ANJINGKU SAYANG ANJINGKU MALANG

Dipublikasikan tanggal 31 January 2018

ANJINGKU SAYANG ANJINGKU MALANG

Sahabat atau Musuh?

Di Jawa Timur seorang pengusaha mengusung ide café berkonsep anjing. Para pengunjung bebas membawa anjing mereka ke restoran itu. Tidak hanya makanan untuk manusia disediakan di tempat khas itu, melainkan juga menu-menu yang diracik khusus untuk anjing. Tidak bisa disangkal lagi anjing adalah sahabat manusia yang paling setia. Tidak jarang kita mendengar kisah nyata tentang keberanian anjing yang menyelamatkan hidup pemiliknya atau anjing yang setia berada di sisi pemilik yang dicintainya bahkan sampai ajal menjemputnya. Cerita legendaris mengisahkan tentang “anjing setia Hachiko“ yang selama 10 tahun tetap setia menanti kepulangan Profesor Ueno, majikannya. Setiap hari ia terus menunggu di depan stasiun kereta api Shibuya, padahal sang majikan sudah lama meninggal. Hachiko terus melakukan hal itu sampai akhir hayat hidupnya.

Foto Terakhir Anjing Hachiko, Ikon Kesetiaan

Keadaan ini berbanding terbalik dengan image manusia terhadap anjing dalam masyarakat Yahudi kuno di zaman Perjanjian Lama. Anjing selalu disebut dengan konotasi negatif misalnya penghinaan (1 Sam 17:43) atau kerendahan martabat (2 Raj 8:13). Anjing juga dicap sebagai binatang haram (Yes 66:3) dan sering menyantap makanan yang najis bahkan daging manusia (1 Raj 21:19, 24). Pada zaman itu sering muncul gerombolan anjing liar mengelilingi kota (Mzm 59:7, 15). Di lain pihak, anjing tetap saja menjadi bagian dari sebuah rumah tangga (Yes 56:10-11) dan mereka membantu manusia untuk menggembalakan ternak (Ayb 30:1). Maka sesungguhnya kebencian bangsa Yahudi kuno terhadap anjing memang aneh, karena dalam budaya masyarakat agraris seekor anjing tentu sangat dibutuhkan oleh manusia yang bekerja sebagai petani dan peternak. Dengan demikian seekor anjing itu dibenci sekaligus dibutuhkan!

Kalau anjing dipandang rendah oleh masyarakat Yahudi, timbul pertanyaan tentang kehadiran seekor anjing dalam kitab Tobit. Hal ini menggelitik pemikiran para ahli tafsir dan sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang makna kehadiran anjing tersebut dalam kisah perjalanan Tobia dan malaikat Rafael. Mengapa pula harus seekor anjing? Anjing muncul dua kali dalam kitab Tobit:

  1. Tobit 6:1-4 mengisahkan tentang Tobia dan malaikat Rafael yang meninggalkan kota Niniwe dan mendekati sungai Tigris.
  2. Tobit 11:1-4 mengisahkan tentang Tobia dan malaikat Rafael yang kembali ke Niniwe untuk menyembuhkan Tobit dari kebutaan mata.

Anjing Menemani Tobia dan Malaikat Rafael

Pembaca pasti berpikir bahwa anjing itu akan melakukan tindakan heroik dengan menyelamatkan Tobia dari serangan ikan besar yang mau menelan kakinya. Ternyata tidak! Selain dari penyebutan dua kali kehadiran anjing, cerita dalam kitab Tobit berlangsung seolah-olah anjing itu tidak pernah ada.

Anjingku sayang anjingku malang! Meskipun sekarang anjing menjadi binatang peliharaan manusia yang paling berharga, namun kata “anjing” tetap saja berkonotasi buruk. Kata itu dilontarkan manusia dalam keadaan marah besar. Dalam bahasa Inggris kata anjing betina dan anak dari anjing betina merupakan makian terhadap perempuan dan laki-laki yang sangat keji. Anjing tetap menjadi sosok yang “dibenci tapi dirindukan”. Kita tidak bisa menyangkal bahwa ketika kita membenci sekaligus merindukan seseorang atau sesuatu, hal ini sangatlah menakutkan.

Dalam sejarah kekristenan awal (Perjanjian Baru) sosok anjing tetap saja dipandang negatif. Yesus bersabda, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing …” (Mat 7:6). Ketika seorang perempuan Kanaan memohon kepada Yesus agar menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan, Yesus menjawab, “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Mat 15:26) Namun, iman perempuan itu akhirnya membuat Yesus menyembuhkan anaknya. Anjing memang menjadi simbol kekafiran atau kebukan-Yahudian. Kepada sidang pembaca dari keturunan Yahudi pengarang Injil Matius ingin menegaskan bahwa memang Yesus diutus untuk menyelamatkan pertama-tama bangsa Yahudi, namun Dia juga diutus untuk menyelamatkan bangsa-bangsa lain.

Konteks simbolisme anjing sebagai bangsa bukan Yahudi mulai berubah dalam surat-surat Paulus. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi Paulus menulis, “Hati-hatilah terhadap anjing-anjing, hati-hatilah terhadap pekerja-pekerja yang jahat, hati-hatilah terhadap penyunat-penyunat yang palsu, karena kitalah orang-orang bersunat, yang beribadah oleh Roh Allah, dan bermegah dalam Kristus Yesus dan tidak menaruh percaya pada hal-hal lahiriah.” (Flp 3:2-3) Di sini, Paulus mengecam keras perbuatan orang-orang Kristen Yahudi fundamentalis yang memaksakan sunat dan peraturan-peraturan Taurat yang keras kepada orang-orang Kristen. Paulus memiliki keyakinan bahwa manusia diselamatkan karena iman kepada Yesus Kristus, dan bukan karena melakukan hukum Taurat. Maka, dalam surat kepada jemaat di Roma Paulus menulis, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” (Rom 1:17)

Fobia terhadap anjing bukan khas agama Yahudi, melainkan juga agama Semitik lainnya misalnya agama Islam. Peran anjing dalam peradaban masyarakat kuno tercatat dalam kitab “le Vendidad”, bahagian paling tua dan paling otentik dari teks-teks pertama tentang kemanusiaan, Zend-Avesta. Manusia pada akhir zaman Neolitik tidak dapat saling memahami tanpa kehadiran seekor anjing. Manusia dan anjing saling melengkapi dalam setiap kesempatan. Maka muncullah ungkapan, “le monde ne subsiste que par l’intelligence du chien” yang berarti bahwa dunia hanya dapat bertahan karena kecerdasan anjing.

Setelah modernisasi merambah dunia Eropa sikap negatif terhadap anjing mulai melunak hingga sekarang. Keadaan berubah 180 derajat. Kini, anjing-anjing peliharaan diperlakukan bak raja. Mereka didandani dengan pakaian indah, dibawa ke salon, dan diberi makanan yang mahal, bahkan kadang jauh lebih mahal daripada makanan manusia. Mungkin suatu saat anjing kembali akan menimbulkan kecemasan di kalangan kaum agamawan. Kesenangan terhadap anjing dikhawatirkan akan memalingkan manusia dari cinta yang utuh kepada Tuhan. Lagi-lagi, anjingku sayang anjingku malang !

Anjing Diperlakukan bak Raja