KISAH PANGGILAN ZAKHARIA DAN MARIA
Dipublikasikan tanggal 19 December 2017
KISAH PANGGILAN ZAKHARIA DAN MARIA
Apa Bedanya?
Selama dua hari berturut-turut hari ini dan besok kita akan mendengarkan bacaan Injil yang mengisahkan pewartaan Malaikat Gabriel tentang kelahiran seorang bayi. Di kisah pertama, Malaikat Gabriel memberitahukan kepada Zakharia bahwa istrinya Elisabet akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang harus dinamai Yohanes. Sedangkan dalam kisah kedua, Maria mendapat kabar dari Malaikat Gabriel bahwa dia akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang harus dinamai Yesus. Baik Zakharia maupun Maria memberi jawaban yang kurang lebih sama kepada sang malaikat.
Lalu kata Zakharia kepada malaikat itu, “Bagaimana aku tahu, bahwa hal itu akan terjadi? Sebab aku sudah tua dan isteriku sudah lanjut umurnya.”
Kata Maria kepada malaikat itu, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?
(Luk 1:18, 34)
Namun, jawaban dari Malaikat Gabriel kepada Zakharia dan Maria sungguh amat berbeda. Zakharia menjadi bisu sampai pada hari kelahiran Yohanes. Kepada Maria Malaikat Gabriel menjelaskan bahwa Roh Kudus akan menaunginya. Hal ini sangat menarik untuk kita cermati dan renungkan bersama. Dua pernyataan yang kurang lebih sama mendapat tanggapan berbeda dari seorang utusan Allah.
Meskipun terkesan hampir sama, jawaban Maria dan Zakharia sungguh amat berbeda. Maria menyatakan kerendahan hati, sedangkan Zakharia menyatakan keraguan. Dalam Luk 1:29 diceritakan Maria terkejut dan bertanya dalam hatinya karena Malaikat Gabriel menyapanya, “Salam hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Kita dapat memahami perasaan Maria. Seorang wanita yang rendah hati tentu merasa takut dan bingung ketika dipanggil sebagai “wanita yang dikaruniai”. Maka, di Luk 1:30 Malaikat Gabriel menenangkan hati Maria, “Jangan takut, hai Maria.”
Dalam Luk 1:13 Malaikat Gabriel juga berupaya menenangkan hati Zakharia yang terkejut dan ketakutan. Ketakutan manusia berhadapan dengan sang malaikat ini juga ditemukan dalam kitab Daniel. Dalam Dan 8:17 dikisahkan bahwa Daniel terkejut dan jatuh tertelungkup ketika Malaikat Gabriel datang ke tempat dia berdiri. Orang-orang seperti Daniel, Zakharia, dan Maria tentu merasakan kekuasaan Allah di dalam diri sang utusan-Nya. Namun, jawaban Zakharia tidak menunjukkan kerendahan hati. Jawaban Zakharia lebih menunjukkan keraguan. Zakharia seolah-olah meminta bukti atau tanda yang lebih meyakinkan lagi dengan mengatakan bahwa dia sudah tua dan isterinya sudah lanjut usia.
Lalu bagaimana dengan jawaban Maria, “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Luk 1:34). Jawaban Maria tidak menunjukkan keraguan, melainkan kebingungan. Memang Maria sudah bertunangan dengan Yusuf, tetapi mereka belum menikah dan melakukan hubungan suami istri. Dia tentu saja bingung bagaimana bisa mengandung dalam keadaan masih perawan. Namun, setelah Malaikat Gabriel memberi penjelasan dan mengatakan bahwa bagi Allah tidak ada yang mustahil, Maria pun tanpa keraguan sedikit pun menerima tugas perutusannya, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu.” (Luk 1:38)
Pola panggilan seperti kisah Zakharia dan Maria masih berlangsung sampai saat ini. Allah memanggil kita dengan berjuta-juta cara. Penginjil Lukas mengajarkan kepada kita lewat kisah panggilan Zakharia dan Maria bahwa ketika Allah berbicara, manusia mendengarkan. Manusia dipanggil dan jawabannya bisa bermacam-macam. Ada yang merasakan bahwa panggilan ini benar-benar suara Allah yang menjadi Penyelenggara kehidupan seperti kisah Maria. Ada yang mendengarkan, tetapi tidak atau kurang percaya, seperti Zakharia. Zakharia menjadi bisu dan tidak dapat berbicara. Keadaan ini sama dengan jawaban “tidak” seorang manusia kepada Allah ketika dia dipanggil-Nya.
Dua kisah panggilan yang menjadi bacaan Injil pada hari ini dan esok merupakan dua permenungan yang perlu dicermati dan diberi makna baru ketika kita mempersiapkan kedatangan Sang Sabda yang menjadi manusia. Perayaan Natal bukan hanya dipersiapkan dengan Pohon Natal dan Kandang Natal serta segala pernak-perniknya, melainkan dengan hati yang menjawab “ya” pada panggilan Allah, dengan kerendahan hati dan tanpa keraguan sedikit pun. Natal bisa saja dirayakan di jutaan tempat di belahan bumi ini, namun sungguh Natal yang paling bermakna adalah Natal yang dirayakan di dalam relung hati terdalam setiap hati manusia.
Natal yang Paling Bermakna adalah Menyambut Kedatangan Yesus di dalam Hati Kita