TUHAN APA YANG ENGKAU KEHENDAKI, KUPERBUAT BAGIMU?
Dipublikasikan tanggal 07 March 2022
Tuhan Apa Yang Engkau Kehendaki, Kuperbuat Bagi-Mu?
Belajar dari Pengalaman Pertobatan Santo Fransiskus Assisi
Fransiskus Assisi yang hidup antara tahun
1182-1226 menjadi seorang tokoh besar dalam gereja katolik pada masanya. Ia
yang berasal dari keluarga pedagang kaya, telah menjalani hidup mewah dan
berfoya-foya pada masa mudanya. Ia bersama teman-teman sebayanya selalu
bersama-sama berkeliling kota Assisi dan senantiasa menghadirkan kegembiraan
kehidupan yang mewah dan serba kecukupan. Fransiskus seperti pemuda lainnya
pada masa itu bercita-cita menjadi kesatria, berjuang untuk melawan para
penguasa kelompok bangsawan yang pada masa itu menguasai wilayahnya. Ketika
terjadi pemberontakan dari masyarakat Assisi terhadap para penguasa dan kaum bangsawan, akhirnya
penduduk Assisi menang dan para penguasa dan kaum bangsawan melarikan diri ke
luar Assisi.
Katedral Spoleto, daerah tempat Santo Fransiskus
Assisi menerima penglihatan
Karakter kesatria dalam diri Fransiskus terus
menyala. Dan tibalah saat yang dinantikan saat terjadi perang antara kota
Assisi dan Perugia. Fransiskus ikut dalam perang, namun ternyata kelompok
milisi Assisi terpukul kalah, Fransiskus dan teman-temannya dipenjara di
Perugia. Selang beberapa saat kemudian Fransiskus jatuh sakit dan orang tuanya
menebusnya sehingga ia dibebaskan dan kembali ke Assisi bersama keluarganya.
Cita-citanya menjadi kesatria tetap menyala
didukung oleh orang tuanya, akhirnya sekitar tahun 1205 ada panggilan dari
kepausan yang dipimpin oleh Walter dari Brienne untuk bergabung bersama kelompok lain menuju ke Puglia dan dari sana
berlayar menuju ke tanah suci untuk merebut kembali tempat-tempat suci dari
penguasa kaum saraceni. Fransiskus pun bersemangat dan bergabung. Namun Tuhan
menunjukkan jalan lain yang berbeda dari keinginan dan cita-citanya. Di
Spoleto, pada malam hari ia bermimpi dan dalam mimpinya tampak satu penglihatan
(vision).
Dalam mimpinya
Fransiskus melihat sebuah ruangan luas dari sebuah istana yang tembok-temboknya
dipenuhi dengan perisai-perisai. Lalu terdengar suara yang mengatakan semua
perisai itu milik Fransiskus dan para pengikutnya. Karena salah menafsirkan
mimpi itu, Fransikus siap untuk percaya akan “nubuat” untuk menjadi kesatria
yang penuh kemuliaan, namun tidak lama kemudian dia mendengar suara lain : “Fransiskus, mana yang lebih baik, melayani Tuan atau
seorang hamba?” “Oh, Tuan tentunya.” “Kalau begitu, mengapa engkau mencoba untuk
membuat Tuan-mu menjadi seorang hamba?”
Dan seperti Nabi
Samuel (bdk. 1 Sam 3:1-10.19), Fransiskus mengenali suara yang sedang berbicara
kepadanya itu.
“Tuhan, apa yang
kaukehendaki untuk aku lakukan?”
“Kembalilah ke
Assisi. Di sana akan dinyatakan kepadamu apa yang engkau harus lakukan, dan
engkaupun akan mengerti makna dari visi ini.” (Legenda Mayor St. Bonaventura).
Mulai saat itu
Fransiskus mulai mendengarkan suara Allah, bukan lagi hasrat hatinya sendiri
yang tidak sabar ingin meraih kemuliaan di medan pertempuran. Dia memulai
perjalanan kembalinya yang panjang ke Assisi. Tentunya sebuah perjalanan yang
penuh dengan pergumulan batianiah juga.
