50 Tahun Hirarki Gereja Katolik
Dipublikasikan tanggal 19 April 2011
INDONESIANISASI: Dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia (Tulisan Pertama)
Pengantar:
Gereja Katolik Indonesia tahun ini merayakan "Syukur atas 50 tahun Kemandirian Hirarki". Dasar dan alasan dirayakannya tahun syukur ini dapat kita baca dalam Surat Promulgasi yang disampaikan oleh KWI.
Pada kesempatan yang istimewa ini, atas seijin Penerbit Buku Kanisius Yogyakarta, kami sampaikan kutipan utuh bagian Ikhtisar dari buku berjudul: "INDONESIANISASI: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia", yang ditulis oleh Dr. Huub J.W.M. Boelars, OFM Cap (edisi asli berbahasa Belanda) dan diterjemahkan oleh Romo R. Hardawiryana, SJ, Kanisius 2005, halaman 461-474.
Bagian ikhtisar ini memuat sembilan pokok ringkasan, maka akan disampaikan kepada pembaca website ini dalam 9 kali pemuatan secara periodik. Bagi yang ingin mendapatkan informasi yang lebih komplit, sebaiknya Anda membeli dan membaca bukunya.
Atas ijin yang diberikan oleh Redaksi Penerbit Buku Kanisius, kami haturkan banyak terimakasih. Selamat membaca dan mengikuti.
•1. Indonesianisasi: masalah dan pembatasan tema
1.1 Indonesianisasi - bukan konsep khas gerejawi - digunakan di Indonesia dalam konteks yang tiap kali berbeda: bahasa, finansial-ekonomi, berkenaan dengan penggantian orang-orang asing oleh orang-orang Indonesia, politik, kebudayaan dan ideologi. Pada umumnya Indonesianisasi dideskripsikan sebagai "keseluruhan proses perubahan politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia, yakni di situ kepentingan rakyat Indonesia sebagai tolak ukur yang dominan dan dipandang sebagai tujuan segala perubahan". Bila diterapkan kepada orang, Indonesianisasi berarti bahwa orang-orang di Indonesia harus berkembang menjadi orang-orang Indonesia.
1.2 Deskripsi itu menimbulkan pertanyaan: "Manakah ciri khas rakyat yang membuat Indonesia itu menjadi Indonesia? Manakah jati diri Indonesia?" Jawabannya tidak psikologis, tidak etnologis, tidak linguistis, juga tidak kenegaraan-historis, tetapi disusun berdasarkan perumusan politik-ideologi Indonesia, yang nilai-nilainya terdapat dalam Pancasila, landasan Negara Indonesia. Penafsiran resmi Pancasila selama "Orde Baru" sejak tahun 1965: Pancasila ialah "jiwa, jati diri, orientasi hidup rakyat Indonesia". Proses Indonesianisasi berlangsung dalam rambu-rambu Pancasila, kesepakatan nilai-nilai nasional, yang harus membentuk masa depan Indonesia. Pembentukan itu di perlukan karena adanya gelanggang tegangan yang menguasai seluruh masyarakat Indonesia, yakni "kesatuan dalam keragaman", "Bhinneka Tunggal Ika".
1.3 Di kawasan Indonesia, Pancasila dipandang sebagai faktor pengintegrasi yang diperlukan untuk menciptakan "satu negara, satu bangsa, satu bahasa". Keanekaragaman Indonesia tampak dalam struktur kepulauan tanah air, besarnya pluralitas dalam kelompok etnis beserta bahasa masing-masing, dan kehadiran banyak agama dunia yang besar di kawasan Indonesia. Di antara semua perbedaan itu, hendak diciptakan kesatuan, dijembatani pertentangan, tetapi bukan keseragaman.
1.4 Hubungan antara Pancasila dan agama sejak tahun 1945 dijernihkan selanjutnya. Indonesia mengakui semua agama besar sebagai sah menurut hukum dan pada prinsipnya sederajat. Secara konsekuen, Undang-Undang Dasar tidak mengakui satu agama negara, pun bukan negara, seolah-olah mendasarkan diri pada agama tertentu. Juga meskipun 87% seluruh penduduk Indonesia formal beragama Islam - golongan terbesar kaum Muslim di seluruh dunia - itu tidak berarti seakan-akan I slam menurut Undang-Undang Dasar beroleh posisi yang teristimewa. Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekular, bukan negara ateis. Di Indonesia prioritas utama diberikan kepada toleransi antara para penganut pelbagai agama, atau ditinjau secara positif, kepada usaha memajukan keselarasan dan kerja sama antara para pemeluk semua agama besar.
1.5 Indonesianisasi menurut logat gerejawi harus ditempatkan dalam konteks umum yang sudah dibentangkan. Itu bukan proses intern gerejawi melulu. Meskipun begitu, proses gerejawi tidak semuanya bertepatan dengan proses Indonesianisasi umum. Ada satu perbedaan: proses Indonesianisasi umum menemukan sasarannya dalam Indonesia sendiri. Proses Indonesianisasi gerejawi menemukan titik tolaknya di luar Indonesia, lagi pula tujuannya tidak semata-mata dalam Indonesia. Gereja Katolik Indonesia mempunyai akar-akarnya di luar Indonesia, dan proses perubahannya tidak pernah dapat bermuara dalam Gereja Indonesia "nasional" semata-mata. Gereja Indonesia adalah bagian Gereja universal sedunia.
1.6 Tiang-tiang Indonesianisasi gerejawi adalah, di satu pihak, prinsip-prinsip Katolik universal umum itu, dan, di lain pihak, prinsip-prinsip khusus Indonesia. Gereja Katolik Indonesia memiliki ikatan dengan Gereja Katolik semesta, tetapi Gereja Indonesia selanjutnya makin harus menampilkan diri sebagai Indonesia, menurut visi nasional Indonesia sendiri, dituangkan dalam Pancasila, serta perwujudannya dalam masyarakat Indonesia
1.7 Pada penentuan pembatasan tema studi ini dinyatakan: "Tema studi ini: menggambarkan dan menganalisis proses Indonesianisasi gerejawi: keseluruhan proses perubahan, yang menyertai Gereja Katolik, yang dalam segala nuansanya di masyarakat Indonesia mengembangkan aspeknya sedemikian rupa sehingga selain dimensi universalnya juga menampakan perangai Indonesia seutuhnya." Sebagai pembatasan, dirumuskan: "Karya tulis ini membatasi diri pada aspek-aspek proses perubahan itu yang menurut pengarang bersifat hakiki." Metode untuk menganaliis proses itu ialah analisis historis deskriptif apa saja, yang dalam sejarah Gereja Indonesia berkaitan dengan tematik tadi. Titik tolaknya: apa yang di masa silam dan sekarang ini berlangsung dalam praktek. Bukan visi "ideologis" tentang apa saja yang dapat dimaksudkan dengan Indonesianisasi dalam konteks gerejawi, tetapi analisis "praksis" konkret dalam konteks historis aktualnya Proses perombakan itu dibahas pada tingkat nasional; bukan studi kasus tentang 33 keuskupan (sekarang menjadi 37 keuskupan - red). --- (bersambung pada tulisan kedua)
Misi Katolik Nusantara (Tulisan Kedua)
2 Misi Katolik di Seluruh Nusantara
"Pembangunan Gereja setempat mulai pada saat rakyat Indonesia menerima pewartaan keselamatan dan rahmat penebusan. Hal itu sudah terjadi pada masa sangat lampau." Seperti agama dunia lainnya, agama Kristen datang dari seberang laut, itu berlawanan dengan adat dan agama pribumi yang hidup di pelbagai suku bangsa di Nusantara.
