Santo Vincentius

Dipublikasikan tanggal 11 September 2014

Vincentius a Paulo (1581-1660) adalah seorang kudus (santo) dan tokoh pembaharu Gereja Katolik Perancis.


Di Indonesia nama "Vincentius a Paulo" dipakai oleh rumah sakit Katolik di Surabaya, SD dan SMP Katolik di Garum, Blitar dan Surabaya, satu paroki di Surabaya (Jalan Widodaren) dan satu paroki di Kediri, sejak tahun 1972 bertambah dengan satu Paroki di Malang (Jalan Ananas) juga SMA Seminari di Garum, Blitar, Jawa Timur, dan panti asuhan di Jakarta (Jl. Otto Iskandardinata No. 76 A, Kelurahan Bidara Cina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur).


Vincentius juga disebut “Bapak orang miskin” karena cinta dan pelayanannya kepada orang miskin. Oleh Paus Leo XIII, Paus pencetus Ajaran Sosial Gereja, Vincentius dideklarasikan sebagai santo pelindung (patron saint) karya amal cinta kasih Gereja Katolik (bersama Santa Luisa de Marillac pada waktu Paus Yohanes XXIII dalam suratnya Omnibus Mater).

Vincentius lahir tanggal 24 April 1581 di desa Poy, Dax, Perancis Selatan, dari keluarga miskin.
Sejak kecil ia membantu kerja sebagai penjaga ternak. Pada umur 15 tahun, keluarga dan desa ditinggalkannya untuk sekolah di kota Dax. Kemudian ia menyelesaikan sarjana teologi di kota Toulouse pada tahun 1604. Sebelum menyelesaikan teologi, ia ditahbiskan sebagai imam (romo) pada tanggal 23 September 1600. Saat itu umurnya baru 19 tahun.

Langkah selanjutnya sebagai seorang imam, Vincentius berusaha mencari uang. Pertama-tama dia berjuang untuk menjadi Pastor Paroki di desa Thil, tidak jauh dari desa asalnya. Menjadi pastor paroki pada zaman itu sama dengan mendapat jabatan yang menghasilkan uang. Untuk itu ia mencari
surat keputusan dari Vikaris Jenderal ("Vikjen") Keuskupan Dax. Sayangnya pada waktu itu seorang imam lain sudah diangkat untuk Paroki yang sama dan pengangkatannya berasal dari Roma. SK Vikjen tentu tak banyak berarti di hadapan SK dari Roma. Pada tahun 1601 dia pergi ke Roma untuk memperjuangkan kariernya. Setelah beberapa bulan Vincentius muda terpaksa kembali ke Toulouse tanpa penghasilan apa pun.

Kegagalan demi kegagalan mendapatkan penghasilan membuat Vincentius berpikir: apa yang Tuhan kehendaki dari dirinya? Itulah pertanyaan yang mengusik hatinya. Perjumpaan dengan orang-orang miskin di Chatillon les Dombes dan kotbah di Gereja desa Folleville (1617) membuatnya tergerak untuk beralih dari “hidup mencari penghasilan untuk diri sendiri” kepada “hidup hanya untuk mengabdi Tuhan dan orang miskin”. Bimbingan rohani dengan orang suci yang sangat dikaguminya pada waktu itu, Fransiscus de Sales, Uskup Geneva, juga makin meneguhkan pertobatannya untuk mengabdi Tuhan dalam diri orang-orang miskin dan terlantar.

Setelah semakin mantap perjalanan hidupnya sebagai seorang imam, Vincentius menghimpun beberapa kawan imam yang dia sebut sebagai "romo-romo CM" (atau romo-romo Lazaris) pada tanggal 17 April 1625. CM merupakan singkatan dari Congregatio Missionis atau Kongregasi Misi, kelompok romo dan bruder yang bertugas mewartakan Sabda Tuhan di desa-desa yang tidak terlayani oleh imam. Sebab pada waktu itu, para imam umumnya lebih memilih tugas di kota daripada di desa.
Sebab di kota mereka mendapat penghasilan. Vincentius pernah berkata bahwa di Paris terdapat sepuluh ribu imam yangtidak berbuat apa-apa. Saat ini Kongregasi Misi memiliki anggota sekitar 4000 orang yang terdiri dari imam dan bruder dan tersebar di wilayah-wilayah Eropa, Afrika, Amerika Latin, Asia, dan Australia serta kepulauan pacifik.


Seperti pendirinya, seorang CM mengenakan semangat Kristus, yang mewartakan Injil kepada orang-orang miskin. Semangat itu diterjemahkan dalam karya-karya pendidikan para calon imam (seminari), pendidikan awam, berkarya di paroki dan universitas, serta aneka karya pastoral di keuskupan-keuskupan.

Disamping CM, Vincentius juga mendirikan serikat Suster Puteri Kasih (PK) tahun 1633 bersama Santa Luisa de Marillac. Suster Puteri Kasih dalam sejarah Gereja adalah suster-suster pertama yang memiliki ciri khas dapat berkarya merasul, berkeliling dari pelosok desa ke desa atau di kampung-kampung kota, mengunjungi, merawat dan melayani orang-orang miskin. Sebab pada zaman itu, yang disebut “suster” haruslah tinggal dalam biara. Dalam sejarahnya, suster-suster Puteri Kasih adalah para biarawati yang aktif melayani dan merawat yang sakit dan terluka pada waktu perang, baik semasa perang saudara sesudah revolusi Perancis maupun Perang Dunia Pertama maupun Kedua. Tahun 1945, jumlah mereka pernah mencapai 45.000 suster. Tahun 2010 jumlah mereka menyusut, tetapi masih terbesar di antara tarekat-tarekat religius yang lain: 23.000 suster.

