Lazarus Dibangkitkan!

Dipublikasikan tanggal 12 February 2015

Lazarus Dibangkitkan!

Yoh 11:1-44

Dalam periode kepengurusan Dewan Paroki Pleno kali ini, Paroki kita sudah harus kehilangan dua orang saksi Kristus: Alm Ibu Margaretha Linriwati Halim, ketua lingkungan St. Catharina Siena dan Alm Bapak Laurentius Suwito, ketua lingkungan St. Maximilianus Kolbe. Sungguh sulit menjawab pertanyaan: Mengapa orang baik harus dipanggil cepat-cepat? Dalam kotbah pemberkatan jenazah Alm Bapak Suwito, kotbah Pastur Yakub Janami Barus OFMConv memberikan jawaban pasti: Tidak ada kata penghiburan apa pun yang cocok dan pas untuk keluarga dan handai taulan yang sedang berduka karena ditinggalkan, kecuali menyerahkan penghiburan kepada Yesus, yang senantiasa memberi kelegaan kepada mereka yang letih lesu dan berbeban berat. (Mat 11:28)

Tulisan ini pun tidak bertujuan untuk memberi penghiburan, juga tidak untuk mencoba memberikan jawaban kepada pertanyaan: Mengapa? Ribuan tahun yang lalu ada sebuah keluarga yang sedang mengalami kedukaan yang sama dan yang mendalam, karena salah satu anggota keluarga mereka meninggal. Mereka adalah keluarga Maria, Marta, dan Lazarus. Mereka tinggal di Betania, di lereng timur Bukit Zaitun. Rumah mereka menjadi tempat Yesus menginap, apabila Dia berkunjung ke Yerusalem. Di rumah ini Yesus selalu disambut dan dijamu. Di sini Yesus mengalami kehangatan sebuah keluarga. Mereka benar-benar adalah sahabat-sahabat Yesus.

Jika disimak dengan teliti kisah Lazarus dibangkitkan, rupanya kisah ini diapit oleh dua kisah. Pertama, Yesus ditolak oleh orang-orang Yahudi (Yoh 10:22-39); mereka mencoba untuk merajam Yesus dan menangkap Yesus, tetapi Ia luput dari tangan mereka. Kemudian Yesus pergi ke seberang Sungai Yordan dan banyak orang menjadi percaya kepada-Nya. Kedua, persepakatan untuk membunuh Yesus (Yoh 11:45-57). Kisah Lazarus dibangkitkan memicu kebencian orang-orang Yahudi, yang akan berujung pada penyaliban Yesus.

Kisah dimulai dengan sebuah kabar kepada Yesus dari Maria dan Marta, “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit.” Yesus memahami situasi genting yang terjadi, tetapi Dia menunggu. Dia sengajar tinggal dua hari lagi, baru sesudah itu Dia berkata, “Mari kita kembali lagi ke Yudea.” Murid-murid Yesus mencium bahaya, bahkan Tomas dengan lantang berkata, “Marilah kita pergi juga utuk mati bersama-sama dengan Dia.” Memang Tomas bukan orang gampang! Yesus menjawab, “Lazarus telah tertidur (meninggal)”. Tujuan perjalanan Yesus ke Betania kali ini bukan hanya untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan, tetapi untuk menambah keyakinan para murid.

Lazarus rupanya sudah meninggal empat hari sebelum rombongan Yesus tiba. Nampaknya dia meninggal pada hari Yesus menerima kabar tentang sakitnya. Marta sedikit “menyalahkan” Yesus, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Akan tetapi dia percaya akan kebangkitan, “Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada akhir zaman.” Lalu Yesus membuat pernyataan, “Akulah kebangkitan dan hidup; siapa saja yang percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” Yesus pun bertanya kepada Marta, “Percayakah engkau akan hal ini?” Marta menjawab, “Ya Tuhan, aku percaya bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, yang akan datang ke dalam dunia.”

Kemudian datanglah Maria ditemani oleh beberapa orang Yahudi. Dia mengulang kata-kata Marta, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Tangisan Maria dan teman-temannya membangkitkan dua perasaan dalam diri Yesus. Pertama, Yesus marah, mungkin karena ketidakpercayaan Maria dan teman-temannya. Dia bertanya, “Di mana kamu baringkan (kuburkan) dia?” Kedua, Yesus sangat terharu, sedih, dan menangis.

Kisah selanjutnya sudah kita ketahui. Kubur dibuka, Yesus berdoa kepada Bapa, dan dia berseru, “Lazarus, marilah keluar!” Dia keluar, kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kafan dan mukanya tertutup dengan kain peluh. Yesus berkata, “Bukalah kain-kain itu dan biarkan ia pergi.” Banyak orang Yahudi yang menyaksikan sendiri apa yang telah dibuat Yesus, percaya kepada-Nya.

Kisah Lazarus dibangkitkan merupakan tanda terakhir dari tujuh tanda yang dibuat Yesus dalam Injil Yohanes. Kisah ini diapit dua kisah tentang rencana pembunuhan Yesus. Rupanya penginjil ingin menyampaikan suatu amanat, bahwa kematian Lazarus adalah pralambang dari kematian Yesus. Dengan demikian Lazarus dibangkitkan adalah pralambang dari kebangkitan-Nya.

Kembali kepada kotbah Pastur Yakub. Apa maknanya menyerahkan penghiburan kepada Yesus? Dari kisah Lazarus kita dapat merenungkan bahwa sebuah kematian menjadi bermakna apabila kematian itu di dalam Kristus. Mengapa demikian? Dalam kitab Wahyu, Yohanes menulis, “Berbahagialah orang-orang yang mati dalam Tuhan, supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Why 14:13). Kematian dalam Kristus akan diganjar dengan kebangkitan.

Lalu, terhadap keluarga yang ditinggalkan, apakah salah kalau mereka berduka? Tidak sama sekali. Kehilangan orang yang dikasihi tentu menyakitkan. Namun duka itu tidak boleh menghapuskan keyakinan akan kebangkitan orang-orang mati pada akhir zaman bersama-sama dengan Yesus. Maka Paulus memberi nasihat kepada jemaat di Tesalonika, “Jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan.” (1 Tes 4:13)

Apa yang harus kita lakukan ketika kita sedang berduka ditinggalkan orang yang dikasihi? Saya menemukan sebuah nasihat, tulisan seorang Spanyol: cada persona enfrenta de forma diferente la perdida de un ser querido, lleva su luto a su manera y es el tiempo el único que puede llegar a disipar el dolor y la sensación de vacío que dejan. Pero la fortaleza que llevamos por dentro nos ayuda a sobrellevar el día a día y es cuando debemos estar tranquilos y en paz, recordándolos con su hermosa sonrisa, con alegría y con todo lo bueno que nos dieron en vida … es así como les gustaran que les recordáramos siempre. (setiap orang menghadapi kematian orang yang dikasihi dengan cara yang berbeda; mereka melewati masa berkabung dengan cara yang tidak sama; hanya sang waktu, satu-satunya yang mampu menyembuhkan luka dan kekosongan hati kita yang ditinggalkan. Namun kekuatan yang ada di dalam diri kita akan membantu kita untuk menghadapinya dari hari ke hari; ketika kita mampu menenangkan diri dalam damai, teringatlah kita akan senyumannya yang manis, dengan sukacitanya, dengan segala kebaikan yang telah dia berikan kepada kita dalam hidup ini; inilah cara mengenang yang paling disukainya.