Sesudah Hinduisme dan Buddisme, agama Kristen datang dari India Selatan pada abad VII ke Nusantara. Akan tetapi, dari antara para perintis Katolik itu tidak pernah ditemukan sisa-sisa fisik lagi. Islam menginjak bumi Nusantara sejak abad XIII di Sumatra dan jawa, dan demikianlah agama-agama yang lebih lama sebagian terhalau.
Suatu permulaan Katolik baru mulai di bawah bendera Portugis-Spanyol: 450 tahun yang lalu di Maluku. Karya Misioner itu menumbuhkan hasil yang besar. Menjelang akhir abad XVI terdapat 30.000 umat Katolik. Juga di regio Flores karya misi Portugis berhasil baik, dan pada awal abad XVII ada 50.000 orang Katolik.
Orang-orang Belanda, dalam pertemuan melawan Spanyol, menemukan jalan sendiri menuju Hindia, dan pada tahun 1602 mendirikan VOC. Mereka merebut monopoli perdagangan dan dengan demikian monopoli keagamaan juga. Daerah-daerah katolik di Maluku di protestankan. Di Pulau Flores Timur dan terutama di Timor, yang tetap berada di tangan portugis, Katolisisme masih betahan. Di Negeri belanda selama periode itu juga antara tahun 1600-1800 umat Katolik berada di gereja-gereja yang tersembunyi. Sesudah Revolusi Prancis dan pembubaran VOC pada tahun 1799, mulailah kebebasan beragama yang baru di Kerajaan. Pada tahun 1807 dua imam pertama berangkat untuk menjalankan reksa jiwa di seberang. Akan tetapi, mereka dan para pengganti mereka dirintangi oleh pelbagai peraturan pemerintah dalam kegiatan-kegiatan mereka. Bahkan pada tahun 1847 tidak ada seorang imam pun yang masih berada di Hindia-Belanda Timur
Pada paro kedua abad XIX terjadi terobosan dari sudut pandang Katolik reksa jiwa di seberang dapat di kembangkan menjadi Gereja yang berkarya misioner dengan mempertaruhkan ordo dan kongregasi misioner. Meskipun kebebasan pewartaan Katolik dibatasi oleh larangan "perutusan rangkap" serta penerapannya yang leluasa, di semua pulau besar dapa didirikan misi Katolik yang baru.
Antara tahun 1900 dan 1940 seluruh Indonesia dibagi secara gerejawi diantara tarekat misioner; dan kepada setiap kali dipercayakan daerah-daerah misi yang baru. Itulah periode "Misi yang Agung" .Misi berkembang subur di mana-mana: Jumlah umat Katolik pada periode itu bertambah dari 50.000 menjadi 566.000. Persentase umat Katolik Indonesia bertambah dari 52% menjadi 84%
Akibat politik perizinan yang selektif oleh pemerintah Hindia-Belanda, praktis hanya misionaris-misionaris Belanda yang diizinkan memasuki Hindia. Suatu pengamatan keadaan misi pada tahun 1940 menampakan betapa misi Roma-Katolik praktis semata-mata perkara Belanda.--- (bersambung pada tulisan ketiga)
Ikhtisar Indonesianisasi (Tulisan Ketiga)
(Bagian 1)
1 Indonesianisasi: masalah dan pembatasan tema
1.1 Indonesianisasi - bukan konsep khas gerejawi - di gunakan di Indonesia dalam konteks yang tiap kali berbeda: bahasa, financial-ekonomi, berkenaan dengan pergantian orang-orang asing oleh orang-orang Indonesianisasi di deskripsikan sebagai " keseluruhan proses perubahan politik, social, dan ekonomi di Indonesia, yakni disitu kepentingan rakyat Indonesia sebagai tolak ukur yang dominan dan di pandang sebagai tujuan segala perubahan". Bila diterapkan kepada orang, Indonesianisasi berarti bahwa orang-orang di Indonesia harus berkembang menjadi orang-orang Indonesia.
1.2 Deskripsi itu menimbulkan pertanyaan: "manakah ciri khas rakyat yang membuat Indonesia itu menjadi Indonesia? Manakah jati diri Indonesia?" Jawabannya tidak psikologis, tidak etnologis, tidak linguistis, juga tidak kenegaraan-historis, tetapi disusun berdasarkan perumusan politik-idiologi Indonesia, yang nilai-nilainya terdapat dalam pancasila, landasan Negara Indonesia. Penafsiran resmi Pancasila selama "Orde Baru" sejak tahun 1965: Pancasila ialah "jiwa, jati diri, orientasi hidup rakyat Indonesia". Proses Indonesianisasi berlangsung dalam rambu-rambu Pancasila, kesepakatan nilai-nilai nasional, yang harus membentuk masa depan Indonesia. Pembentukan itu di perlukan karena adanya gelanggang tegangan yang menguasai seluruh masyarakat Indonesia, yakni "kesatuan dalam keragaman", "Bhineka Tunggal Ika".
1.3 Di kawasan Indonesia, Pancasila dipandang sebagai factor pengintegrasian yang diperlukan untuk menciptakan" satu Negara, satu bangsa, satu bahasa", Keanekaragaman Indonesia tampak dalam setruktur kepulauan tanah air, besarnya pluralisme dalam kelompok etnis beserta bahasa masing-masing, dan kehadiran banyak agama dunia yang besar di kawasan Indonesia, di jembatani pertentangan, tetapi bukan keseragaman.
