Kemungkinan Inkulturasi Dalam Perayaan Ekaristi

Dipublikasikan tanggal 18 August 2010

KEMUNGKINAN INKULTURASI DALAM PERAYAAN EKARISTI

Tujuan :

Tujuan Misa Inkultarasi yang ingin dicapai ialah : supaya naskah dan upacara-upacara lebih jelas mengungkapkan hal‑hal kudus yang dilambangkannya. Dengan demikian umat Kristen sedapat mungkin menangkapnya dengan mudah dan dapat ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif dan dengan cara yang khas bagi jemaat. (De Liturgia romana et inculturatione n. 35).

Oleh karena itu catatan khusus dari Sri Paus Yohanes Paulus II ialah bahwa segala usaha yang, dilaksanakan hendaknya melalui pengkajian lintas ilmu secara cermat, sehingga dengan demikian improvisasi dihindari dan penyesuaian diadakan hanya sejauh berguna dan perlu (bdk.idem; surat pengantar untuk ketua KWI)

Bidang-bidang penyesuaian yang dapat dilaksanakan :

  • Bahasa : yang mengungkapkan kebenaran iman serta keagungan dan kesucian misteri yang dirayakan.(bdk. n. 39).
  • Musik dan menyanyi : yang mengungkapkan jiwa umat; menyanyikan teks liturgis dengan jenis musik daerah yang mampu menyelaraskan ibadat dengan sifat perangai umat dalam kebiasaan hidup mereka. Kata‑kata yang dinyanyikan hendaknya bernafaskan Alkitab dan Liturgi dengan mutu sastra yang indah sehingga cocok untuk memantapkan penghayatan umat beniman dan diselaraskan dengan keanggunan gedung gereja.(bdk.n. 40).
  • Tata gerak dan sikap badan : baik bagi imam selaku pemimpin umat yang mewakili Kristus maupun umat sebagai tanda kesatuan antara mereka. Sangat perlu diperhatikan sebab mengungkapkan partisipasi dan memupuk sikap ibadat para peserta.(bdk. n. 41).
  • Menyanyi diiringi gerakan berirama dan tepuk tangan : Boleh ...... asal semua itu mengungkapkan sembah‑sujud, pujian, persembahan, permohonan seluruh jemaat, dan tidak hanya merupakan pertunjukkan belaka (bdk.n. 42).
  • Seni dekorasi dan tata ruang : hendaknya dapat menolong umat beriman untuk melaksanakan perayaan, untuk bertemu dengan Tuhan dan berdoa. Sedapat mungkin hendaknya sungguh berarti dalam kehidupan dan tradisi bangsa yang bersangkutan. Hal yang sama berlaku pula bagi bentuk, tempat dan tatahias altar, tempat untuk mewartakan Sabda Allah dan tempat pembaptisan, semua perabot. bejana liturgi, busana dan tatawarna. Untuk semuanya itu yang hendaknya diutamakan ialah bahan, bentuk, dan warna‑warna yang biasa dipakai di daerah ybs.

