KELUARGAKU SEKOLAH KEHIDUPANKU

Dipublikasikan tanggal 29 November 2016

KELUARGAKU SEKOLAH KEHIDUPANKU

Bulan Keluarga 2016

Pada tahun 2016 Keuskupan Agung Jakarta mengajak umat untuk memasuki Masa Adven dengan tema “Sekolah Kehidupanku”. Sejak tahun 2012 materi pertemuan lingkungan masa Adven disiapkan oleh Komisi Kerasulan Keluarga dan selalu bertemakan keluarga, karena Natal yang dinantikan dengan penuh sukacita oleh semua umat beriman adalah sebuah “pesta keluarga”.

Mengapa keluarga sangat penting? Karena ketika Allah menciptakan manusia, Allah juga menciptakan keluarga. Allah “menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, … laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” (Kej 1:27) Maka, manusia tidak pernah akan menjadi gambar Allah kalau hanya terdiri dari laki-laki saja atau perempuan saja. Selanjutnya Allah memberkati manusia laki-laki dan perempuan, lalu memberi perintah kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak …” (Kej 1:28). Dengan demikian, konsep Allah menciptakan manusia sejak semula adalah supaya manusia membentuk “keluarga”. Keluarga inti yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu, dan anak-anak mulai berubah sejak manusia jatuh ke dalam dosa. Cucu Adam, anak Kain, bernama Lamekh tercatat sebagai manusia pertama yang melakukan poligami dengan mengambil dua orang istri, Ada dan Zila (Kej 4:19). Selanjutnya, poligami selalu menghiasi lembar sejarah kehidupan manusia, misalnya Raja Salomo yang memiliki 700 orang istri dan 300 orang gundik (1 Raj 11:3), meskipun sudah diperingatkan oleh Tuhan.

Dalam Perjanjian Baru Yesus mempertahankan dan menegaskan kembali rencana Allah tentang manusia dalam keluarga. Menjawab pertanyaan orang-orang Farisi tentang perceraian, Yesus menjawab, “… apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:6). Meskipun demikian, Yesus juga mengajarkan sesuatu yang baru, yakni manusia tidak memilih hidup perkawinan karena alasan-alasan tertentu, misalnya karena “kemauan sendiri oleh Kerajaan Surga.” (Mat 19:12). Keluhuran dan kesetiaan perkawinan menjadi lambang hubungan antara Allah dan umat-Nya, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.

Maka, tidak mengherankan kalau Sang Sabda menjadi manusia juga dalam sebuah keluarga, yakni keluarga kudus Nazaret. Selama puluhan tahun Yesus hidup sebagai seorang anggota keluarga. Yesus hidup dalam “asuhan keluarga” (Luk 2:50) dan tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa dan bijaksana (Luk 2:51). Tidak dapat disangkal bahwa keluarga Nazaret memiliki andil dalam pembentukan manusia Yesus.

Pendidikan Pertama dan Utama dalam Keluarga

Apa kiranya yang dipelajari oleh Yesus dari keluarganya? Pertama, tentu saja ketaatan. Yusuf adalah seorang yang taat beragama (Mat 1:19.) Dua kali dia menyatakan ketaatannya kepada Allah dengan memperistrikan Maria dan menjadi ayah duniawi Yesus (Mat 1:20-21) serta membawa keluarga Nazaret ke Mesir (Mat 2:13). Maria menyatakan ketaatannya dengan fiat-nya yang terkenal, “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38). Maka Yesus pun tumbuh sebagai seorang yang taat kepada Allah. Di taman Getsemani Yesus berdoa, “Ya Bapaku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!” (Mat 26:42)

Kedua, adalah semangat berbagi dan melayani. Yusuf bersedia menjadi suami Maria dan ayah Yesus; ini bukanlah sebuah perkara enteng! Sesaat setelah mendapat pewartaan dari Malaikat Gabriel, Maria yang tengah hamil muda langsung menyusuri jalan pegunungan untuk mengunjungi Elisabet. Di sana Maria tinggal selama tiga bulan untuk membantu saudaranya yang tengah hamil tua. Semangat berbagi dan melayani yang dimiliki oleh Yesus secara meriah dituliskan oleh Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, “… telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia …, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp 2:7-8)

Ketiga, tentang ketabahan dalam menghadapi penderitaan. Simeon memberkati bayi Yesus dan berkata kepada Maria, “dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri …” (Luk 2:35), sebuah signal akan penderitaan yang harus ditanggung oleh keluarga muda ini. Yusuf harus bersusah payah membawa keluarga ini ke Mesir. Setelah menetap di Mesir, kembali Allah menyuruh Yusuf untuk membawa kembali keluarga Nazaret ke tanah Israel. Yesus pun datang ke dunia untuk menderita demi menebus dosa manusia! Penginjil Yohanes menulis bahwa “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15:13)

Keempat, tentang kehidupan doa. Yusuf adalah seorang yang taat beragama. Maria, yang jarang berbicara, tidak kehabisan kata-kata dalam melambungkan pujian kepada Allah (Luk 1:46-56). Dua kali penginjil Lukas mencatat bahwa Maria menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan merenungkannya (Luk 1: 19, 2:51). Hal ini berarti bahwa Maria selalu membawa segala sesuatu di dalam doanya. Tidak heran, Yesus juga menjadi pendoa ulung. Dia yang mengajarkan Doa Bapa kami, dan penginjil Lukas mencatat bahwa Yesus selalu berdoa dalam momen-momen terpenting dalam hidup-Nya, misalnya ketika Dia dibaptis (Luk 3:21), memilih kedua belas rasul (Luk 6:12), di taman Getsemane (Luk 22:41), ketika menjelang ajal-Nya (Luk 23:46), dan pada kesempatan-kesempatan lain (Luk 9:18, 9:28, 11:1, 22:32)

Kelima, tentang disiplin membaca Kitab Suci.  Seorang anak Yahudi belajar membaca di rumah bersama orang tuanya dan di sinagoga bersama kepala sinagoga. Satu-satunya bahan bacaan yang tersedia adalah Kitab Suci Perjanjian Lama. Maria juga sangat rajin membaca Kitab Suci. Dalam Magnificat Maria meringkas sejarah penyelamatan bangsa Israel. Lagu pujian Maria itu sendiri merupakan cerminan dari puji-pujian Hana, ibu Samuel (1 Sam 2:1-10). Yesus pun sangat memahami Kitab Suci dan kerap mengutip ayat-ayatnya ketika sedang memberi pengajaran misalnya ketika sedang menghadapi cobaan Iblis di padang gurun (Mat 4:1-11).

Membiasakan Membaca Kitab Suci Sejak Usia Dini

Lingkungan keluarga adalah lingkungan yang paling utama bagi pendidikan semua anggota keluarganya, karena sebagian besar kehidupan manusia seharusnya berada di dalam keluarga. Sayangnya pendidikan dalam keluarga mengalami banyak kendala misalnya kondisi ekonomi keluarga, kesibukan pekerjaan, kehadiran orang tua dalam keluarga, dan kecenderungan untuk melimpahkan tanggung jawab pendidikan ke pihak sekolah. Semua permasalahan ini perlu diupayakan penyelesaiannya karena pendidikan dalam lingkungan keluarga sangat penting bagi perkembangan anak-anak menjadi manusia yang berkepribadian dan berguna bagi masyarakat. Kekudusan keluarga kudus Nazaret selayaknya menjadi teladan bagi keluarga-keluarga Kristiani dewasa ini. Selamat memasuki masa Adven, bulan keluarga dan semoga Tuhan memberkati kita semua dan keluarga kita.