DI RUMAH SAJA
Dipublikasikan tanggal 30 March 2020
DI RUMAH SAJA
Saat Mencari Allah dalam Kesendirian
Wabah virus Covid-19 telah merebak ke seluruh belahan bumi dan penyebarannya di minggu-minggu terakhir ini mengakibatkan kepanikan dan kecemasan di lebih dari 200 negara di seluruh dunia. Panik telah melanda supermarket sampai ke bursa saham, dari istana sampai ke penjara, dan mencatat sejarah baru tentang ketakutan di tengah-tengah umat manusia. Menurut catatan Worldometer per tanggal 30 Maret 2020 jumlah kasus positif Covid-19 telah mencapai angka 722.350 orang terinfeksi dan 33.890 orang meninggal. Entah virus ini akan menyerang berapa banyak orang lagi dari populasi planet bumi yang berjumlah kurang lebih 8 milyar ini!
Dalam rangka memutus penyebaran infeksi virus Covid-19 berbagai langkah telah dilakukan oleh pemerintah di berbagai negara. Warga masyarakat diminta untuk melindungi diri dengan cara menjaga kebersihan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Beberapa langkah yang dianjurkan oleh pemerintah adalah misalnya rajin mencuci tangan dengan sabun, social distancing atau physical distancing, dan budaya “di rumah saja”. Ada negara-negara yang jauh lebih ekstrim dengan menetapkan karantina total atau lockdown.
Bagi bangsa Israel kuno karantina bukanlah sesuatu yang asing. Kitab Imamat bab 13-14 menceritakan bagaimana seorang penderita penyakit kusta harus diisolasi selama dua kali tujuh hari (14 hari). Isolasi diri selama 7-14 hari ini ditujukan untuk memastikan bahwa orang tersebut benar-benar bebas dari penyakit menular. Kalau setelah 14 hari ternyata orang yang diperiksa itu terbukti mengidap penyakit kusta, dia harus “dijauhkan” atau “dipisahkan” dari warga masyarakat lain. Hal ini dipertegas dalam kitab Bilangan (Bil 5:2-3) di mana TUHAN berfirman kepada Musa, “Perintahkanlah kepada orang Israel, supaya semua orang yang sakit kusta, semua orang yang mengeluarkan lelehan, dan semua orang yang najis oleh mayat disuruh meninggalkan tempat perkemahan; baik laki-laki maupun perempuan haruslah kausuruh pergi; ke luar tempat perkemahan haruslah mereka kausuruh pergi, supaya mereka jangan menajiskan tempat perkemahan di mana Aku diam di tengah-tengah mereka”. Rupanya masyarakat Israel kuno sudah mengenal praktik karantina atau isolasi demi menjamin kesehatan segenap warganya.
Sebuah kutipan lain dari kitab Yesaya (Yes 26:20) juga menyiratkan praktik isolasi atau “di rumah saja”. Ayat itu berbunyi, “Mari bangsaku, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintumu sesudah engkau masuk, bersembunyilah barang sesaat lamanya, sampai amarah itu berlalu”. Selanjutnya pada ayat 21 Yesaya mencatat, “Sebab sesungguhnya, TUHAN mau keluar dari tempat-Nya untuk menghukum penduduk bumi karena kesalahannya, dan bumi tidak lagi menyembunyikan darah yang tertumpah di atasnya, tidak lagi menutupi orang-orang yang mati terbunuh di sana.” Di sini praktik "di rumah saja" memiliki tujuan untuk memeriksa batin.
Lalu, bagaimana kita harus menanggapi seruan pemerintah untuk physical distancing? Salahkah umat apabila beribadah di rumah sementara beberapa pengkhotbah nyinyir mengomentari bahwa orang yang beribadah di rumah karena takut tertular Covid-19 diragukan imannya? Sebagai umat Allah, kita wajib menjadi komunitas teladan dalam hal kebersihan, kesehatan, dan ketaatan pada undang-undang Karantina. Sebagai pengikut Kristus yang selalu “memberi”, kita wajib memberikan lingkungan yang sehat untuk siapa saja di sekitar kita. Mengisolasi diri di rumah bukanlah bermalas-malas, melainkan sebuah karya yang sejalan dengan iman kita. Ketika seseorang merasa kurang sehat, dia harus menjaga diri supaya penyakitnya tidak menular kepada orang lain. Inilah cara seorang pengikut Kristus berkorban demi orang lain, atau dengan kata lain inilah salah satu cara untuk mengasihi orang lain. Dalam keadaan darurat Allah telah menetapkan “Undang-undang Karantina” supaya manusia dalam keheningan dan kesendiriannya mulai fokus pada hal-hal yang lebih hakiki.
Manusia bukanlah mesin. Manusia perlu menikmati ritme ketenangan dan kebisingan, kehidupan komunitas dan kesendirian. Manusia mungkin terbiasa mencari Allah di rumah-rumah ibadah, sampai melupakan kenyataan bahwa tubuh kita adalah bait Allah (1Kor 3:16). Dalam keheningan “stay at home” kita mendapatkan saat-saat yang paling tepat untuk menemukan Allah dalam diri kita sendiri. Santo Paulus menulis kepada jemaat di Roma, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Rom 8:26).
Beribadah di Rumah Saja (Sumber: Brilio.net)