MENGAPA GEREJA TIDAK MENGIZINKAN PERKAWINAN SEJENIS?
Dipublikasikan tanggal 04 July 2017
MENGAPA GEREJA TIDAK MENGIZINKAN PERKAWINAN SEJENIS?
Menyikapi Keputusan Parlemen Jerman
Melalui sebuah pemungutan suara akhirnya Parlemen Jerman Bundestag meloloskan legalisasi pernikahan sesama jenis dengan suara mayoritas. Keputusan parlemen Jerman ini menambah deretan negara-negara yang melegalkan pernikahan pasangan sejenis. Keputusan ini disambut gembira oleh para pendukung LGBT dengan mencoret-coret wajah mereka dan membawa spanduk berwarna pelangi. Sebaliknya, Gereja Katolik menentang keras keputusan ini.
Pada tahun 1996 Belanda menjadi negara pertama yang melegalkan perkawinan sejenis meskipun undang-undangnya baru disahkan pada tanggal 1 April 2001. Sekarang sudah lebih daripada 20 negara yang mengizinkan pasangan sejenis untuk melangsungkan pernikahan dan mengadopsi anak. Alasan untuk legalisasi perkawinan sejenis selalu sama, yaitu bahwa cinta dan pernikahan adalah hak setiap orang.
Di tengah maraknya upaya para pendukung LGBT untuk melegalkan perkawinan sejenis, Gereja Katolik tetap bergeming pada pendirian yang diyakininya. Kitab Hukum Kanonik Kan. 1055 $1 menyatakan bahwa, “dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup …”. Hal ini berarti bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Sejak awal mula Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, laki-laki dan perempuan (Kej 1:27). Laki-laki dan perempuan adalah “penolong yang sepadan” (Kej 2:18), dalam arti saling membutuhkan dan saling melengkapi. Melalui perkawinan mereka menjadi “satu daging” (Kej 2:24). Perkawinan adalah institusi yang diciptakan oleh Allah sendiri, maka perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.
Pola hubungan suami istri juga merupakan perlambang dari hubungan antara Allah dan umat-Nya dan kasih setia yang menjadi cita-cita perkawinan menggambarkan kasih setia Allah kepada umat-Nya. Maka, berbicara tentang perkawinan, Gereja meneladani Yesus yang berbicara tentang rencana Allah yang semula tentang perkawinan (Mat 19:4-6). Homoseksualitas, dalam hal ini, dipandang oleh ajaran moral Gereja sebagai berlawanan dengan nilai-nilai pokok seksualitas, meskipun mungkin di mata sementara orang homoseksualitas menjadi gaya hidup alternatif.
Di beberapa tempat Kitab Suci menyatakan bahwa homoseksualitas adalah hal yang dilarang oleh Tuhan, misalnya Im 18:22, “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.” Menurut daftar dalam 1 Kor 6:9-10 “pemburit” tidak layak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Dalam KBBI kata “burit” berarti “belakang atau dubur”, sehingga kata “memburit” berarti “bersetubuh sesama jenis.” Rasul Paulus juga mengecam homoseksualitas dalam suratnya kepada jemaat di Roma (Rom 1:26-27). “Karena Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian pula suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan istri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
Dengan demikian jelaslah alasan bahwa Gereja Katolik tetap mempertahankan ajaran moral untuk tidak melegalkan perkawinan sejenis. Namun bagaimana sikap yang harus kita tunjukkan kepada para pendukung LGBT? Kita harus tetap menghormati dan mengasihi mereka serta merangkul mereka sebagai sesama. Kelompok LGBT adalah ciptaan Tuhan yang tidak boleh dikucilkan sebagai manusia yang memiliki martabat. Mereka harus diperlakukan dengan adil dan tanpa diskriminasi. Pada tahun 2013 Paus Fransiskus dengan jelas menyatakan kembali pandangan Gereja Katolik, bahwa tindakan homoseksualitas adalah dosa, tetapi orientasi homoseksualitas bukanlah dosa. Dan tentu saja hal utama yang harus kita lakukan untuk para pendukung LGBT adalah mendoakan mereka, karena “doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yak 5:16).