SANTO FELIX CANTALICE
Dipublikasikan tanggal 05 May 2017
18 Mei
Santo Felix dari Cantalice ( 1515-1587)
RIWAYAT HIDUPNYA
Pada 1515, di sebuah desa Italia bernama Cantalice, pada lembah Rieti yang indah, Felix dilahirkan dari sebuah keluarga petani yang miskin namun saleh. Sebagai anak muda dia menjaga ternak, dan kemudian dia pun menjadi seorang buruh tani. Karena begitu leluasa berada di tengah alam bebas ciptaan Tuhan, maka hatinya tertarik pada Tuhan, yang dia saksikan setiap hari melayani kita, manusia, dengan murah hati.
Kerja beratnya itu tidaklah membuat dia menjadi kasar atau pun bersemangat duniawi, sebagaimana seringkali terjadi, tetapi dia tetap lembut dan ramah terhadap setiap orang. Bila dia pada malam hari, dalam keadaan kelelahan, tiba di rumah, dia masih menghabiskan banyak waktu untuk berdoa dalam kamarnya yang kecil itu. Sewaktu bekerja pun dia senantiasa melibatkan dirinya dalam doa. Yang sangat menyakitkan hatinya ialah, bahwa dia tidak dapat menghadiri Misa Kudus pada hari-hari biasa. Dia sungguh berniat, dengan senang hati mempersembahkan seluruh hidupnya untuk melayani Tuhan, tetapi dia tidak melihat jalan keluar bagaimana hal itu bisa terwujud, sampai pada suatu hari suatu kecelakaan menunjukkan jalannya.
Felix harus memasang sepasang sapi muda yang masih sangat liar pada bajak. Sapi-sapi itu pun meronta-ronta, dan ketika Felix berusaha menenangkan mereka, sapi-sapi itu menerjangnya dan sekaligus menyeret mata bajak yang tajam itu melindas tubuhnya. Petani-petani yang ada berlarian ke tempat itu, dan menyangka akan menjumpai orang ini pasti sudah mati. Tetapi Felix bangkit tanpa terluka, hanya jaketnya saja yang sobek. Dia pun langsung pergi ke majikannya dan memohon supaya diijinkan tidak bekerja lagi padanya. Sedikit barang yang dimilikinya, dia bagikan kepada orang-orang miskin dan dia pergi ke biara Kapusin yang terdekat, mohon supaya diperkenankan masuk. Setelah diselidiki baik-baik, permohonannya itu pun dikabulkan.
Sekarang Felix merasa dirinya sebagai seorang yang baru saja dilahirkan kembali, seolah-olah surga sendiri telah terbuka baginya. Hal itu terjadi pada tahun 1543, dan Felix berumur 28 tahun. Tetapi dalam novisiat dia masih harus mengalami beban dan perjuangan-perjuangan kehidupan duniawi ini. Setan menyerangnya dengan segala macam godaan yang bengis. Dia juga diterjang penyakit yang berkepanjangan, yang kemudian dia nampaknya tidak layak menjalani hidup membiara. Tetapi kesabaran, ketekunan mengendalikan diri, doa dan keterbukaannya terhadap para atasannya membantu dia dalam memperoleh ijin untuk mengucapkan kaul-kaulnya yang memang dia lakukan dengan kebahagiaan besar.
Segera sesudah itu, dia dikirim ke biara Kapusin di Roma. Di sana, berkat kesalehannya yang sejati dan sikapnya yang ramah tamah, dia diberi tugas untuk mengumpulkan derma. Dan tugas ini dia lakukan selama 42 tahun sampai hari kematiannya. Dengan kantong dermanya tergantung pada bahunya, dia berkeliling dengan begitu rendah hati dan mempertahankan penampilannya yang dapat membawa orang mawas diri. Bila dia menerima derma, dia pun dengan sepenuh hati mengucapkan “Deo Gratias” – terimakasih Tuhan – sampai-sampai orang-orang memanggilnya sebagai Bruder Deo Gratias. Segera setelah dia kembali ke biaranya dan menyerahkan hasil pengumpulan dermanya, dia langsung pergi ke gereja. Di sana dia pertama-tama berdoa bagi para penderma, kemudian dia menumpahkan devosi hatinya, khususnya di depan Sakramen Yang Mahakudus dan pada altar Bunda Maria. Di sana dia menghabiskan berjam-jam hari malamnya dan sekali terjadi bahwa Bunda Allah itu menempatkan Putera Ilahinya pada kedua lengan Felix yang berlimpahkan kegembiraan.