Selain CM dan PK, Vincentius juga mendirikan Asosiasi Persaudaraan Cinta Kasih yang pada zaman itu (abad ke-17) anggota-anggotanya terdiri dari ibu-ibu bangsawan di Perancis. Di Indonesia, asosiasi ini disebut AIC (Asosiasi Ibu-ibu Cinta Kasih).

Tokoh Pembaharu
Vincentius dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu Gereja Katolik Perancis pada abad ke-17. Pierre Coste (1873-1935), salah satu sejarawan terkenal dan penulis biografi Vincentius, menyebutnya sebagai “Santo Agung dari Abad yang Agung.” Maksudnya, Vincentius adalah salah satu tokoh besar Gereja Katolik yang hidup pada abad itu dimana Perancis dipenuhi dengan para tokoh hebat pembaharu spiritualitas, seperti Kardinal de Berulle, Andre Duval, Franciskus de Sales (Geneva),
Jean-Jacques Olier, dan seterusnya.

Kontribusi pembaharuan Vincentius yang menonjol dapat disebut dua hal:

1) Vincentius mengubah “wajah Gereja”, dari Gereja yang memperhatikan orang-orang kaya kepada Gereja yang menyambut dan melayani orang-orang miskin; dan
2) Vincentius “merevolusi” Gereja Katolik dalam hal pendidikan seminari, pendidikan khusus bagi para calon imam.

Vincentius dikenal sebagai pencetus sebuah pertemuan hari Selasa, dimana para imam berkumpul untuk melakukan diskusi dan refleksi bagi pembinaan diri. Perkumpulan itu disebut “Konferensi hari Selasa”.

Henri Bremond SJ, seorang sejarawan dan filosof Perancis, mengatakan bahwa Vincentius adalah seorang mistikus aktif. Vincentius adalah pelayan orang miskin yang berdoa dan kontemplatif. Kecintaan dan pengabdiannya kepada orang miskin dipondasikan pada pengalaman rohani yang mendalam; dan perjumpaannya dengan orang miskin dikontemplasikannya sebagai sebuah pengalaman rohani bertemu dengan Tuhan sendiri.

Pada tahun 1633, seorang profesor sastra di Universitas Sorbonne Paris, Frederic Ozanam bersama kawan-kawannya mendirikan kelompok sosial yang terdiri dari anak-anak muda. Ozanam mengambil spiritualitas Vincentius sebagai pondasi semangat kelompoknya. Kelompok sosial itu disebut Serikat Sosial Vincentius (SSV) yang saat ini berkembang pesat di seluruh dunia dengan anggota kurang lebih satu juta awam Katolik maupun dari agama lain.

Pengaruh Vincentius juga nyata dalam semangat pelayanan Beata Ibu Teresa dari Calcuta, India. Dalam satu dua tulisan rohaninya, Ibu Teresa pernah berkata bahwa Santo Vincentius adalah inspirasi pelayanan cintanya kepada orang-orang terlantar.

Spiritualitas Vinsensian
Spiritualitas berarti hidup untuk mencintai Allah. Cinta kepada Allah dalam pengertian Vincentius berarti bekerja keras untuk Allah: “Saudara-saudaraku, marilah mencintai Allah, sekali lagi marilah mencintai Allah, tetapi dengan mencucurkan keringat dan dengan menyingsingkan lengan baju”.

Menurut Vincentius cinta kepada Allah dengan sendirinya bermuara dalam karya, yaitu dalam usaha melaksanakan kehendak Allah. Oleh karena itu bagi Vincentius doa dan karya merupakan satu kesatuan: doa dilanjukan dalam karya, karya dibawa dalam doa. Vincentius tidak segan-segan menganjurkan kepada para suster Puteri Kasih demikian: “Bila Suster terpaksa meninggalkan doa untuk melayani orang miskin, jangan cemas, karena itu berarti meninggalkan Tuhan untuk berjumpa lagi dengan Tuhan dalam diri orang miskin”.[14] Ungkapan terakhir ini dapat diringkas: “Meninggalkan Tuhan untuk Tuhan.”

Kepada romo-romo CM, Vincentius mewariskan spiritualitas lima keutamaan untuk hidup sehari-hari:

Simplisitas (kesederhanaan)adalah keutamaan yang menggerakkan kita untuk mengakui sebagai ciptaan yang kecil dihadapan Allah yang Mahabesar.
Kerendahan hati adalah berasal dari kata simplex (satu lapis) berarti bukan duplex atau triplex, tidak mendua hati, hanya tunggal yakni kehendak Tuhan.
Kelembutan hati adalah “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita ...” (1Yoh 4:10) Cinta kasih itu membawa konsekwensi bahwa tanda kita mengasihi Allah dengan memberi waktu dan ruang dalam hati kita untuk merasakan kasih Allah.
Matiraga adalah tindakan penyangkalan mengenai apa-apa yang disukai oleh natura atau kodrat kita.
Semangat untuk menyelamatkan jiwa-jiwa adalah menyelamatkan umat manusia dan menariknya kembali ke dalam hubungan yang benar dengan Allah.
Sementara kepada para suster Puteri Kasih, ia mengatakan semangat: kesederhanaan, kerendahan hati, cinta kasih.

Spiritualitas ini hingga saat ini dihayati banyak orang Kristiani, bahkan umat dari agama lain, terutama kaum muda dalam upaya mereka untuk mewartakan Kabar gembira dan melayani orang miskin. Bagaimana dengan kalian saat ini?
Sudah melakukan belum?

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Vincentius_a_Paulo