1.4 Hubungan antara pancasila dan agama sejak tahun 1945 di jernihkan selanjutnya. Indonesia mengakui semua agama besar sebagai sah menurut hukum dan pada prinsipnya sederajat. Secara konsekuen, Undang-undang Dasar tidak mengakui satu agama Negara, pun bukan Negara, seolah-olah mendasarkan diri pada agama tertentu. Juga meskipun 87% seluruh penduduk Indonesia formal beragama Islam - golongan terbesar kaum Muslim di seluruh dunia - itu tidak berarti seakan-akan Islam menurut Undang-undang Dasar beroleh posisi yang teristimewa. Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekular, bukan negara ateis. Di Indonesia prioritas utama diberikan kepada toleransi antara para penganut pelbagai agama, atau ditinjau secara positif, kepada usaha memajukan keselarasan dan kerja sama antara para pemeluk semua agama besar.
1.5 Indonesianisasi menurut logat gerejawi harus ditempatkan dalam konteks umum yang sudah di bentangkan. Itu bukan proses intern gerejawi melulu. Meskipun begitu, proses gerejawi tidak semuanya bertepatan dengan proses Indonesianisasi umum. Ada satu perbedaan: Proses Indonesianisasi umum menemukan sasarannya dalam Indonesia sendiri. Proses Indonesianisasi gerejawi menemukan titik tolaknya diluar Indonesia, lagi pula tujuannya tidak semata-mata dalam Indonesia. Gereja Katolik Indonesia mempunyai akar-akarnya diluar Indonesia, dan proses perubahannya tidak pernah dapat bermuara dalam Gereja Indonesia "nasional" semata-mata. Gereja Indonesia adalah bagian Gereja universal sedunia.
1.6 Tiang-tiang Indonesianisasi gerejawi adalah di satu pihak prinsip-prinsip Katolik universal umum itu, dan, di lain pihak, prinsip-prinsip khusus Indonesia. Gereja katolik Indonesia memiliki ikatan dengan Gereja Katolik semesta, tetapi gereja Indonesia selanjutnya makin harus menampilkan diri sebagai Indonesia, menurut visi nasional Indonesia sendiri, dituangkan dalam pancasila, serta perwujudannya dalam masyarakat Indonesia
1.7 Pada penentuan pembatasan tema studi ini dinyatakan: "Tema studi ini: menggambarkan dan menganalisis proses Indonesianisasi gerejawi: keseluruhan proses perubahan, yang menyertai Gereja Katolik, yang dalam segala nuansanya di masyarakat Indonesia mengembangkan aspeknya sedemikian rupa sehingga selain dimensi universalnya juga menampakan perangai Indonesia seutuhnya." Sebagai pembatasan, dirumuskan: "Karya tulis ini membatasi diri pada aspek-aspek proses perubahan itu yang menurut pengaran bersifat hakiki." Metode untuk menganalisis proses itu ialah analisis historis deskriptif apa saja, yang dalam sejarah Gereja Indonesia berkaitan dengan tematik tadi. Titik tolaknya: apa yang dimasa silam dan sekarang ini berlangsung dalam prakteknya. Bukan visi "idiologis" tentang apa saja yang dapat dimaksudkan dengan Indonesianisasi dalam konteks gerejawi, tetapi analisis "praksis" konkret dalam konteks historis aktualnya Proses perobakan itu dibahas pada tingkat nasional; bukan studi kasus tentang 33 keuskupan.
(Bagian 2)
2 Misi Katolik di Seluruh Nsantara
"Pembangunan Gereja setempat mulai pada saat rakyat Indonesia menerima pewartaan keselamatan dan rahmat penebusan. Hal itu sudah terjadi pada masa sangat lampau." Seperti agama dunia lainnya, agama Kristen datang dari seberang laut, itu berlawanan dengan adat dan agama pribumi yang hidup di pelbagai suku bangsa di Nusantara. Sesudah Hinduisme dan Buddisme, agama Kristen datang dari India Selatan pada abad VII ke Nusantara. Akan tetapi, dari antara para perintis Katolik itu tidak pernah ditemukan sisa-sisa fisik lagi. Islam menginjak bumi Nusantara sejak abad XIII di Sumatra dan jawa, dan demikianlah agama-agama yang lebih lama sebagian terhalau. Suatu permulaan Katolik baru mulai di bawah bendera Portugis-Spanyol: 450 tahun yang lalu di Maluku. Karya Misioner itu menumbuhkan hasil yang besar. Menjelang akhir abad XVI terdapat 30.000 umat Katolik. Juga di regio Flores karya misi Portugis berhasil baik, dan pada awal abad XVII ada 50.000 orang Katolik. Orang-orang Belanda, dalam pertemuan melawan Spanyol, menemukan jalan sendiri menuju Hindia, dan pada tahun 1602 mendirikan VOC. Mereka merebut monopoli perdagangan dan dengan demikian monopoli keagamaan juga. Daerah-daerah katolik di Maluku di protestankan. Di Pulau Flores Timur dan terutama di Timor, yang tetap berada di tangan portugis, Katolisisme masih betahan. Di Negeri belanda selama periode itu juga antara tahun 1600-1800 umat Katolik berada di gereja-gereja yang tersembunyi. Sesudah Revolusi Prancis dan pembubaran VOC pada tahun 1799, mulailah kebebasan beragama yang baru di Kerajaan. Pada tahun 1807 dua imam pertama berangkat untuk menjalankan reksa jiwa di seberang. Akan tetapi, mereka dan para penganti mereka dirintangi oleh pelbagai peraturan pemerintah dalam kegiatan-kegiatan mereka. Bahkan pada tahun 1847 tidak ada seorang imam pun yang masih berada di Hindia-Belanda Timur Pada paro kedua abad XIX terjadi terobosan dari sudut pandang Katolik reksa jiwa di seberang dapat di kembangkan menjadi Gereja yang berkarya misioner dengan mempertaruhkan ordo dan kongregasi misioner. Meskipun kebebasan pewartaan Katolik dibatasi oleh larangan "perutusan rangkap" serta penerapannya yang leluasa, di semua pulau besar dapa didirikan misi Katolik yang baru. Antara tahun 1900 dan 1940 seluruh Indonesia dibagi secara gerejawi diantara tarekat misioner; dan kepada setiap kali dipercayakan daerah-daerah misi yang baru. Itulah periode "Misi yang Agung" .Misi berkembang subur di mana-mana: Jumlah umat Katolik pada periode itu bertambah dari 50.000 menjadi 566.000. Persentase umat Katolik Indonesia bertambah dari 52% menjadi 84% Akibat politik perizinan yang selektif oleh pemerintah Hindia-Belanda, praktis hanya misionaris-misionaris Belanda yang diizinkan memasuki Hindia. Suatu pengamatan keadaan misi pada tahun 1940 menampakan betapa misi Roma-Katolik praktis semata-mata perkara Belanda.
