kemuliaan-Mu yang selalu menjadi kesukaanku".

Sumber Tulisan : Rehab Rumah Tuhan - Menikmati Kepenuhan Bersama Fransiskus Assisi - Dr. Nico Syukur Dister, OFM

Sumber : http://gitasangsurya.blogspot.com/2009/12/beato-egidius-dari-assisi.html

Tulisan lain mengenai Beato Egiduis dari Assisi

Beato Egiduis dari Assisi (+ 1262)

(Salah seorang pengikut Santo Fransiskus Assisi yang pertama. Peringatan: 23 April) 

Egidius adalah seorang muda kaya dari kota Assisi. Dia tercatat sebagai orang ketiga (keempat?; lihat 1Cel 24) yang mengikuti Fransiskus. Sejak itu dia menjadi salah pengikut terdekat dari si 'Kecil-miskin dari Assisi". Ia memperbaiki sebuah pondokan rusak yang terletak dekat Assisi, tempat Fransiskus dan dua orang pengikutnya tinggal. Dia bersembah-sujud di kaki Fransiskus dan memohon-mohon kepada Fransiskus agar dapat diterima sebagai anggota persaudaraan pimpinan Fransiskus itu. Fransiskus lalu memperkenalkannya kepada kedua orang saudara (Bernardus dan Petrus Catani) sambil berkata: "Lihatlah di sini seorang saudara yang baik, yang telah dikirim Allah kepada kita." Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 April 1209. Pada hari yang sama Egidius dan Fransiskus bersama-sama pergi ke Assisi. Egidius memohon-mohon kepada Fransiskus agar diberikan sepotong kain untuk membuat jubah. Egidius membagi-bagi harta kekayaannya kepada orang-orang miskin. Dia adalah seseorang yang berpikiran dan berpenampilan sederhana, namun kuat dan penuh energi dalam melayani untuk mencapai apa saja yang baik. 

Egidius mengakui kerendahan-hati atau kedinaan merupakan fondasi yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaan. Oleh karena Egidius selalu menghindari segala macam penghormatan dari orang-orang lain. Pada suatu hari ketika dia dan Fransiskus sedang melewati wilayah Marka Ancona, orang-orang mengelu-elukan mereka dan menunjukkan rasa hormat kepada mereka secara istimewa, Egidius berkata kepada Fransiskus: "Oh Bapakku, aku takut kita akan kehilangan kehormatan sejati apabila kita dihormati oleh orang-orang.." 

Egidius sangat berhasrat untuk melakukan perjalanan ziarah ke Tempat-tempat Suci. Fransiskus mengetahui hal itu, lalu memberi izin kepadanya untuk melakukan perjalanan ziarah. Maka berangkatlah Egidius yang saleh ini, pertama-tama  ke makam Santo Yakobus di Compostela, Spanyol, kemudian dilanjutkan pergi Tempat-tempat Suci di mana Kristus menderita sengsara yang terletak di Yerusalem. Ia juga mengunjungi tempat Santo Mikael Malaikat Agung di Gunung Gargano, Italia dan juga kota Bari untuk menghargai Santo Nikolaus. 

Seluruh penampilan Egidius 'berkhotbah' tentang kemiskinan, kedinaan dan kesalehan. Egidius juga menggunakan setiap kesempatan untuk mendorong orang-orang melakukan pertobatan dan mengasihi Allah. Ia berupaya untuk hidup terutama melalui kerja kasar; begitu memperoleh lebih dari kebutuhannya, kelebihannya pun diberikannya kepada para miskin-papa. Pada suatu hari seorang perempuan yang sangat miskin dengan pakaian compang-camping meminta derma dari Egidius. Karena dia tidak mempunyai apa-apa lagi, dengan penuh bela rasa Egidius mencopot kapus (kuncung)-nya dan memberikan kepada perempuan miskin itu. 

Pada tahun 1219, dalam kapitel besar yang dihadiri oleh 5000 orang saudara dina, Fransiskus mengutus Egidius dan beberapa orang saudara ke Tunisia, Afrika, ......untuk mewartakan Injil kepada para saudara-saudari Muslim. Mereka tidak berhasil sampai ke tujuan, karena begitu mereka mendarat di pantai Afrika, orang-orang Kristiani di sana yang takut akan terjadinya penganiayaan umum, memaksa mereka untuk naik kapal lagi supaya 'pulang kampung' ke Italia. 

Setelah itu Egidius dikirim ke sebuah biara yang sunyi-sepi di Perugia, yang akan menjadi tempat tinggalnya sampai dijemput oleh Saudari Maut. Di biara itu, praktis Egidius hidup hanya bagi Allah. Meskipun di tengah-tengah pekerjaannya, ingatan tentang penghakiman terakhir, kekekalan, dan kemuliaan surgawi terus memenuhi pikirannya. Pada suatu hari ketika dua orang laki-laki terhormat minta tolong untuk didoakan. Egidius berkata: "Oh, anda tidak memerlukan doa-doaku." Dua orang itu balik bertanya: "Koq gitu, emangnya kenapa?" Egidius menjawab: "Anda hidup dalam segala kenikmatan dunia dan tetap percaya bahwa anda akan naik ke surga; sedangkan saya, seorang manusia miskin, sehari-hari bekerja keras dan melakukan pertobatan masih juga merasa takut terkutuk masuk neraka." Ketika Egidius merenungkan sukacita surgawi, maka dia pun akan mengalami ekstase. Demikian pula seringkali kalau anak-anak menyerukan kepadanya kata 'Firdaus'. 

