HARI SABAT DIBUAT UNTUK MANUSIA
Dipublikasikan tanggal 17 January 2017
HARI SABAT DIBUAT UNTUK MANUSIA
Bukan Manusia untuk Hari Sabat
Hari Sabat merupakan salah satu praktik kesalehan Yahudi. Bagi mereka hari Sabat adalah anugerah dari TUHAN dan merupakan hari yang penuh dengan sukacita dan dinanti-nantikan sepanjang minggu. Pada hari Sabat orang-orang Yahudi mengesampingkan semua perkara-perkara duniawi dan mengabdikan diri kepada hal-hal yang lebih tinggi. Dalam sastra Yahudi, Sabat dilukiskan sebagai mempelai atau ratu, seperti dalam himne Sabat yang terkenal Lecha Dodi Likrat Kallah (datanglah kekasihku, temuilah sang mempelai).
Sabat adalah hari beristirahat dan hari rohani. Kata Sabat berasal dari akar kata שַׁבָּת (shin-beit-tav) yang berarti berhenti atau beristirahat. Kitab Keluaran (Kel 31:15-17) mencatat, “Enam hari lamanya boleh dilakukan pekerjaan, tetapi pada hari yang ketujuh haruslah ada sabat, hari perhentian penuh, hari kudus bagi TUHAN: setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari Sabat, pastilah ia dihukum mati … sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, dan pada hari yang ketujuh Ia berhenti bekerja untuk beristirahat.”
Ada dua ketentuan yang berkaitan dengan hari Sabat yaitu:
- Mengingat hari Sabat: Kel 20:8, “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat.” Setiap orang Yahudi harus mengingat pentingnya hari Sabat sebagai peringatan akan penciptaan dan pembebasan dari perbudakan di Mesir. Pada zaman dahulu waktu beristirahat hanya dimiliki oleh orang-orang dari kelas tertentu. Para budak tentu tidak memiliki waktu beristirahat. Maka, dengan merayakan hari Sabat orang Yahudi diingatkan bahwa mereka adalah orang merdeka dan bukan budak. Pada hari Sabat orang Yahudi dibebaskan dari segala pekerjaan, jadwal, komitmen, dan tugas-tugas sama seperti nenek moyang mereka dibebaskan dari perbudakan.
- Memelihara hari Sabat: Ul 5:12, “Maka haruslah orang Israel memelihara hari Sabat, dengan merayakan sabat, turun-temurun, menjadi perjanjian kekal.” Pekerjaan dalam bahasa Ibrani melachah adalah pekerjaan yang berhubungan dengan pengendalian atau penguasaan lingkungan. Selain dalam konteks hari Sabat kata melachah hanya digunakan dalam konteks membangun Kemah Suci. Maka, para rabi Yahudi berkesimpulan bahwa pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat berkaitan dengan pembangunan Kemah Suci dan bejana-bejananya.
Terdapat 39 pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat misalnya menabur, membajak, dan menuai. Ada beberapa larangan yang agak aneh misalnya menulis atau menghapus dua huruf, bahkan memadamkan api. Semua ini tercatat dalam Mishnah Sabat. Di samping 39 pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat, para rabi juga mengajarkan bahwa pada hari Sabat dilarang melakukan perjalanan, menjual dan membeli. Penggunaan listrik juga dilarang karena sama maknanya dengan menyalakan dan memadamkan api. Demikian pula halnya dengan mengendarai kendaraan bermotor.
39 Pekerjaan yang Dilarang Pada Hari Sabat Disusun seperti Tabel Periodik
Bacaan Injil hari ini diambil dari Mrk 2:23-28. Dikisahkan bahwa orang-orang Farisi mengkritisi murid-murid Yesus karena mereka memetik bulir gandum pada hari Sabat. Hal ini dianggap sebagai sebuah pelanggaran karena menuai dilarang pada hari Sabat. Padahal, murid-murid Yesus memetik bulir gandum mungkin karena mereka lapar di perjalanan.
Menjawab mereka Yesus menjawab mereka dengan sebuah kisah yang pernah dialami oleh Daud (1 Sam 21:1-6). Di dalam kitab Samuel diceritakan bahwa Daud menghadap Ahimelekh (bukannya Abyatar) untuk minta makanan. Imam Ahimelekh memberikan kepadanya roti kudus. Daud melanggar hukum Taurat karena makan roti kudus yang hanya boleh dimakan oleh para imam. Daud terpaksa melakukan hal tersebut karena anak buahnya sedang lapar.
Melalui kisah Daud, Yesus mengajarkan bahwa bagi Tuhan manusia lebih penting daripada berbagai aturan. Seperti dalam penjelasan di atas hari Sabat diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia dan bukan sebaliknya. Hari Sabat tidak pernah dimaksudkan untuk melarang orang berbuat baik dan mengasihi sesamanya. Hari Sabat seharusnya menjadi hari yang penuh dengan kasih, anugerah, dan kerahiman.
Pelajaran apa yang dapat kita peroleh dari perikop ini? Sudah tiba saatnya bagi kita untuk membangun skala prioritas yang mengutamakan keadilan dan kasih di dalam hidup. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mememiliki kepribadian dan budaya yang luhur. Sayangnya, akhir-akhir ini orang lebih mementingkan legalitas formal sebagai ukuran suatu kebenaran. Syarat-syarat legalitas tersebut kerap tanpa disertai kepekaan hati nurani. Bacaan Injil hari ini mengingatkan kita bahwa peraturan dibuat demi manusia dalam semangat cinta kasih dan bukan sebaliknya.