A. Dua Cara Penyesuaian TPE :

  • Accomodatio, yakni berkaitan dengan unsur‑unsur perayaan tanpa menyentuh struktur TPE, misalnya: pemakaian bahasa, pilihan bacaan, doa‑doa presidensial, tata gerak tertentu dan sikap badan sejauh menyangkut pendengar, situasi, persoalan hidup serta kepentingan rohani umat di tempat ybs. Seperti halnya dengan seluruh Liturgi, perayaan Ekaristi pun dilakukan dengan menggunakan tanda-tanda yang nampak. Lewat tanda-tanda itu iman umat dipupuk, diperkuat dan diungkapkan. Dari sebab itu sungguh penting untuk memanfaatkan semua unsure dan bentuk upacara yang disediakan oleh Gereja. Hal itu memungkinkan umat dapat berpartisipasi secara lebih aktif dan memetik manfaat yang lebih besar bagi kepentingan rohaninya. Semua itu dengan mengingat kekhususan umat dan tempat (PUMR n.20). Yang berwenang melaksanakan akomodasi adalah imam yang memimpin perayaan saat itu (bdk. N.352). Menyangkut struktur yang sifatnya lebih permanen misalnya, di bidang tata gerak tertentu dan sikap badan ... Akan tetapi konferensi waligereja boleh menyesuaikan aturan-aturan tentang sikap badan ini dengan cirri khas bangsa setempat. Namun handaknya selalu diperhatikan maksud dan arti setiap bagian perayaan Ekaristi (n. 42). Tentang Nyanyian Pembukaan ... Tetapi boleh juga digunakan nyanyian lain yang sesuai dengan sifat upacara, sifat pesta dan suasana Masa Liturgi, asal teksnya disahkan oleh konferensi waligereja (n. 48). Salam Damai sebelum Komuni .... Cara memberikan Salam Damai itu ditentukan oleh konferensi waligereja setempat agar sesuai dengan kepribadian dan adat kebiasaan masing-masing bangsa (n. 82). Kemungkinan suatu adaptasi cultural ialah dalam hal teks dan ritus. Teks‑teks yang akomodatif seperti yang dimaksudkan oleb Cenam Paschalem ialah kebebasan ungkapan kata‑kata menurut situasi umat misalnya pada : Ajakan Pembukaan Misa, sepatah kata menjelang akhir misa serta nasihat‑nasihat yang diberikan. Dengan cara ini Imam yang memimpin perayaan lebih mungkin menciptakan komunikasi yang spontan dan hidup. Teks‑teks aptatif ialah usaha menerjemahkan rumusan kata‑kata dari bahasa latin ke dalam bahasa budaya tertentu dimana di satu pihak harus disesuaikan dengan gaya ungkapan bahasa budaya bangsa tertentu dan di lain pihak tetap mempertahankan isi teks asli secara "utuh dan setia". Jadi ada dua hal yang harus diperhatikan dalam aptatio baik untuk teks maupun untuk ritus : pertama, membedakan ungkapan‑ungkapan kultural dari isi teologisnya; kedua, berusaha menemukan unsur‑unsur kultural yang hidup dewasa ini (bukan dari zaman lampau yang sudah/hampir hilang) yang kiranya dapat mengungkapkan isi yang sama dalam bentuk/cara yang lain.

B. Kemungkinan Pelaksanaan Adaptasi kultural TPE :

Patut disadari terdahulu bahwa adaptasi dalam pelaksanaannya tidaklah mudah sebab harus berdasarkan suatu penelitian teologis, historis dan pastoral yang sungguh cermat mengenai bagian‑bagian yang akan disesuaikan (bdk. KL 23). Perlu diperhatikan juga norma‑norma liturgis dan fenomena sosio-budaya yang sedang berjalan. Dalam hal ini Pedoman Umum Misale Romawi harus dipandang sebagai interpretasi dasar yang resmi tentang berbagai bagian TPE.

1. Pelaksanaan di bidang ritus-ritus

Kemungkinannya ialah dalam Upacara Pembukaan, Liturgi Sabda, Liturgi Ekaristi dan Upacara Penutup.

Upacara Pembukaan :

PUMR in. 46 menegaskan bahwa Upacara Pembukaan bercorak mengawali, menghantar dan mempersiapkan; merupakan unsur‑unsur yang masuk dari zaman dan budaya yang berbeda dan terdiri dari Perarakan masuk, Salam Pembukaan, Pernyataan Tobat, Kyrie. Gloria dan Doa Pembukaan. Dilain pihak setiap budaya bangsa memiliki cara-cara sendiri untuk membuka, mengantar, mempersiapkan suatu perayaan. PUMR membuka kemungkinan penyesuaian budaya untuk perarakan masuk dan menganjurkan kata-kata pengantar untuk Misa saat itu (n. 47-48). Demikian pula dengan upacara cium altar yakni : penghormatan kepada meja santapan Tuhan, tetapi cara lain bisa dibuat menurut rasa religius masyarakat ybs. Pedupaan, dapat diganti dengan unsur-unsur lain yang mirip. Salam Pembukaan dari imam memuat arti teologis yang mendalam yakni mau mengungkapkan misteri umat yang hadir saat itu sebagai Gereja. Meskipun merupakan bentuk yang sangat tua dan biblis, dapat pula dilengkapi dengan cara-cara lain yang lebih menyentuh umat yang hadir dari budata masyarakat tertentu. Tentang Pernyataan Tobat, merupakan komunikasi non verbal; namun tetap disertai dengan teks doa yang sesuai dengan maksud.