Paus Gregorius IX telah mendengar mengenai karunia kontemplatif dari Saudara Egidius ini. Ketika dia sedang berada di Perugia, Sri Paus menyuruh orang memanggil Egidius untuk datang menghadapnya. Ketika Sri Paus mulai berbicara kepada Egidius tentang hal-hal ilahi dan surgawi, langsung saja Egidius mengalami ekstase. Pada saat Egidius sadar kembali, dia mohon agar Bapak Suci mengampuninya. Egidius mengatakan, bahwa itu memang kelemahannya ... suka langsung 'lupa diri'. Sri Paus minta agar Egidius dapat memberikan kepadanya beberapa nasihat baik berkenan dengan administrasi dari tugas-tugasnya yang begitu banyak dan berat. Cukup terkejut mendengar permintaan Sri Paus itu, Egidius mohon maaf dan mengatakan bahwa dia tidak dapat memberi nasihat kepada kepala Gereja. Namun ketika Sri Paus memerintahkan kepadanya, maka demi ketaatan yang suci Egidius berkata: "Bapak Suci, paduka harus mempunyai dua mata dalam jiwa paduka. Mata kanan harus diarahkan kepada hal-hal surgawi; sedangkan mata kiri harus diarahkan kepada hal-hal dunia ini, yang paduka harus atur." 

Santo Bonaventura merasa beruntung telah hidup dalam masa di mana dia masih dapat melihat dan berbicara dengan Saudara Egidius. Ketika dia datang ke Perugia sebagai minister jendral Ordo Saudara Dina, pada suatu kesempatan Egidius berkata kepadanya: Bapakku, Allah telah menganugerahkan kepada Bapak dengan kebaikan hati yang luarbiasa besar, karena Bapak begitu terpelajar dan, oleh karena itu dapat melayani Allah dengan begitu sempurna; akan tetapi kami saudara-saudara yang tidak terpelajar, bagaimana kami 'cocok' dengan kebaikan Allah dan akhirnya sampai ke surga?" Sang minister jendral menjawab: "Saudaraku, agar sampai ke surga, cukuplah kalau seseorang mengasihi Allah, dan seorang perempuan miskin tak terpelajar dapat mengasihi Allah seperti, bahkan barangkali lebih baik daripada seorang teolog besar." Setelah itu Egidius berlari ke taman yang menuju ke jalan. Dirinya dipenuhi dengan sukacita dan dia berseru keras-keras: "Marilah datang, hai kamu orang laki-laki yang sederhana dan tak terpelajar, dan kamu orang-orang perempuan miskin! Kamu dapat mengasihi Allah juga, barangkali lebih mengasihi daripada Saudara Bonaventura dan para teolog yang paling besar." 

Ada seorang sangat terpelajar yang meragukan tentang keperawanan Bunda Maria. Pada suatu hari dia mengunjungi Saudara Egidius untuk mohon nasihat-nasihat dari pengikut Santo Fransiskus yang sederhana ini. Sambil menghentakkan sepotong kayu ke tanah Egidius berseru: "Ya, ya! Dia seorang perawan sebelum kelahiran Yesus," dan langsung sebatang bunga lili yang indah muncul di permukaan tanah yang kena hentakan tadi. Egidius menghentakkan tongkat kayunya sekali lagi ke tanah, sambil berkata: "Dia seorang perawan pada saat kelahiran Yesus," dan lagi-lagi sebatang bunga lili muncul di permukaan tanah. Akhirnya Egidius menghentakkan tongkat kayunya untuk ketiga kalinya, sambil berkata: "Dia seorang perawan setelah kelahiran Yesus," ...... dan sebatang bunga lili pun muncul lagi di permukaan tanah yang terkena hentakan tadi. 

Akhirnya, dengan jiwa murni sebagai sebatang bunga lili, Saudara Egidius berjumpa dengan Saudari Maut pada tanggal 23 April 1262, pada peringatan hari masuknya dia ke dalam Ordo Saudara Dina. Dia menjadi seorang saudara dina selama 53 tahun. Makamnya di gereja Fransiskan di Perugia sangat dihormati. 

Untuk direnungkan secara pribadi atau diskusi dalam kelompok kecil: 

Ketika berbicara dengan Paus Gregorius IX di Perugia, Saudara Egidius dicerahkan oleh Yang Ilahi. Dia mengatakan hal-hal yang dia sendiri lakukan dengan setia. Kita pun harus menepati apa yang dikatakan orang kudus ini. Mata kanan jiwa kita harus diarahkan kepada hal-hal surgawi, sedangkan mata kiri jiwa kita harus diarahkan kepada dunia ini, yang harus kita hadapi sehari-hari. Artinya di tengah-tengah kesibukan kita pandangan-pandangan lebih tinggi jiwa kita haruslah diarahkan kepada Allah, agar supaya kita dapat melakukan setiap hal seturut kehendak-Nya dan dengan niat yang baik. Santo Paulus juga memperingatkan kita agar hati kita selalu diperuntukkan bagi hal-hal terbaik, niat yang paling sempurna, yang tidak menghasrati apa pun kecuali kemuliaan Allah: "... baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah" (1Kor 10:31). Apabila kita melakukan setiap hal seturut kehendak Allah, dan karena hal itu menyenangkan Allah, kita pun semakin memuliakan Allah. Apakah pemikiran seperti itu ada pada diri anda pada waktu bekerja sehari-hari? 

Sumber utama: Marion A. Habig OFM, THE FRANCISCAN BOOK OF SAINTS, Chicago, Ill.: Franciscan Herald Press, 1979 (Revised Edition). 

Cilandak, 15 April 2010

Sdr. F.X. Indrapradja, OFS

Sumber : http://catatanseorangofs.wordpress.com/2010/04/23/beato-egidius-dari-assisi-1262/