Dia sangat cermat dalam menaati tugas kewajibannya dan kaul-kaulnya sampai hal-hal yang paling kecil. Dia tidak sampai menunggu perintah dari para atasannya; saran dari mereka yang paling halus pun sudah cukup baginya. Kendati selalu berhubungan dengan dunia, dia tetap menjaga diri dengan cermat dalam bidang kemurnian, baik dalam perkataan maupun dalam penampilannya, sehingga Paus Paulus V berkata bahwa dia adalah seorang kudus dalam tubuh dan jiwanya.
Kemiskinan merupakan keutamaan yang paling disayangi. Karena Bapa Fransiskus melarang para saudara dina menerima uang dalam bentuk apa pun juga, maka Felix bagaimana pun juga tidak bisa dibujuk untuk menerima uang. Betapa berkenannya pada Tuhan semangatnya itu, dibuktikan secara menakjubkan. Pada suatu waktu, ketika meninggalkan sebuah rumah, Felix mengalungkan kantong dermanya pada bahunya, tetapi dirasakan sedemikian berat sehingga kantong itu hampir-hampir menumbangkannya. Maka diselidikinyalah kantong itu dan didapatkan sekeping uang logam yang oleh seseorang diam-diam telah disisipkan ke dalamnya. Dilemparkannyalah keping mata uang itu dengan jijiknya, dan diangkatnya kembali kantong itu dengan mudah dan penuh kegembiraan.
Bagi Felix, Tuhan Yang Mahakuasa menganugerahkan rahmat yang luar biasa. Banyak orang sakit disembuhkan menjadi sehat kembali olehnya hanya dengan memberinya tanda salib. Seorang anak yang telah meninggal dikembalikannya kepada ibunya hidup-hidup. Dalam banyak hal yang rumit, dia mampu memberikan nasehat yang bermanfaat. Kendati dihormati oleh kalangan tinggi dan rendah, dia tetap memandang diri sebagai orang yang paling hina dan malang. Namun pada Tuhan, dia layak menerima banyak kemurahan hati.
Akhirnya, tibalah hari ketika Felix menikmati melimpahnya pahala hidupnya. Dia meninggal dengan roman muka kegembiraan, sambil memandang Bunda Allah sendiri, yang mengundangnya masuk ke dalam kebahagiaan Surga. Hal itu terjadi pada Hari Raya Pentekosta, 18 Mei 1587. Paus Urbanus VIII memberinya gelar beatus, dan Paus Clemens XI menerakannya dalam daftar para santo pada tahun 1709.
PERIHAL PENGGUNAAN UANG
1. Demi kemiskinan yang tertinggi dan karena mengenal bahaya-bahaya bagi kesempurnaan Kristen yang biasanya berkaitan dengan uang, St. Fransiskus Asisi melarang saudara-saudara dinanya menerima uang, sebagaimana Kristus sendiri menghendaki para murid-Nya tidak membawa-bawa uang sepanjang perjalanan mereka (Mat 10:9). Dalam hidup St. Felix, kita melihat betapa berkenan pada Tuhan melaksanakan dengan setia peraturan St. Fransiskus bilamana dimungkinkan. Tetapi ada saat-saat, bilamana tak seorang Kristen pun boleh menerima uang. Hal itu misalnya bila seseorang menawarkan uang untuk berbuat sesuatu yang keliru atau tidak setia pada tugasnya. Sulaiman mengeluh perihal orang-orang Yahudi: “Semua hal menaati uang” (Pkh 10:19). Bukankah keluhan ini harus dikenakan pada orang-orang Kristen juga? Pada pihak yang menerima uang, karena alasan-alasan yang sesat itu, demikian juga pada pihak yang memberi uang semacam itu, berlakulah kutukan Petrus, Pangeran para Rasul: “Biarlah uangmu itu musnah bersama dengan kamu” (Kis 8:20). – Apakah engkau pun, siapa tahu, mempunyai alasan untuk takut akan kutukan itu?
