Surat Untuk Keluarga-Keluarga Kristiani

Dipublikasikan tanggal 16 September 2010

 

Jakarta, 10 September 2010

Kepada Keluarga-Keluarga Kristiani

Se-Keuskupan Agung Jakarta

di tempat 

Salam damai dalam kasih Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yosep.

Di Paroki, dimana saya tinggal, hampir setiap minggu saya menyaksikan pasangan yang menikah. Mereka, pasangan itu menghadap altar Tuhan, untuk meneguhkan janji perkawinan di hadapan imam, para saksi, keluarga dan segenap umat yang hadir. Tentu saja, setiap pasangan yang menikah itu berharap bahwa perkawinan mereka membahagiakan yang berdasar pada iman, harapan dan kasih kristiani. Meja altar dihias dengan berbagai bunga indah sedemikian rupa supaya tata cara peneguhan perkawinan mengesankan. Pesta dibuat semeriah mungkin sebab itu adalah peristiwa yang berlangsung sekali seumur hidup.

Seorang kawan pada hari perkawinannya mengungkapkan, ”Saya bekerja dua tahun. Tabungan sudah mencapai ratusan juta rupiah. Tetapi begitu saya menikah semua tabungan itu habis untuk biaya-biaya perkawinan. Itu pun saya masih harus meminjam untuk menutupi biaya-biaya lain yang tak terduga – yang setelah dihitung jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. Sesudah perkawinan dilangsungkan, saya bersama isteri masih harus memikirkan pengembalian pinjaman tersebut.  Perkawinan memang mahal. Karena dilangsungkan sekali seumur hidup maka saya dan pasangan sepakat agar perkawinan kami dibuat benar-benar mengesankan”.

Tampak bahwa banyak pasangan menghendaki agar perkawinan dilangsungkan dengan meriah karena peristiwa tersebut begitu penting dan menentukan dalam perjalanan hidup. Perkawinan dilangsungkan dengan koor yang meriah, tata hias altar dengan bunga-bunga yang indah, pesta perkawinan yang megah. Itu semuanya menunjukkan kesungguhan dalam mengawali sebuah babak baru dalam hidup. Tetapi mengapa begitu banyak pasangan yang berjuang melewati pergumulan bahkan ada diantaranya yang kemudian gagal dalam perkawinan? Adakah sesuatu yang salah dengan perkawinan yang dibangun? Apa yang mesti dilakukan jika pasangan mengalami pergumulan yang begitu hebat sehingga merasa seakan-akan tak cukup memiliki kekuatan untuk melanjutkan perkawinan? Masihkan ada harapan bahwa pergumulan berakhir baik? Apa yang bisa dijadikan sebagai pegangan agar perkawinan benar-benar membahagiakan.

Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba saya jawab dengan melukiskan pengalaman seorang kawan saya yang lain. Kawan saya itu berkata, ”Perkawinan saya berbeda dengan banyak perkawinan. Jika banyak perkawinan sesudah pemberkatan di Gereja kemudian diawali dengan pesta di hotel-hotel mewah dan menjalani bulan madu di pulau-pulau dengan tempat-tempat romantis, perkawinan saya lain sama sekali. Sesudah pemberkatan di Gereja, diadakan resepsi di sebuah gedung paroki dengan acara sederhana tetapi semua kerabat dan keluarga berkumpul mendukung dan mendoakan kami. Sesudah acara selesai, kami masih mempunyai kelebihan uang yang cukup untuk membeli perabot rumah tangga baru. Saya memulai perkawinan dengan sebuah pengertian yang mendasar bahwa perkawinan berawal bukan pertama-tama pada pesta yang meriah dengan biaya yang mahal, melainkan pada bersatunya dua pribadi untuk membangun kebersamaan dalam mengikat janji perkawinan yaitu saya dengan isteri saya. Dan ini benar-benar membahagiakan. Saya mengawali perkawinan tanpa utang”. 

Jika kita mencermati dua kisah pasangan yang menikah ini, tentu saja ada perbedaan diantara keduanya. Pasangan pertama mengawali perkawinan dengan beban pinjaman karena pesta yang meriah. Tentu saja beban pinjaman tersebut akan mempengaruhi relasi suami-isteri di dalam perjalanan perkawinan. Sedangkan pasangan yang kedua mengawali perkawinan tanpa beban utang sedikit pun karena memusatkan perhatiannya pada persatuan dua pribadi di dalam perjalanan perkawinan.

Tanpa bermaksud memberikan penilaian terhadap kedua kawan saya itu, di dalam hati saya merasa bahwa pilihan kawan saya yang ke-2 kiranya sangat tepat bagaimana semestinya perkawinan dibangun dan dimengerti. Perkawinan dibangun di atas dasar yang sangat kokoh, paling kurang dalam pertimbangan mereka untuk mengadakan acara yang sederhana tetapi sebenarnya jauh di dalam hati mereka tersimpan kemeriahan.

Apa yang paling pokok dalam perkawinan bukanlah pada pestanya yang meriah dengan biaya-biaya yang mahal melainkan pada perkawinan itu sendiri. Dan inti dari perkawinan ialah bersatunya dua pribadi atas dasar kasih. Kemegahan pesta yang justeru akan mengganggu intimitas hubungan dua pribadi di dalam perkawinan kiranya perlu dipikirkan kembali. Kesederhanaan pesta tetapi justeru membuat pasangan makin merasa berkembang menjadi satu hati – satu jiwa merupakan tindakan yang – sekali lagi menurut saya sangat tepat.

Mudah-mudahan apa yang saya tuliskan ini membantu banyak pasangan yang sedang mempersiapkan perkawinan, termasuk para orang tua yang tentu saja ikut memberikan pertimbangan saat putera-puterinya sibuk memikirkan perkawinan supaya perkawinan benar-benar dibangun di atas dasar yang kokoh yaitu intimitas hubungan antar dua pribadi yang saling mengasihi.

Sampai jumpa pada edisi mendatang.

Salam dalam nama Keluarga Kudus, Yesus, Maria dan Yosep

Rm. Ignas Tari, MSF

Komisi Kerasulan Keluarga Keuskupan Agung Jakarta