(Bagian 3)
3 Dari Misi Menuju Gereja yang Mandiri: Tahun 1940-1961
Misi Katolik di "Negeri Belanda Tropis" sampai tahun 1940 dalam banyak hal tergantung dari Nederlan: ketenagaan, materi, dan finansial. Antara tahun 1940 dan 1961 kader acuan gerejawi bergeser dari konteks Belanda kepada konteks Indonesia: dari misi menuju Gereja yang mandiri beserta hierarkinya sendiri, pratahap Gereja Indonesia. Bahwa Gereja Katolik sesudah perang dan perjuangan kemerdekaan tidak dapat ditolak sebagai produk kolonial mempunyai dua sebab yang penting. Misi Katolik berdasarkan visi supranasional, lagi pula sebelum perang pun telah mempunyai basis Indonesia yang mantap. Pedoman-pedoman kepausan tentang karya misioner, yang tidak boleh dilaksanakan bertolak dari pendirian nasionalis, menjelaskan bahwa para misionaris bukanlah perpanjangan politik kolonial Belanda. Sudah sebelum perang ada landasan Indonesia yang jelas dalam Gereja Katolik. Beberapa perintis, seperti Pater van lith, secara terbuka mendukung nasionalisme yang bangkit. Sejumlah tokoh Katolik Indonesia menduduki posisi-posisi politik yang terkemuka; dan berkat itu wajah Belanda Gereja cukup ditandingi. Sudah mulai berlangsung proses pembinaan kader "pribumi", dan ada permulaan kerja sama antara berbagai wilayah gerejawi. Periode penjajahan Jepang mulai penahanan (internering) praktis semua misionaris Belanda merupakan masa percobaan yang berat. Landasan Indonesia sebelum perang, terutama banyak sekali katekis, melestarikan persekutuan iman Katolik. Seusai perang, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan di terimanya Pancasila sebagai dasar negara yang baru. Demikianlah ada kebebasan beragama yang asasi dan pengakuan hak-hak yang sama. Dalam periode sesudah itu, yakni masa perjuangan kemerdekaan tahun 1945-1949, umat Katolik Indonesia (teristimewa Mgr. A. Soegija pranata, SJ) memainkan peran positif yang jelas sekali, dan tampilah loyalitas para misionaris luar negeri terhadap Republik Indonesia. Mulai tahun 1950 jug bagi Gereja Katolik mulailah tahap dekolonisasi. Departemen Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, Kehakiman (bagian imigrasi), dan Kesehatan secara aktif mencampuri kehadiran dan kegiatan-kegiatan para misionaris luar negeri. Pada tahun 1950, ada 90% di antara semua tenaga inti misi masih berkebangsaan Belanda! Mereka menerima (secara terbatas) peluang untuk menjadi warga negara Indonesia. Kalau tidak, mereka selanjutnya harus menerima izin bekerja atau izin tinggal. Misionaris baru harus menerima visa. Departemen Agama memulai dengan peraturan-peraturan quota. Jawaban - sedapat mungkin - ordo dan kongregasi ialah "internasinalisasi": tidak lagi mengutus tenaga-tenaga Belanda melulu! Akibat konflik Indonesia-Belanda sekitar Guinea Baru (Irian jaya), selama beberapa tahun sama sekali tida ada misionaris Belanda yang di izinkan memasuki Indonesia Pada tanggal 3 Januari 1961 Gereja di Indonesia menerima hirarkinya sendiri dan dengan demikian menjadi persekutuan Gereja yang mandiri, terdiri dari enam propinsi gerejawi. Dua puluh dua di antara 25 ordinaris bukan Indonesia asli, dan 21 berasal dari Belanda! Bagaimana itu mungkin? Manakah motivasi Roma pada saat itu dan manakah reaksi-reaksi di pihak Indonesia? Tokoh kunci dalam seluruh periode itu, Mgr. T. Van Valenberg OFM Cap., menjawab pertanyaan-pertanyaan.
(Bagian 4)
4 Dari Gereja yang Mandiri Menuju Gereja Indonesia
Proses perombakan dari Gereja yang mandiri kearah gereja Indonesia merupakan proses yang di kemudikan secara sadar. Stimulus yang paling utama ialah Konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965. Berbicara secara gerejawi, sebelum Konsili umat masih hidup dalam suasana "kepulauan" daerah-daerah misi yang tersendiri. Sidang Gereja menhimpun para uskup Indonesia di Roma. Di situ lahirlah visi Gereja yang baru; di tetapkan kebijakan Gereja yang baru; dan lebih relevan lagi: disitu diciptakan satu epikopat. Pengalaman Konsili meletakan landasan bagi kerjasama selanjutnya dikawasan Indonesia, juga demi pembangunan sadar Gereja Indonesia setempat. Selain faktor ekstern itu, masih ada situasi intern Indonesia yang saling mempertemukan episkopat, umat beriman, dan para imam, yakni situasi politik menjelang tahun 1965. Perlawanan-perlawanan dahsyat antara kaum Muslimin, rakyat nasionalis, dan golongan komunis berputar sekitar penerima Pancasila dalam bentuk murni sebagai landasan bagi seluruh Indonesia. Baik pihak Islam maupun pihak komunis mengancam eksistensi Gereja Katolik. Ketidakstabilan politik menghilang sesudah tahun 1965, dan umat katolik bahu membahu mengangkat pengembangan Orde baru demi pembangunan bangsa. Sesuai Vatikan II, MAWI mulai menjabarkan secara sistematis tema-tema Konsili dalam Gereja Indonesia. Mulai dengan dokumen "Indonesianisasi" pada tahun 1970 sampai dengan dokumen "Umat katolik Indonesia dalam Masyarakat Pancasila' pada tahun 1985, yakni selama 15 tahun diperbincangkan semua aspek yang penting dalam hidup Gerejawi Indonesia. Para Imam, religius, dan umat awam bersama-sama dengan para uskup mencari wajah Indonesia Gereja Katolik, baik dalam peri hidup umum maupun dalam hidup gerejawi. Makna MAWI sebagai lembaga pengemudi proses Indonesianisasi terutama mencapai posisi yang penting melalui strukturalisasi ulang statusnya sendiri dan pembentukan banyak panitia dan komidi di pelbagai bidang. KWI sebagai kantor konferensi para uskup memainkan peranan yang makin sentral dalam gereja secara keseluruhan pada tingkat nasional. Dalam hal ini, terbentuklah Depertemen Dokumen-penerangan beserta terbitannya, yakni Spektrum. Diterbitkan Sejarah Gereja Indonesia yang sangat terperinci. Di semua keuskupan, didirikan komisi regional yang khusus memperhatikan aspek tertentu hidup gerejawi dan masyarakat. Komunikasi antara komisi diosesan dan komisi nasional makin diperbaiki. Dalam proses pertumbuhan dari Gereja yang mandiri menuju Gereja Indonesia, pembatalan ius commissionis pada tahun 1969 relevan sekali. Bukan ordo atau kongregasi (yang dipercayai wilayah gerejawi), tetapi para uskuplah yang sekarang dapat menentukan orientasi masa depan keuskupan mereka. Demikian struktur kewenangan yang rangkap dihapuskan, dan hubungan eksklusif antara daerah dan tarekat religius tertentu disingkirkan selamanya. Dengan dibatalkannya ikatan daerah, tarekat-tarekat itu dapat mengenakan posisi yang lebih leluasa untuk berkarya di daerah-daerah lain juga. Di kebanyakan keuskupan, diciptakan ruang yang lebih longgar bagi klerus diosesan. Peralihan kearah Gereja Indonesia yang mandiri di percepat oleh peristiwa-peristiwa pada tahun 1979. Kehadiran para misionaris luar negeri di perdebatkan dari sudut politik. MAWI menyusun program "untuk mempercepat Indonesianisasi" pada semua tingkatan. Reaksi kejutan dalam Gereja-Gereja setempat menjalin cita rasa kebersamaan nasional; permasalahan sekitar izin tinggal (yang sedang surut) para misionaris sebagai katalisator mempengaruhi kesadaran bahwa tenaga-tenaga Indonesia harus menopang Gereja selanjutnya. Selain itu, gagasan tentang bantuan timbal balik antarkeuskupan memperoleh dorongan yang baru.
