MEMAHAMI PENTAKOSTA

Dipublikasikan tanggal 28 April 2015

MEMAHAMI PENTAKOSTA

Dari Sudut Pandang Sinai

Pada tanggal 24 Mei 2015 Gereja akan merayakan hari raya Pentakosta, hari turunnya Roh Kudus. Bacaan Kitab Suci yang terkait tidak asing lagi bagi kita yaitu Kis 2:1-13. Kisah ini sangat mengagumkan dengan disajikannya pelbagai fenomena alam: bunyi seperti tiupan angin keras, lidah-lidah api yang bertebaran dan hinggap pada manusia, dan tidak ketinggalan nelayan-nelayan dari Galilea tiba-tiba mampu berbahasa asing. Banyak orang mengaitkan peristiwa ini dengan “bahasa roh” (glossolalia), yang lazim diucapkan oleh anggota komunitas-komunitas karismatik, meskipun banyak juga yang tidak menyetujui pendapat itu.

Kali ini kita akan menyikapi semua hal ini dari sudut pandang lain. Pentakosa (Yun. “Πεντηκοστή”, pentekoste) dipahami oleh orang Yahudi secara berbeda. Dalam agama Yahudi Pentakosta adalah Pesta “Shavuot”, salah satu dari tiga pesta ziarah besar yang harus dirayakan oleh orang Yahudi.

Tiga kali setahun setiap orang laki-laki di antaramu harus menghadap hadirat TUHAN, Allahmu, ke tempat yang akan dipilih-Nya, yakni pada hari raya Roti Tidak Beragi, pada hari raya Tujuh Minggu dan pada hari raya Pondok Daun. Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa. (Ul 16:16)

Hari raya Tujuh Minggu dirayakan 50 hari setelah hari raya Roti Tidak Beragi. Hari raya ini diuraikan dalam Im 23:15-22, sebuah festival agrikultur menyambut panen gandum. Namun, hari raya ini pun diberi makna religius. Para rabi menetapkan bahwa hari raya Tujuh Minggu bertepatan dengan turunnya Sepuluh Firman Allah kepada Musa di Gunung Sinai.

Bangsa Israel meninggalkan Mesir pada hari ke-15 bulan pertama (Kel 12:6), keesokan hari setelah mereka mempersembahkan anak domba Paskah. Mereka tiba di kaki Gunung Sinai pada hari pertama bulan ketiga (Kel 19:1). Perjalanan dari Mesir ke Sinai makan waktu kira-kira 40 hari. Kemudian Musa mendaki Gunung Sinai dan tinggal beberapa hari di sana, sebelum kembali dengan membawa dua loh batu yang berisikan Sepuluh Firman Allah (Dekalog). Jumlah hari terhitung mulai mereka meninggalkan Mesir sampai dengan peristiwa turunnya Dekalog diyakini berjumlah 50.

Bangsa Israel Menerima Sepuluh Firman Allah di Sinai

Dengan demikian hari raya roti Tidak Beragi (Paskah) erat hubungannya dengan hari raya Pesta Tujuh Minggu (Pentakosta). Pada hari raya Pentakosa (Shavuot) Allah mewahyukan Diri-Nya kepada umat-Nya dan mengikat perjanjian dengan mereka dengan memberikan mereka Sepuluh Firman untuk ditaati dan dilaksanakan. Apa makna baru dari hari raya Pentakosta Yahudi (Shavuot) bagi umat Kristiani?

Dalam Kis 2 diceritakan bagaimana Roh Kudus turun dan hinggap pada masing-masing umat beriman dalam rupa lidah api. Peristiwa ini terjadi pada hari raya Tujuh Minggu. Pada hari yang sama orang Yahudi merayakan peristiwa Allah menurunkan Taurat-Nya di atas dua loh batu.

Apabila kita mencermati dua peristiwa dalam Kitab Suci ini, kita akan dapat menemukan kesejajaran dan kemiripan:

  • Kedua peristiwa terjadi di atas gunung (Gunung Sinai dan Bukit Zion/Yerusalem)
  • Kedua peristiwa terjadi pada umat yang baru mengalami penebusan atau kelahiran. Peristiwa keluaran menandai kelahiran bangsa Israel, sedangkan Pentakosta menandai kelahiran Gereja.
  • Kedua peristiwa mengisahkan bagaimana umat menerima Hukum Allah dan Roh Allah.
  • Kedua peristiwa mengisahkan bagaimana Allah mewahyukan Diri-Nya dalam rupa lidah api. Dalam tradisi Yahudi (Midrash Exodus Raba) dikisahkan bahwa di Sinai nyala api menjadi bahasa dan juga bahwa Firman Allah membagikan diri (bertebaran) dalam tujuh puluh lidah sehingga semua bangsa di dunia dapat mendengar hukum Sinai dalam bahasanya sendiri.
  • Pada saat Musa turun dari Gunung Sinai membawa dua loh batu berisikan Sepuluh Firman Allah, dia menemukan bahwa bangsa Israel sudah melakukan kesesatan dengan menyembah berhala anak lembu emas. Akibatnya pada hari itu tewaslah kira-kira 3.000 orang (Kel 32:28). Ketika Roh Kudus turun atas umat beriman, Petrus berkhotbah dan pada hari itu 3.000 orang diselamatkan (Kis 2:41)
  • Kedua peristiwa melibatkan: bunyi, tiupan angin keras, api, asap, guruh dan kilat. Kata Ibrani untuk “kilat” adalah “kolot”, yang dapat berarti pula bahasa.

Akan tetapi, Sinai dan Pentakosta juga memiliki perbedaan, atau lebih tepat disebut pembaharuan:

  • Penerimaan Hukum di Sinai merupakan pengalaman kolektif (orang-orang Israel sebagai bangsa), sedangkan turunnya Roh Kudus merupakan pengalaman semua umat beriman secara pribadi.
  • Bangsa Israel menerima Taurat sebagai Hukum tertulis di atas dua loh batu. Pada hari Pentakosta umat beriman (Gereja) menerima Roh Allah di dalam hatinya. Hal ini merupakan penggenapan nubuat Yeremia dalam Yer 31:31-34.

Dengan demikian kisah turunnya Roh Kudus tidak bisa dipahami secara harafiah, karena akan mendangkalkan maknanya yang luhur. Tidak perlu juga kita mempertentangkannya dengan turunnya Roh Kudus ke atas para rasul pada hari kebangkitan Yesus, seperti dicatat dalam Injil Yohanes (Yoh 20:22). Pengarang Kisah Para Rasul tidak bermaksud untuk melaporkan fakta yang pernah terjadi di Yerusalem.

Pentakosta, Roh Kudus Turun atas Umat Beriman

Sebaliknya dengan membandingkan kisah Pentakosta dengan kisah Sinai, kita mampu menangkap maknanya yang paling dalam. Bagaimana mungkin Injil Yesus Kristus yang diwartakan oleh segelintir nelayan sederhana dari Galilea mampu mencapai orang-orang dari segala bangsa sampai ke ujung dunia? Pengarang Kisah Para Rasul menemukan jawabannya:

  • Para rasul dan murid menerima Roh Kudus. Dengan Roh Kudus (dalam rupa lidah-lidah api) mereka menjadi berani mewartakan Injil kepada siapapun dan di mana pun juga, meski harus menanggung risiko, bahkan risiko kematian.
  • Roh Kudus diterima sebagai pengalaman pribadi. Artinya, semua umat beriman menerima Roh secara pribadi dan semua diutus untuk mewartakan Injil tanpa terkecuali. (Mat 28:18-20)
  • Roh Kudus bertebaran dalam rupa “lidah-lidah” api. Hal ini berkaitan dengan bahasa atau kuasa untuk berbicara. Dengan demikian Roh Kudus adalah Roh pewartaan. Kis 2:1-13 tidak bermaksud menyatakan Roh sebagai kuasa untuk membuat mukjizat, bahasa lidah, atau hal lainnya. Kis 2:1-13 ingin menekankan bahwa Roh Kudus memberi dorongan untuk mewartakan Injil kepada orang lain.
  • Pewartaan Injil harus dilaksanakan sampai ke ujung dunia. Untuk itulah para rasul dan murid diceritakan mampu berbahasa asing. Pewartaan tidak boleh membeda-bedakan bangsa. Segala bangsa wajib “diinjili”.

Dengan demikian, menjelang hari raya Pentakosta, kita sebagai umat beriman diingatkan akan kewajiban untuk mewartakan Injil. Pewartaan Injil harus mengambil bentuk karya dan sabda dalam proporsi yang seimbang. Penginjilan juga harus mengena di hati budaya-budaya yang berbeda. Ini bukan perkara mudah, bagaiman hal ini mungkin terjadi? Pengarang Kisah Para Rasul memberikan jawabannya: itulah karya Roh Kudus. Veni, Sancte Spiritus, datanglah ya Roh Kudus!