Liturgi Sabda :

Liturgi Sabda merupakan dialog interaktif antara Allah yang memaklumkan Sabda‑Nya dan umat‑Nya terkasih yang mendengarkan dan menanggapi Dia. Selalu mungkin ada kultur yang lebih menjelaskan nilai‑nilai dialog tersebut bagi masyarakatnya dalam cara-cara lain, misalnva di Afrika: setiap bagian tertentu dijawab dengan aklamasi oleh umat sebagai ungkapan perhatian dan penghargaan. (bdk. kebiasaan orang Batak. orang Jawa dll). Untuk bacaan Injil dan doa Umat, PUMR menetapkan sikap berdiri: akan tetapi untuk beberapa budaya di Afrika harus duduk sebab berdiri berarti kurang berminat dan ingin meninggalkan tempat itu. Doa Umat bagi banyak budaya di Asia dan Afrika lebih pantas dihayati sambil berlutut sebab mengandung ungkapan permohonan.

Liturgi Ekaristi :

Perarakan bahan persembahan membuka kemungkinan luas untuk adaptasi sebab menyangkut keterlibatan umat yang membawakan hasil‑hasil jerih payahnya menurut cara dan kebiasaan budayanya. Tiga unsur dalam perarakan bahan persembahan ialah : membawa/menghantarkan, mempersembahkan/menyerahkan kepada celebran utama dan celebran itu menerimanya. Mungkin disertai dengan ungkapan bahasa adat, dapatlah diperhitungkan.

Salam Damai adalah tanda perdamaian, kesatuan dan cintakasih antara satu sama lain dan dalam rangka persiapan untuk menyambut Komuni suci dapat diadakan menurut adat kebiasaan setempat.

Adaptasi Doa Syukur Agung pertama‑tama harus memperhatikan bahwa konsili Vatikan II telah banyak menyingkirkan unsur‑unsur sampingan yang muncul sejak abad XII yakni : bunyi lonceng, penyalaan lilin lain, pedupaan dan banyak tanda salib yang dibuat dengan penuh hormat, khidmat dan hening. PUMR n. 78 menyebutkan bahwa DSA menuntut agar umat mendengarkannya dengan hormat dan hening dan mengambil bagian di dalamnya dengan aklamasi‑aklamasi Penyederhanaan seperti yang dimaksudkan konsili ini membuka peluang juga untuk sikap badan dan cara‑cara budaya setempat yang dirasa akan lebih rnenunjang sikap hormat dan hening‑khidmat.

Upacara Penutup :

Bagian ini terdiri dari tiga bagian : salam, berkat dan perutusan. Boleh jadi bagian yang kecil dan sederhana ini bagi bangsa‑bangsa tertentu diperpanjang dan dibuat semarak dengan ungkapan‑ungkapan syukur, persahabatan, hormat dan restu akhir dari kalangan yang lebih tua. Prinsipnya, unsur‑unsur ritual yang serupa dapat diterima agar lebih sesuai dengan bangsa ybs, seperti yang termuat dalam TPE : ut unusquisque ad opera sua bona revertatur collaudans et benedicens Dominum.

2. Pelaksanaan di bidang teks doa/rumusan kata‑kata :

Atas pertimbangan situasi. sengaja tidak kami paparkan disini.

Sumber utama :

CHUPUNGCO A.J., L'adattamento liturgico nell'Ordo Missae, dlm. Anamnesisi 3/2, ed.Marietti, 1983

lnstruksi IV tentang Pelaksanaan Konstitusi Liturgi Vatikan II n. 37‑40 secara benar. De Liturgia Romana et Inculturatione, dlm : seri dok gerejawi n. 40, 1995

Misale romawi baru. ed. Th. 2002

Rm. Bosco da Cunha O.Carm.

Materi Talkshow "Ekaristi & Berbagai Kemungkinan Penerapan Inkulturasi"

Minggu, 8 Agustus 2010 (Aula Santo Hendrikus - Paroki Santo Lukas Sunter)