Pengalaman jatuh
yang dialami oleh Fransiskus sungguh memberinya satu pengertian bagaimana
seharusnya memaknai hidup. Memiliki cita-cita, merealisasikan serta
memperjuangkan adalah baik, benar dan wajar. Namun dibalik cita-cita itu ada
yang Maha Tinggi, Tuhan punya rencana
indah dibalik semua yang terjadi dalam
diri manusia sekalipun cita-cita manusia itu luhur. Sebab rancangan-Ku bukanlah
rancanganmu dan jalanmu bukanlah jalan-Ku (bdk. Yes 55:8). Hal ini kiranya
memberi satu pelajaran bagi kita untuk tetap mengandalkan Tuhan yang
menyelenggarakan sesuatu. Kita bisa merencanakan tetapi Tuhan sendiri yang akan
menyempurnakan apa yang terbaik bagi umatnya. Dari pihak manusia dimohon
kesetiaan dan keterbukaan untuk menjalin relasi dengannya dan mendengarkaNya
yang selalu hadir dalam setiap peristiwa hidup sehari-hari.
Basilika Santa Maria Degli Angeli, Porziuncola-
Assisi-Italia
Santo Fransiskus
pada akhirnya menyadari bahwa cita-cita menjadi kesatria di dunia itu memang
baik tetapi lebih baik dan mulia menjadi kesatria Tuhan yang membawa sukacita
dan kebahagiaan yang pernah terbayangkan dan tidak bisa diambil dari padanya.
Kesaksianan hidup dan pertobatannya yang radikal telah membaharui banyak orang
pada masanya. Tentu pertobatan yang demikian radikal harus dibayarnya dengan
suatu perjuangan dan pengorbanan yang tidak mudah. Penolakan, kemiskinan,
penderitaan, penganiayaan, bahaya, ancaman bahkan dari orang terdekatnya
sekalipun (pihak orang tua, keluarga dan sahabat-sahabat lamanya).
Hal yang luar
biasa yang patut kita teladani dari sang miskin dari Assisi (il poverello di
Assisi) adalah komitmen. Ia tetap berjuang dan berjalan terus untuk
melaksanakan kehendak Allah melalui Injilnya di dalam Gerejanya yang kudus.
Semangat pembaruan dan pertobatan harus dibarengi dengan komitmen untuk
melakukan apa yang dikehendaki oleh Dia yang memanggil yakni Yesus sendiri.
Yesus yang telah menjadi miskin, hina, rendah agar kita manusia menjadi kaya,
bermartabat oleh karena kemiskinannya (bdk. Flp 2: 5-8). Maka Fransiskus telah
berjuang menjadi miskin, dina, rendah, sama seperti orang-orang miskin,
orang-orang kusta dan terpinggirkan yang ada di sekitar Assisi pada masanya
yang tidak mendapat tempat dalam masyarakat.
Fransiskus senantiasa mengarahkan pandangannya kepada Tuhan
semata. Dia yang telah memulai pertobatannya, ia juga akan menyertai dan
mendampingi sampai akhir. Fransiskus senantiasa dalam dirinya bergaung kalimat
demikian: Tuhan apa yang Engkau kehendaki ku perbuat bagimu? Kehendak Tuhanlah
yang terjadi dalam seluruh hidup, perjuangan dan pertobatan Fransiskus Asissi.
Dan pada akhirnya Tuhan sendiri yang menyelesaikannya dan menerimanya masuk
dalam bilangan para kudus menikmati kebahagian kekal.
Fransiskus
sebelum meninggalkan dunia dan bersatu dengan Allah dalam kebahagiaan kekal
berkata: “Aku telah
melakukan bagianku, bagian kalian Yesus sendiri yang akan mengajarkannya”
(Legenda Mayor St. Bonaventura). Sungguh suatu
pesan dan warisan luar biasa dari Sang santo. Ia tidak ingin memaksa mereka
yang mengenalnya dan yang mengikuti jejaknya harus seperti dirinya. Ia memberi
kebebasan bagi siapa saja yang mengikutinya, yang terinspirasi dengan hidupnya
untuk tetap mengarahkan hati dan seluruh diri kepada Yesus semata sebagaimana
yang telah ia alami sendiri. Mari kita melakukan bagian kita masing-masing
sebagaimana yang dikehendaki oleh Yesus sendiri. Bersama Santo Fransiskus
Assisi kita menggaungkan ini: “Tuhan apa yang Engkau kehendaki kuperbuat bagi-Mu”?.
Mari kita menemukan jawaban Tuhan Yesus dalam peristiwa hidup kita sehari-hari
dan melakukan bagian kita masing-masing. Pace e bene
Fr. Fictorium
Natanael Ginting, OFMConv.