HEY HUJAN BERHENTILAH BARANG SEJENAK
Dipublikasikan tanggal 23 March 2017
HEY HUJAN BERHENTILAH BARANG SEJENAK
Sebait lirik tembang lawas berjudul “Hujan” karya grup penyanyi Bimbo sontak muncul di benak saya ketika menyaksikan hujan turun dengan deras pagi hari ini. Sebagai pendamping Bagian Perawatan dan Kekaryawanan Gereja, saya risau kalau-kalau ada bocor baru di gedung gereja. Konstruksi atap yang sudah tua memang rentan dengan kebocoran. Belum lagi arsitektur atap yang tinggi dan curam memang menyulitkan perbaikannya. Musim kemarau dan hujan yang tidak jelas lagi periodenya juga menyurutkan rencana perbaikan atap dalam skala yang lebih besar. Alhasil, terpaksa perbaikan mengikuti kebocoran yang terjadi, alias problem solving.
Saya pun merenungkan makna hujan dalam Kitab Suci. Dalam kotbah di bukit Yesus bersabda, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Mat 5:45). Hujan adalah berkat dari Allah. Air adalah sumber kehidupan. Dengan air sawah-sawah akan terairi dan makhluk hidup akan tercukupi kebutuhannya untuk kelangsungan hidup mereka. Namun di lain pihak, hujan juga bisa menjadi bencana. Kitab Suci menampilkannya dalam kisah air bah di zaman Nuh. Dengan hujan Allah menghukum manusia karena dosa yang mereka perbuat.
Menurut pandangan orang Yahudi, bumi berbentuk seperti piring yang datar dan berdiri tegak di atas pilar-pilar. Pilar-pilar ini berdiri tegak di atas samudera yang luas, yang mengelilingi bumi. Di atas bumi terbentang cakrawala yang memisahkan air. Allah menciptakan cakrawala pada hari kedua untuk memisahkan air di atas cakrawala dari air di bawah cakrawala. Di atas cakrawala berdiam Allah, yang dikenal dengan istilah surga. Cakrawala ini sangat solid, dan mengisolasi tempat Allah di surga dari tempat manusia di bumi. Maka, ketika Allah berkomunikasi dengan manusia, penulis Kitab Suci biasa menggunakan istilah “langit terkoyak”, hal mana terjadi misalnya ketika Yesus dibaptis oleh Yohanes di sungai Yordan.
Sebenarnya, masih ada lagi bentuk komunikasi Allah yang lain. Pada cakrawala Allah menciptakan “tingkap-tingkap”, yang menurut kamus berarti jendela-jendela di atap. Maka, bisa dibayangkan bagi orang Yahudi cakrawala adalah atap di atas rumah mereka yaitu bumi. Melalui tingkap-tingkap inilah Allah mencurahkan hujan ke atas bumi. Dengan demikian, hujan sebenarnya adalah juga manifestasi komunikasi Allah kepada manusia. Seperti lazimnya, komunikasi Allah bisa dua rupa: berkat atau hukuman. Allah memberkati manusia yang taat kepada-Nya dan sebaliknya menghukum mereka yang tidak setia kepada-Nya.
Saya pun bertanya-tanya apakah mungkin hujan, yang merupakan berkat yang tercurah dari Allah dan menjadi sumber kehidupan dapat berputar arah menjadi suatu bencana yang mematikan? Siapkah manusia menerima berkat hujan yang cukup deras tahun ini dan mengolahnya untuk kehidupan? Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah dengan baik dapat menjadi buruk karena ulah manusia. Kerakusan manusia dengan membabat hutan dan merusak ekosistem mengubah wajah hujan yang bersahabat menjadi bencana bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup yang lain.
Sebagai pengikut Kristus, kita dipanggil untuk menjadi mitra Allah dalam mengelola alam. Berbagai usaha sudah dilakukan dalam skala kecil di lingkungan gereja sendiri: misalnya penataan taman, pemilahan sampah, gerakan BBM dll. Semua upaya ini memang perlu didukung oleh seluruh umat yang memakai bangunan gereja.
Satu hal belum terjawab, takut akan hujan karena takut ada bocor baru apa amanatnya? Sekali lagi kita cari ayat Kitab Sucinya, ternyata ada! “Oleh karena kemalasan runtuhlah atap, dan oleh karena kelambanan tangan bocorlah rumah.” (Pkh 10:18) Ternyata Kitab Suci tahu masalah gereja Santo Lukas? Lalu …?
Selamat melewati hari Kamis penuh berkat.