SEHARUSNYA PEREMPUAN BERDIAM DIRI
Dipublikasikan tanggal 12 October 2017
SEHARUSNYA PEREMPUAN BERDIAM DIRI
Bias Jender dalam 1 Tim?
“Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci , tanpa marah dan tanpa perselisihan. Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas , dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah. Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri. Karena Adam yang pertama dijadikan , kemudian barulah Hawa. Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Tetapi perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak, asal ia bertekun dalam iman dan kasih dan pengudusan dengan segala kesederhanaan.” (1 Tim 2:8-15)
Perikop di atas sering digunakan oleh umat Kristiani untuk meyakinkan tentang dominasi kepemimpinan kaum Adam di dalam Gereja. Hal ini tidaklah mengherankan, karena sampai sekarang para ahli Kitab Suci masih memperdebatkan apa sesungguhnya makna dari instruksi Rasul Paulus di dalam teks ini. Tulisan ini hanya menyajikan salah satu interpretasi saja, yang mungkin cukup logis untuk menguraikan simpul kesulitan teks ini.
Terlebih dahulu, kita akan melihat sedikit tentang surat Paulus yang pertama kepada Timotius (1 Tim). Bersama 2 Tim dan Tit, 1 Tim merupakan surat-surat pastoral atau surat-surat penggembalaan, karena membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan peraturan Gereja dan pelayanannya. Paulus juga memberi arahan kepada Timotius mengenai syarat-syarat kerohanian dan sifat-sifat yang yang harus dimiliki oleh para pemimpin jemaat (1 Tim 3:1-7).
Hal utama lainnya yang disampaikan Paulus kepada Timotius, “anaknya yang sah di dalam iman” (1 Tim 1:1) adalah supaya Timotius tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang sejati dan membuktikan kesalahan ajaran palsu yang melemahkan kuasa Injil yang menyelamatkan (1Tim 1:3-7; 1Tim 4:1-8; 1Tim 6:3-5,20-21). Beberapa ciri ajaran sesat tersebut adalah:
- Mereka mengajarkan tentang hukum Taurat tanpa mengerti perkataan mereka sendiri (1 Tim 1:7). Kemungkinan mereka adalah kelompok Kristen keturunan Yahudi fundamentalis yang mewajibkan pelaksanaan hukum Taurat sebagai syarat untuk memperoleh keselamatan.
- Mereka melarang orang kawin, melarang orang makan makanan tertentu (1 Tim 4:3) Kemungkinan para guru ajaran sesat ini berasal dari kelompok mazhab Sinisisme yang menekankan bahwa kebahagiaan sejati merupakan ketidaktergantungan terhadap perkara duniawi termasuk kehidupan perkawinan dan makanan.
- Mereka juga menekankan praktik matiraga yang berlebihan (1 Tim 4:8)
- Mereka cakap bersilat lidah dan menyebabkan percekcokan di antara jemaat (1 Tim 6:4)
- Mereka menganggap bahwa ibadah adalah sumber keuntungan (1 Tim 6:5)
Singkat kata, para guru ajaran sesat ini tidak mengajarkan iman yang benar, karena motivasi mereka hanyalah mengejar keuntungan duniawi semata-mata.
Siapakah yang menjadi sasaran dari pengajaran para guru sesat ini? Tentulah orang-orang kaya terutama para wanita kaya. Kerap karena merasa diri kaya, para wanita ini mendominasi ibadah. Maka, tidak heran kalau Paulus memberi pengarahan agar wanita berdandan sederhana, sebagaimana pantas bagi wanita yang beribadah. Paulus juga melarang mereka mengajar, terutama karena ajaran itu mereka dapatkan dari para guru ajaran sesat. Mereka lebih baik “berdiam diri”.
Peringatan yang sama disampaikan kepada janda-janda yang hidup mewah dan berlebihan. Paulus menilai mereka sudah “mati” selagi hidup (1 Tim 5:6). Paulus mengkritik mereka yang setiap hari bermalas-malasan, “meleter” (gossip), mencampuri masalah orang lain (kepo) dan mengatakan hal-hal yang tidak pantas (1 Tim 5:13).
Untuk memperkuat argumennya Paulus mengemukakan dua hal. Pertama, Adam diciptakan sebelum Hawa. Kedua, Hawalah yang pertama tergoda oleh bujukan Iblis dan jatuh ke dalam dosa. Namun, Paulus menegaskan bahwa “perempuan akan diselamatkan karena melahirkan anak.” Maka, tidak heran mengapa Paulus menghimbau agar janda-janda yang muda kawin lagi, beroleh anak, dan mengurus rumah tangga (1 Tim 5:14).
Dengan demikian instruksi Paulus kepada Timotius yang sekilas nampak “bias jender” benar-benar berkaitan dengan situasi dan kondisi jemaat di Efesus pada saat itu. Hal ini berarti bahwa ajaran Paulus itu tidak dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi Gereja pada saat ini.
Dalam beberapa tulisannya (Gal. 3:28; 1 Kor. 7:3; dan Ef. 5:25- 33) Paulus secara eksplisit membela kaum perempuan. Selain itu, dia juga menyebut perempuan yang berperan dalam tugas penginjilan, antara lain: Euodia, Priskila, dan Febe dalam Roma 16 dan Filipi 4:2-3. Teks-teks ini menjelaskan bahwa Paulus tidak membuat diskriminasi atau bersikap memusuhi perempuan, sebab dia dengan tegas menyatakan kesetaraan laki-laki dengan perempuan.
Kitab Suci baik dalam penulisan maupun pemberitaannya tidak lepas dari pengaruh budaya dan konteks kehidupan jemaat pada saat itu. Teks-teks yang bernada “bias jender” selayaknya dicermati secara kontekstual dan seimbang. Kesadaran feminis dalam tradisi Kristen mungkin baru muncul pada abad XVIII, namun harus disadari bahwa sejak semula Allah menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang setara. Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, yakni laki-laki dan perempuan (Kej 1:27). Ketika Allah menciptakan perempuan, Dia ingin memberikan seorang penolong yang sepadan kepada laki-laki (Kej 2:18). Budaya Yahudi kuno yang memang patriarkal gugur dalam kesatuan di dalam Kristus Yesus dimana
“Dalam hal ini tidak ada lagi orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada lagi hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28)
Anggota DPH Wanita, Kepemimpinan Wanita dalam Gereja