2. Renungkanlah bahwa untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup, uang merupakan sesuatu yang sangat bermanfaat, dan dalam hidup bermasyarakat sekarang ini, orang tidak dapat berbuat sesuatu tanpa uang. Tetapi uang harus dipergunakan dengan cara yang benar. Karena itu uang tidak boleh diberikan kepada orang yang cenderung menyalah-gunakannya. Seperti anak-anak atau orang miskin yang pemalas. Lebih baik memberikan kepada orang seperti itu hal-hal yang memang dia perlukan daripada uang tunai. Kita sendiri pun tidak boleh membelanjakannya tanpa perlu atau menghamburkannya, karena Tuhan akan minta pertanggungan-jawab bagaimana kita membelanjakan uang kita. Uang haruslah dipergunakan untuk keperluan kita sendiri yang sungguh-sungguh dan tanggung-jawab kita sesuai dengan kedudukan kita dalam kehidupan. Bapa keluarga, misalnya, harus dengan gembira menyediakan uang yang diperlukan, sehingga isteri dan anak-anaknya tidak terdorong untuk berbohong atau mencuri. Uang juga harus dipergunakan, menurut caranya masing-masing, untuk meringankan kebutuhan-kebutuhan sesama, juga untuk mendukung maksud-tujuan yang baik dan memajukan kesejahteraan Gereja dan kemuliaan Tuhan. Beruntunglah dia yang mempergunakan uangnya dengan cara demikian. – Apakah engkau juga telah mempergunakan uang dengan baik?
3. Pertimbangkanlah bahwa tidaklah salah menyisihkan sejumlah uang untuk keperluan sewaktu-waktu. Sebuah peribahasa yang bijak berkata: “Tabunglah pada waktunya, dan engkau akan memiliki sesuatu bila dibutuhkan.” Tetapi hendaknya senantiasa waspada jangan sampai menabung justru malah memupuk kerakusan, sesuatu yang dengan mudah terjadi. Dalam hal itu, ekonomi tidak akan menyelamatkan kamu dari pengalaman yang menyesakkan, sebaliknya malah bisa mempermudah timbulnya pengalaman semacam itu, karena orang yang mencintai uang, “bahkan akan mempertaruhkan jiwanya untuk dijual” (Pkh 10:10). Karena itu baiklah tidak usah terlalu menabung-nabung, tetapi mempercayakan diri pada Tuhan. Bila, seandainya, muncul suatu kebutuhan khusus untuk menolong sesamamu, maka dengan kepercayaan seorang anak, pergunakanlah tabunganmu itu baginya, dengan kelegaan hati yang sama seperti bila itu untuk kebutuhanmu sendiri, karena Yesus Kristus mengajarkan: “Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Mereka 12:31).
DOA GEREJA Tuhan Yesus, buatlah kami berjalan dalam kesucian dan kesederhanaan hati, karena berkat cinta-Mu pada kedua keutamaan ini, Engkau telah turun dari haribaan Bunda-Mu ke pelukan Felix yang kudus, Pengaku Iman-Mu. Engkau yang hidup dan bertakhta sekarang dan selama-lamanya.
Sumber: The Franciscan Book of Saints, ed. by Marion Habig, ofm., © 1959 Franciscan Herald Press; Diterjemahkan oleh: Alfons S. Suhardi, OFM.
Sumber: http://ofm.or.id/santo-felix-dari-cantalice/