(Bagian 5)
5 Indonesianisasi Umat Katolik
"Umat Katolik" menunjuk kepada kaum beriman yang biasa, kaum awam. Mereka merupakan 99,9% persekutuan iman Katolik Indonesia. Seberapa jauh ada informasi yang layak dipercaya tentang kelompok umat Katolik Indonesia itu? Ada perbedaan antara angka-angka gerejawi dan angka-angka pemerintah. Sejak tahun 1980, angka-angka gerejawi pada tingkat nasional dihimpun dan diolah secara sistematis. Menurut data-data gerejawi, umat Katolik bertambah dari setengah juta pada tahun 1940 menjadi empat setengah juta pada tahun 1990. Di Indonesia, orang katolik merupakan kelompok minoritas, yakni 3% dari seluruh penduduk. Angka-angka pemerintah tentang jumlah umat Katolik pada tahun 1980 lebih tinggi, yakni 900.000. Disatu pihak, itu disebabkan karena dalam gereja Indonesia umat Katolik Timor Timur tidak ikut dihitung. Dilain pihak, ada gejala yang cukup mencolok bahwa ratusan ribu (penganut kepercayaan-kepercayan asli) mendaftarkan diri sebagai umat katolik, meskipun tanpa kontak yang resmi dengan Gereja. Penyebaran umat Katolik tidak merata di seluruh Indonesia, lagi pula antara tahun 1940-1990 tidak ada pertumbuhan yang merata di berbagai propinsi gerejawi. Pertambahan yang terbesar berlangsung di Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), yang dihuni oleh sebagian terbesar umat Katolik, yakni 39% pada tahun 1990. Faktor-faktor pertambahan umat Katolik ialah pembaptisan, pertambahan, dan imigrasi; faktor-faktor pengurangan: kematian, keluar dari gereja, dan emigrasi. Berbagai komposisi faktor-faktor itu mengakibatkan perbedaan dalam pertumbuhan di masing-masing keuskupan. Faktor pertumbuhan umat Katolik yang paling penting adalah pembaptisan baru. Selama 15 tahun (sampai tahun 1990) ternyata bahwa 30-38% di antara semua baptisan di Indonesia berumur lebih dari tujuh tahun. Berbagai penelitian menunjukan bahwa rakyat di pulau-pulau di luar jawa terutama berlatar belakang kepercayaan asli. Disamping itu, ada kelompok yang lebih kecil yang berasal dari kelompok yang disebut rakyat Muslim statistik: terutama orang-orang jawa. Kelompok ketiga terdiri dari mereka yang berlatar belakang Konfusianisme/Buddha yang memutuskan masuk Katolik: terutama generasi rakyat Cina yang lebih muda. Mereka itu sudah tidak merasa kerasan lagi dalam tradisi para leluhur mereka. Akan tetapi, kelompok terbesar para baptisan baru terdiri dari keturunan orang tua Katolik. Informasi sosiologis tentang ciri-ciri latar belakang umat Katolik memang terbatas, dari tahun 1980 hanya dikenal data-data. Suatu profil umat Katolik yang terbatas menghasilkan gambar berikut.
„X Mengingat latar belakang kejuruan, ternyata 68% umat Katolik Indonesia bekerja disektor pertanian, hidup di pedesaan. Profail itu berbeda-beda dari keuskupan ke keuskupan.
„X Ditinjau dari sudut sosial-ekonomi, ternyata 41% umat Katolik sudah berpenghasilan memadai, 10% tampak serba kecukupan, tetapi 49% hidup dibawah garis kecukupan (bahkan 17% ternyata sama sekali tidak berkecukupan). Profil itu pun berlain-lainan per provinsi dan keuskupan.
„X Di pandang dari sudut etnis, ternyata 32% umat Katolik terdiri dari umat Flores, 18% dari Jawa, 9,5% dari timur, 9% dari Batak,7% dari Cina dan Daya, 5% dari Papua. Kelompok-kelompok Penduduk lainnya kurang dari 3% terwakili dalam umat Katolik.
