REFLEKSI PERJALANAN APOSTOLIK BAPA PAUS KE INDONESIA
Dipublikasikan tanggal 24 September 2024
Refleksi Perjalanan Apostolik Bapa Paus
ke Indonesia
Hari ini (Rabu, 18 September 2024, jam 09.00 waktu Roma) Paus Fransiskus mengadakan Audiensi Umum di Lapangan Santo Petrus, Vatikan. Sebagai bahan katekese, Paus Fransiskus mengungkapkan Refleksinya atas perjalanan apostolik ke Asia dan Pasifik. Berikut ini, saya sajikan, refleksi Bapa Suci, atas perjalanan ini, secara umum dan khususnya kunjungan ke Indonesia.
Refleksi pertama yang muncul secara
alami setelah perjalanan ini adalah bahwa dalam berpikir tentang Gereja, kita
masih terlalu Eropa-sentris, atau, seperti yang mereka katakan, 'Barat'. Namun
nyatanya, Gereja jauh lebih besar, jauh lebih besar daripada Roma dan Eropa,
jauh lebih besar, dan – isinkan saya mengatakannya - jauh lebih hidup, di
negara-negara tersebut. Saya telah mengalami hal ini dengan cara yang sangat
mengesankan ketika bertemu dengan komunitas-komunitas tersebut, mendengarkan
kesaksian para imam, biarawati, umat awam, terutama para katekis - katekislah
yang menjadi memajukan karya evangelisasi - Gereja yang tidak melakukan
proselitisasi, tetapi bertumbuh karena 'daya tarik', seperti yang dikatakan
dengan bijak oleh Paus Benediktus XVI.
Di Indonesia, jumlah umat Kristen
sekitar 10%, dan umat Katolik 3%, sebuah minoritas. Namun, yang saya jumpai
adalah Gereja yang hidup dan dinamis, yang mampu menghidupi dan mewartakan
Injil di negara yang memiliki budaya yang sangat luhur, yang cenderung
menyelaraskan keragaman, dan pada saat yang sama memiliki jumlah umat Muslim
terbesar di dunia. Dalam konteks ini, saya telah menegaskan bagaimana belarasa
hendaknya menjadi jalan yang dapat dan harus dilalui oleh orang Kristen untuk
memberikan kesaksian tentang Kristus Sang Juruselamat dan pada saat yang sama
bertemu dengan tradisi-tradisi agama dan budaya yang besar. Mengenai belarasa,
janganlah kita melupakan akan tiga karakteristik Tuhan: kedekatan, murah hati
dan belarasa. Tuhan itu dekat, Tuhan itu murah hati, dan Tuhan itu berbelarasa.
Jika seorang Kristen tidak memiliki belarasa, ia tidak ada gunanya. “Iman,
persaudaraan, belarasa” adalah moto kunjungan saya ke Indonesia: melalui
kata-kata ini Injil, secara nyata, setiap hari masuk ke dalam kehidupan bangsa
itu, sambil menerima dan memberikan anugerah dari Yesus yang telah wafat dan
bangkit kembali. Kata-kata ini seperti sebuah jembatan, seperti terowongan yang
menghubungkan Gereja Katedral Jakarta dengan Masjid Istiglal, masjid terbesar
di Asia. Di sana saya melihat bahwa persaudaraan ada masa depan, persaudaraan
adalah jawaban atas anti-peradaban, atas rencana jahat kebencian dan perang,
bahkan sektarianisme. Di sana ada persaudaraan, ya, persaudaraan.
Saya ingin berterima kasih kepada
bangsa-bangsa ini yang telah menyambut saya dengan begitu hangat, dengan begitu
banyak cinta. Saya ingin berterima kasih kepada Pemerintahnya, yang telah
banyak membantu kunjungan ini, sehingga kunjungan ini dapat dilakukan dengan
tertib, tanpa masalah. Saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah
berkolaborasi dalam perjalanan ini. Saya bersyukur kepada Tuhan atas karunia
perjalanan ini! Dan saya memperbaharui rasa terima kasih saya kepada semuanya,
kepada mereka semua. Semoga Tuhan memberkati orang-orang yang saya temui dan
membimbing mereka di jalan perdamaian dan persaudaraan! Salam
Pastor Berty Tiow MSC.