BOLEHKAH KAUM TUNAGRAHITA DIBAPTIS?
Dipublikasikan tanggal 25 October 2016
BOLEHKAH KAUM TUNAGRAHITA DIBAPTIS?
Katekese untuk Para Penyandang Disabilitas Mental
Lukisan Adorasi Kanak-kanak Yesus
Dalam lukisan di atas, “Adorasi Kanak-kanak Yesus” karya seorang pelukis anonim berkebangsaan Belgia, dapat kita lihat seorang anak Down Syndrome berdiri di samping Bunda Maria sedang menatap Kanak-kanak Yesus. Lukisan abad ke-16 ini merupakan gambar pertama penyandang Down Syndrome, dibuat tiga abad sebelum kondisi kelainan kromosom genetik ini ditemukan oleh John Langdon Down pada tahun 1866. Lukisan ini membangkitkan ingatan kita akan pertanyaan seputar status kaum tunagrahita dalam hubungannya dengan Gereja. Apakah kaum tunagrahita dapat dibaptis? Pertanyaan ini menjadi subyek perdebatan dalam Gereja sampai abad pertengahan.
Kitab Suci juga tidak banyak berbicara tentang kaum penyandang keterbelakangan mental. Dalam Mat 4:24 dikisahkan bahwa kepada Yesus dibawa semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka. Kata Yunani untuk “yang sakit ayan” adalah selÄ“niazomenous yang juga dapat diartikan “gila”.
Dua orang kudus St. Agustinus dan St. Thomas Akuinas menegaskan bahwa orang-orang dengan keterbelakangan mental harus dibaptis. Argumen mereka adalah bahwa kaum tunagrahita tidak ada bedanya dengan balita. Gereja membaptis bayi-bayi yang belum dapat menggunakan akal budinya (KHK 97, 867, 868). Gereja melaksanakan pembaptisan bayi untuk membersihkan bayi dari dosa asal dan mempercayakan pertumbuhan imannya kepada orang tua dan wali baptis. Namun, tetap saja ada perbedaan antara bayi dengan kaum penyandang cacat mental. Bayi-bayi akan tumbuh dan suatu saat akan dapat menggunakan akal budi mereka untuk memahami dan meyakini iman akan Kristus, hal mana mungkin tidak akan pernah terjadi pada kasus kaum tunagrahita. Namun, Gereja juga membaptis bayi-bayi dalam bahaya maut dengan risiko bahwa mereka mungkin tidak akan dapat bertahan dan tumbuh untuk memeluk iman mereka secara murni dan konsekuen. Dalam hal ini kasus berakhir kurang lebih sama dengan para penyandang disabilitas mental. St. Thomas Aquinas memberi catatan bahwa apabila seorang tunagrahita yang pada saat masih waras tidak menunjukkan keinginan untuk menerima pembaptisan, hendaknya tidak dibaptis.
Tidak adanya ketentuan eksplisit mengenai pembaptisan kaum tunagrahita menunjukkan bahwa pembaptisan seorang dengan keterbelakangan mental sangat dipengaruhi oleh keadaan kasus per kasus dan reksa pastoral gereja setempat. Setiap disabilitas, apa pun bentuknya, bukanlah karena kesalahan orang itu dan bukan juga kesalahan orang tuanya, tetapi karena pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalamnya. (bdk. Yoh 9:3). Allah mengasihi semua orang dan semua orang baik yang sehat maupun sakit, baik fisik maupun mental, memiliki hak yang sama untuk menjadi anak-anak Allah.
Gereja terlibat dalam pelayanan terhadap mereka yang berkebutuhan khusus. Sebuah komunitas bernama KOMPAK (Komunitas Orang Mau Pelajari Ajaran Kristus) berfokus pada pelayanan pembangunan dan pertumbuhan iman para penyandang disabilitas sehingga mereka mampu memahami rencana Allah bagi dirinya dan kehidupannya, di samping mengarahkan mereka untuk mampu melayani sesama dan lingkungan masyarakat luas. Beberapa paroki juga sudah memulai pelayanan untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) misalnya paroki Blok Q. Keputusan untuk membaptis kaum tunagrahita tentu terletak di tangan pastor paroki yang bekerjasama dengan penjamin (orang tua, wali baptis, katekis, dll). Demikian pula perlu dipertimbangkan jenis disabilitas yang diderita. Satu hal tidak perlu diragukan lagi adalah bahwa Putera Allah sudah datang ke dunia untuk menyelamatkan semua manusia.
Katekese ABK (Anak-anak berkeButuhan Khusus)
Pada tanggal 11 Juni 2016 yang lalu Paus Fransiskus berjumpa dengan ribuan penyandang disabilitas yang berkumpul di Aula Paulus VI Vatikan. Perjumpaan ini diwarnai dengan emosi dan sukacita yang berlimpah. Bapa Suci menegaskan bahwa perbedaan adalah kekayaan dan mengingatkan para imam agar menyambut dengan penuh sukacita para penyandang disabilitas. Pastoral penyandang disabilitas membutuhkan dua titik perhatian: kesadaran untuk mengajarkan iman kepada para penyandang cacat, dan keinginan untuk menerima mereka sebagai subyek aktif dalam komunitas.