Diamati dari visi nasional, tidak boleh diadakan perbedaan berdasarkan berbagai latar belakang etnis. Setiap anggota Gereja itu adalah orang Indonesia. Semua kebudayaan daerah membawa sumbangan kepada kebudayaan nasional Indonesia. Akan tetapi, ditilik dari sudut sosial psikologis dan budaya, memang ada pelbagai perbedaan. Ditinjau dari sudut idiologi, diperjuangkan "Bhineka Tunggal Ika". Itu berarti proses mengusahakan integrasi nasional. Dalam berbagai hal, permasalahan itu belum terpecahkan, tetapi masih ada tegangan antara situasi-situasi regional dan idiologi nasional. Mgr.M. Coomans, MSF bertanya, "Benarkah suku-suku yang sudah lama di Kalimantan mempunyai masa depan?"Jawanya, "Tidak, orang Daya kehilangan jati diri budayanya sebagai Daya, tetapi menemukan kebudayaan yang baru sebagai orang Indonesia."Permasalahan integrasi nasional itu berlangsung di semua daerah bagian Indonesia. Rakyat Cina, sebagai kelompok minoritas dari luar Indonesia, menghadapi masalah khusus untuk menjadi Indonesia. Juga umat Katolik Cina mengalami loyalitas yang di tuntut untuk berintegrasi. Maka itu integrasi bukan masalah Indonesia "Katolik", tetapi masalah Indonesia nasional. Umat Katolik Indonesia- seperti seluruh rakyat Indonesia - harus menjadi lebih Inonesia, tetapi jangan kembali kepada pertentangan-pertentangan regional, yang sering juga bersifat etnologis.
(Bagian 6)
6 Indonesianisasi Iman dan Religius
Sejajar dengan perkembangan misi menuju Gereja yang mandiri, belangsunglah proses Indonesianisasi para imam dan religius. Di samping makin berkurangnya jumlah para misionaris, kelompok rahaniwan-rahaniwati Indonesia makin bertambah besar. Pertambahan jumlah imam di Indonesia berlangsung susah payah, dari 570 imam pada tahun 1940 menjadi 1.905 imam pada tahun 1990. Para Imam Indonesia pada tahun 1940 merupakan 3% dari seluruh kelompok imam. Baru pada pertengahan tahun-tahun 1980-an mereka menjadi lebih dari separo. Kelompok imam luar negeri mulai berkurang secara pesat. Sejumlah diantara mereka masih beroleh kewarganegaraan Indonesia. Ternyata ada pembagian imam-imam (Indonesia) yang tidak merata diantara propinsi-propinsi gerejawi. Jumlah seminaris di berbagai seminari tinggi bertambah besar sekali, khususnya pada tahun 1980-an. Benarkah itu merupakan reaksi terhadap makin pesatnya laju Indonesianisasi pada tahun 1979?
Pada masa lampau dalam kebanyakan keuskupan para calon imam secara otomatis masuk anggota ordo atau kongregasi. Para imam reguler/religius hampir dimana-mana merupakan mayoritas. Antara tahun 1980-1990 tampaklah kenaikan yang jelas pada jumlah imam sekular/deosesan serta calon klrus diosesan. Selama tahun 1970-an sampai sekitar 1985 semua seminari tinggi yang lama menjadi perguruan tinggi/fakultas teologi; lagi pula makin eratlah kerja sama pada tingkat regional. Pembinaan calon imam makin bercorak "Indonesia" pada kurikulum maupun pada corak hidup. Pertambahan jumlah bruder di Indonesia berlangsung cukup sukar juga, dari 520 pada tahun 1940 menjadi 936 pada tahun 1990. Sekitar tahun 1970 separo diantara bruder adalah orang Indonesia asli, pada tahun 1989 menjadi 84%. Mereka juga tersebar tidak merata diseluruh Nusantara. Berlawanan dengan lambannya pertambahan jumlah calon bruder Indonesia, tampaklah pertambahan besar jumlah suster Indonesia dari 164 pada tahun 1940 menjadi lebih dari 5.000 pada tahun 1990. Ketika itu mereka merupakan 93% diantara seluruh kelompok suster. Dari tahun 1970 hingga 1990 jumlah suster luar negeri berkurang dari 1.445 menjadi 200 orang. Hampir separo diantara suster Indonesia tinggal di Pulau Jawa. Di daerah-daerah lain di Indonesia antara tahun 1970-1990 ada pertambahan yang pesat juga pada jumlah suster Indonesia Kalau Indonesianisasi tiga kelompok, yakni para imam, bruder, dan suster dibandingkan, keadaan pada tahun 1989 adalah sebagai berikut:64% imam, 84% bruder, dan 93% suster yang adalah orang Indonesia asli. Informasi tentang beberapa ciri khas rohaniwan-rahaniwati Indonesia tersedia dari tahun 1980, yaitu 48% religius lahir dipulau jawa, 23% berasal dari Flores dan Timor, 12% dari Sumatra, dan dari daerah-daerah lain kurang dari 10%. Di tinjau dari sudut etnis, 42% berlatar belakang jawa, 17% termasuk suku Flores, 8% bersuku Cina, 8% bersuku Batak dan dari kelompok-kelompok etnis lainnya kurang dari 5%. Informasi tentang latar belakang para misionaris luar negeri berasal dari tahun 1980 juga, yaitu 62% diantara mereka berasal dari Belanda, 12% dari Jerman Barat, 7% dari Italia, 3% dari Amerika, dan sisanya dari banyak negara lain. Hampir dua pertiga di antara mereka pada tahun 1980 sudah lebih dari 15 tahun lamanya berkarya di Nusantara. Sebanyak 17% imam religius, 26% bruder, dan 29% suster menjadi warga negara Indonesia. Yang bersedia menjadi warga negara Indonesia ada sebanyak 60% imam, 58% bruder, dan38% suster. Antara tahun 1981 dan 1989, ratusan diantara mereka memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Akibat krisis pada tahun 1979, gagasan tentang penyebaran yang merata dari para religius Indonesia di semua daerah Indonesia bertambah aktual. Lebih dari separo di antara mereka ternyata bersedia untuk diutus berkarya di lain tempat. Juga hampir separo diantara para misionaris luar negeri menunjukan kesediaan itu. Di seluruh Nusantara di selenggarakan pertemuan perencana tingkat lokal dan regional untuk mempertimbangkan keperluan pada masa depan. Akan tetapi, ordo maupun kongregasi yang kongkrit diharapkan terutama menyediakan tenaga-tenaga ternyata tidak mungkin mengorganisir perencanaan pada tingkat nasional. Memang antara tahun 1980 dan 1990 di semua keuskupan tampak adanya Indonesianisasi yang makin maju di kalangan rohaniwan-rohaniwati. Lebih relevan daripada pendekatan dalam angka pada Indonesianisasi ialah inkulturasi hidup imamat dan religius dalam konteks Indonesia. "Benarkah para imam dan religius - diamati dari sudut corak hidup dan pola bertindak -bersifat asing terhadap rakyat mereka sendiri?" begitulah pertanyaan pada tahun 1969. Sejak tahun 1970 diusahakan secara sistematis Indonesianisasi pembinaan para calon imam. Pada pertemuan para pemimpin semua tarekat religius (KONGGAR-MASRI-KOPTARI) sejak tahun 1969 dirundingkan dan di evaluasi secara sistematis dan konsekuen permasalahan inkulturasi. Pola yang disesuaikan menyangkut hidup, cara bekerja, spiritualitas, pembinaan para anggota mulai dicoba untuk dijalankan. Juga diusahakan untuk menemukan spiritualitas melayani kaum miskin.
(Bagian 7)
7 Indonesianisasi Episkopat dan Kepemimpinan Ordo serta Kongregasi
Pada masa lampau kepemimpinan daerah misi dipercayakan kepada para prefek apostolik dan para vikaris apostolik, dan wilayah-wilayah mereka disebut prefektur apostolik atau vikariat apostolik. Beberapa vikariat ialah uskup, para prefek bukan uskup. Hampir selalu mereka adalah anggota ordo atau kongregasi yang telah diserahi misi. Baru pada tahun 1961 didirikan hirarki tersendiri. Ketika itu kebanyakan ordinaris adalah misionaris luar negeri Perjalanan yang panjang para prefek apostolik menjadi uskup-uskup Indonesia diuraikan secara terperinci bagi setiap keuskupan. Demikianlah menjadi jelas bagaimana proses Indonesianisasi episkopat telah berlangsung. Diuraikan pula bahwa adakalanya terjadi pengangkatan yang tidak terduga. Menjelang akhir tahun 1999, dalam 25 diantara 33 keuskupan ada uskup asli Indonesia, dan di keuskupan lainnya sudah menjadi uskup Indonesia karena naturalisasi. Perhatian yang luas-mendalam diberikan kepada visi Indonesia sejak tahun 1971 terhadap Indonesianisasi kepemimpinan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah bukan pengantian kepemimpinan secara terpaksa, seolah-olah selekas mungkin orang-orang asli Indonesia mengemban kepemimpinan keuskupan-keuskupan atau tarekat religius. Kiranya itu akan memalsukan nasionalisme. Orang menjadi anggota ordo atau kongregasi, atau warga Gereja tidak berdasarkan nasionalitas. Seharusnya berlangsung proses pertumbuhan alami, yaitu bahwa orang-orang Indonesia menerima kepemimpinan. Tarekat-tarekat religius menghadapi corak khas permasalahan peralihan. Pertama-tama mereka harus mandiri, lepas dari propinsi-propinsi induk. Saat kemandirian atau permasalahan serah terima tergantung pada banyak faktor. Sementara itu, khususnya hubungan yuridis-gerejawi memainkan peran yang besar. Kebanyakan tarekat di Indonesia menjadi kesatuan yang mandiri pada tahun 1970-an dan 1980-an. Itu tidak berarti seolah-olah segera datang pemimpin-pemimpin asli Indonesia. Pada umumnya, pemimpin-pemimpin dipilih pada kapitel-kapitel pemilihan. Juga seandainya sebagian besar para anggota adalah orang Indonesia, itu belum berarti otomatis bahwa seorang Indonesia akan dipilih menjadi pemimpin. Pada tahun 1990, ada 60% dari kepemimpinan ordo/kongregasi para imam beberapa di tangan orang Indonesia, 55% pada kongregasi para bruder, dan 82% pada tarekat para suster. Rangkuman: pada tahun 1990, ada 73% provinsi khusus tarekat mempunyai pimpinan Indonesia. Pada tahun 1968, jumlahnya baru 10% Medio tahun 1980-an tumbuh perdebatan antara Gereja Indonesia dan negara tentang "kepemimpinan" atau "kewenangan" atas Gereja Katolik dalam dimensi sosialnya. Negara menghendaki kewenangan atas segala organisasi massa (ormas) sosial, yang boleh berdasarkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Seberapa jauh Gereja Katolik sebagai suatu organisasi sosial dan bagaimana dapat menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas karya kegiatan sosial? Ditemukan pemecahan dengan menganti nama konferensi para uskup (MAWI = Majelis Agung Wali Gereja Indonesia) dengan nama baru KWI= Konferensi Waligereja Indonesia) menurut Hukum Kanonik yang baru, yang menjamin internasionalitasnya, dan dengan menyesuaikan Angaran Dasar dengan Undang-Undang Ormas, karena sedikit pun tidak melawan pancasila "dalam terang iman Katolik".
(Bagian 8)
Dua bab terakhir karya tulis ini melukiskan dan menganalisis aspek struktural dan budaya proses Indonesianisasi. Istilah kunci ialah: inkulturasi dan pengembangan Gereja-Gereja setempat. Kedua paham itu dijelaskan. Proses perkembangan stasi-stasi misi - sebagai tempat tinggal pastor - menjadi paroki-paroki - sebagai tempat Gereja lokal - digambarkan. Itu bukan hanya perubahan peristilahan, tetapi terutama struktur Gereja. Gereja setempat, Gereja lokal, merupakan kesatuan fungsional yang mandiri. Perubahan dalam struktur Gereja berlandasan visi baru yang diperdalam secara konsekuen tentang Gereja, yang bersumber pada Konsili Vatikan II. Peran umat awam sungguh hakiki dalam pembangunan Gereja-Gereja setempat. Agaknya hal itu merupakan Revolusi Kopernikan. Pada tahun 1969, Uskup Agung Pontianak mengungkapkannya sebagai berikut, "kita perlu beralih kepada pandangan lain sebagai sikap yang biasa saja, yakni bahwa kepemimpinan para awam dalam jemaat setempat merupakan pokok yang penting bagi persekutuan hidup kristiani, Katolik (...) Maka itu, perlu kita usahakan, supaya pada kaum awam dan bukan awam berkembanglah pandangan: "Jemaat hidup Katolik perlu dibentuk secara normal dan lengkap oleh kaum awam". Visi baru tentang Gereja itu dituangkan secara struktural dalam pembangunan sistematis Gereja lokal, Gereja setempat. Mulai Dewan Paroki dalam segala komponennya, umat awam membangun Gereja setempat itu. Angka-angka menampakan bahwa antara tahun 1980-1990 jumlah awam yang melibatkan diri dalam dewan-dewan itu meningkat lebih dari 100. Makin majunya pembangunan Gereja setempat pada landasanya, justru dengan mengajak para pemuka awam melibatkan diri, berlangsung berdasarkan visi teologis bahwa Gereja setempat harus " sepenuhnya" Gereja. Oleh karena itu, kepenuhan Gereja jangan tergantung pada kehadiran imam selibater. Jemaat beriman tidak terhalangi untuk mengikuti perayaan Ekaresti dan menerima pelayanan sakramen lainnya hanya karena kekurangan imam-imam yang selibater. Itulah latar belakang permohonan kepada Roma sejak tahun 1970: berarti kami di Indonesia kebebasan untuk mengembangkan imamat "setempat", yakni imam-imam yang berkeluarga. Meskipun setiap kali menerima jawaban negatif, konferensi para uskup Indonesia tetap bertahan dan - yang keyataanya bukan merupakan suatu kebiasaan Indonesia - mengemukakan perkara itu lagi pada kesempatan manapun. Bagi Indonesia, itu merupakan batu ujian yang konsekuen bagi visi konsilier mereka tentang pembangunan gereja. Sejauh ini, Roma benar-benar belum menyetujuinya. Pembangunan sistematis Gereja setempat ialah proses pertumbuhan lambat laun. Dalam hal itu, faktor-faktor pendorong maupun penghambat memainkan peran. Yang mendukung antara lain: mekanisme persekutuan sosial dan budaya dalam masyarakat tradisional; data demografis bahwa sebagian besar umat terdiri dari kaum muda; kaum muda itu merupakan angkatan pertama atau kedua umat Katolik; jadi tidak mempunyai pengalaman gerejawi pra-Konsili (oleh karena itu, tidak pernah terjadi polarisasi); kenyataan bahwa umat Katolik sebagai kelompok minoritas berada dalam keadaan kelompok yang mantap, dan siapa pun yang hendak masuk katolik harus didorong oleh mutivasi yang baik; Indonesianisasi yang jelas terus maju pada pimpinan Gereja dan pada rohaniwan-rohaniwati menampilkan daya tarik yang kuat. Faktor penghambat terhadap pembangunan Gereja setempat ialah proses modernisasi yang merenggangkan pola tradisional budaya dan sosial (yang membantu); sikap para pastor yang kadang otoriter dan mengakibatkan kaum awam mengalami frustrasi; berkurangnya keyakinan yang mendalam di dalam diri umat beriman yang masih muda, dan kurangnya fasilitas pelatihan; kurangnya ruang ibadat untuk perayaan-perayaan, dan pada umumnya kurangnya upaya finansial untuk membangun Gereja setempat.
(Bagian 9)
9 Pembangunan Budaya Gereja Setempat
Sejumlah aspek budaya proses Indonesianisasi di sajikan. Titik tolaknya adalah tek-teks konsili vatikan II (sikap Gereja terhadap agama-agama bukan Kristen, dan dekret tentang kegiatan misioner Gereja). Teks-teks itu mendorong supaya harta kekayaan rohani dan moral, begitu pula nilai-nilai sosio-budaya setiap suku bangsa, diakui, dilestarikan, dan dimajukan. Dibahas tema-tema inti yakni Kitab Suci dalam bahasa Indonesia, perjumpaan Injil dan adat, adat setempat dan liturgi setempat, Gereja setempat dan kesenian pribumi, serta teologi dalam konteks Indonesia. Penyajian Kitab Suci dalam bahasa Indonesia adalah salah satu bidang utama dan hakiki inkulturasi. Pada tahap misioner gereja, digunakan terjemahan perikop-perikop dari pihak Protestan. Baru pada tahun 1955 ditugaskan penerjemahan Katolik. Terbitan pertama Perjanjian Baru terjadi pada tahun 1964. MAWI menugaskan penerjemahan lengkap Kitab Suci pada tahun 1965, tetapi pada tahun 1967 bekerja sama dengan para penerjemah Protestan. Pada tahun 1971 munculah terbitan percobaan, dan pada tahun 1974 diterbitkanlah terjemahan lengkap Kitab Suci dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan dalam pelbagai bahasa daerah sedang dikerjakan. Yang tetap merupakan masalah besar ialah distribusi dan usaha mempelajari Kitab Suci. Salah satu di antara bidang yang jelas sekali menampilkan permasalahan inkulturasi ialah "perjumpaan Injil dengan adat". Adat merangkum tradisi, kebiasaan, kesusilaan, dan pelbagai hal yang lazim. Karena adat berakar dalam pandangan hidup yang melandasinya, pertemuan antara Injil dengan adat de facto merupakan perjumpaan dua visi religius yang berlainan ditinjau dari sudut biasa. Tegangan antara kedua pandangan diuraikan pada empat bidang yang mendasar, yakni adat sekitar kelahiran dan pemberian nama; adat sekitar pernikahan, perceraian, dan poligami; adat sekitar kematian dan kematian; dan adat sekitar pencarian rezeki. Pada umumnya, Gereja Katolik Indonesia mengenakan posisi penyesuaian dan berintegrasi. Integrasi adat dalam perayaan dan ibadat religius (liturgi) sesudah Konsili Vatikan II di terima pada umumnya. Konsili untuk Liturgi mempelajari penyesuaian tingkat regional dan nasinal. Yang terutama diindahkan ialah penyusunan pedoman bagi para pemuka dalam pelayanan setempat. Dalam 91% di antara semua pelayanan akhir minggu yang memimpin adalah awam pemuka. Wajah budaya Indonesia dalam liturgi terutama tampak pada perayaan yang istimewa. Bentuk kesenian pribumi, sebagai ungkapan kekayaan budaya dan tradisi-tradisi Indonesia, diintegrasikan juga oleh Gereja setempat. Diuraikan sejumlah contoh dibidang arsitektur, lukisan, pembuatan patung, hiasan, dan upaya bantuan. Kecuali itu, tampillah bentuk ekspresi di bidang busana, tarian, musik instrumental maupun vokal. Penilaian tentang berhasil tidaknya bentuk inkulturasi Indonesia itu tidak disajikan Salah satu kegiatan yang paling mendasar pada jemaat gerejawi setempat ialah penyadaran dirinya berdasarkan tradisi kristiani atas situasi budayanya sendiri. Refleksi teologis yang konsekuen secara mendalam di tengah lingkungan sendiri dapat menghasilkan teologi setempat. Sudah dapatkah dibicarakan teologi Indonesia yang khas? Ada beberapa orang yang berpendapat: tidak disajikan sejumlah contoh studi inkulturasi teologis Indonesia di tingkat regional dan pribumi. Selain itu, ditunjukan refleksi pastoral-teologis tentang situasi Indonesia di bidang aktual, sosial, politik, keagamaan, dan ekonomi. Refleksi kontekstual itu telah memajukan proses Indonesianisasi dari dalam. (Selesai)
Tulisan terkait dapat dibaca : http://www.parokisantolukas.org/214/50-tahun-hirarki-gereja-katolik Sumber : www.mirifica.net