Bulan Kitab Suci 2011 (Lampiran 1 & 2 )
Dipublikasikan tanggal 22 August 2011
Catatan : Sebelum membaca Lampiran ini lihat juga Bahan Pendalaman Kitab Suci Untuk Pertemuan I, II, III, IV di sini
LAMPIRAN 1
Tahap-Tahap Metode Sharing 7 Lanqkah
Metode ini terdiri dari 7 Langkah yaitu :
Mendengarkan :
1. Mengundang Tuhan
2. Membaca Teks
3. Memperhatikan Teks
4. Membiarkan Tuhan berbicara
Mengungkapkan:
5. Saling berbagi apa yang didengar dalam hati
Mencari Pesan Tuhan:
6. Bersama - sama mencari pesan Tuhan
Berdoa:
7. Berdoa bersama - sama
Penjelasan:
"Kita akan mengikuti pertemuan doa berbasis Kitab Suci dengan menggunakan metode 7 langkah"·
Langkah Pertama :
Mengundang kehadiran Tuhan
Mengundang Tuhan, supaya membuka hati masing-masing peserta. Kita mengundang Tuhan untuk menciptakan suasana doa dan' mengingatkan masing-masing Tuhan hadir di tengah-tengah kita, sehingga terbuka bagi Sang Sabda yang sungguh hadir dalam iman.
Dimohon salah seorang mengantar doa.
Langkah Kedua:
Membaca teks Kitab Suci
Fasilitator menyebut teks yang akan dibahas bersama. Kemudian minta kesediaan salah seorang untuk membacakan dengan jelas. Selama pembacaan, peserta mendengarkan dalam suasana meditasi.
Setelah teks dibaca, hening sejenak. Kemudian Fasilitator mengundang peserta kedua untuk membacakan teks sekali lagi. Sementara itu peserta yang lain menutup Kitab Sucinya. Maksudnya: Firman Tuhan dapat meresap dalam hati.
Langkah Ketiga :
Memperhatikan teks
Peserta diajak masuk ke suasana henirig, membaca kembali teks dalam hati. Memilih kata atau kalimat singkat yang menantang, menggugah. Kemudian Fasilitator mempersilahkan mengungkapkan kata, ungkapan atau kalimat singkat yang dipilih secara begilir. Kata atau kalimat itu tidak boleh dikomentari. Yang perlu: menikmati bersama-sama kehadiran Tuhan dalam sabda-Nya
Langkah Keempat :
Mendengarkan (hening)
Fasilitator mengajak peserta mendengarkan sabda Tuhan dalam keheningan .. Teks dibaca sekali lagi dalam hati, sambil membiarkan Tuhan menyapa dan berbicara kepadanya. Dalam keheningan itu, peserta dapat mencari/menemukan apakah teks ini:
- Menambah pengetahuan tentang Allah; menunjukkan kesalahan / dosa;
- Teguran/nasehat perbaiki kelakuan: beri hiburan/peneguhan;
- Mendidik dalam kebenaran; memberi janji-janji Tuhan.
Langkah ini membantu peserta untuk masuk dan tinggal dihadirat Allah, dan masuk lebih dalam ke dalam situasi teks.
Langkah Kelima :
Berbagi (sharing)
Peserta diajak membagikan apa yang didengar dalam hati atau apa yang diperoleh selama renungan. Kata, ungkapan, kalimat mana yang menggugah saya secara pribadi. Disusul dengan mengungkapkan pengalaman rohani atau penghayatan pribadi sehubungan dengan kata/ungkapan/kalimat yang menggugah, menantang tadi. Hendaknyadihindari kesan menggurui, mengajar atau mengkhotbah orang lain. Pengungkapan diri ini bermaksud membantu ternan lain agar semakin tumbuh dalam iman. Maka sebaiknya digunakan kata "Saya", bukan Kita" atau "Kami".
Langkah Keenam :
Mencari pesan (tanggapan)
Pesan Tuhan dicari bersama. Ini merupakan saat bagi para anggota kelompok untuk memeriksa hidupnya masing-masing dalam terang Sabda Tuhan. Masalah yang dibicarakan perlu dibahas dan dipecahkan dalam suasana persaudaraan dan dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan. Dapat jug·a dibahas apa yang baik dilakukan oleh peserta secara pribadi maupun kelompok. Hendaknya ditentukan siapa melakukan apa dan kapan. Jika ini bukan pertemuan pertama, maka sebelum berbagi tugas diminta peserta memberikan laporan tugas yang telah dijalankan dalam minggu periode sebelumnya.
Langkah Ketujuh :
Mengungkapkan dalam doa
Peserta diajak untuk berdoa secara spontan. Sabda Tuhan, berbagai pengalaman akan Tuhan, dan macam-macam masalah yang sempat dibicarakan dapat menjadi landasan doa.
Kelompok sedapat mungkin mempersatukan ketiga unsur: Sabda Tuhan, Pengalaman Spiritual, Masalah kehidupan dalam doa pribadi.
Diakhiri dengan pujian/nyanyian untuk menutup pertemuan.
LAMPIRAN 2
Bahan Penda!aman Untuk Para Fasilitator
Pertemuan Pertama (Luk 10:25-37)
Yesus mengajar para murid dan pengikut-Nya melalui perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati. Dikisahkan seorang ahli Taurat berusaha mencobai Yesus dengan bertanya apa yang harus dilakukannya untuk memperoleh hidup kekal. Pertanyaan jebakan ini dapat dengan cermat dibelokkan oleh Yesus supaya ahli Taurat itu sendiri yang menjawabnya, mengingat ia sendiri adalah seorang yang sangat memahami hukum Taurat.
Seluruh pengajaran Yesus hanya tertuang dalam dua perintah utama yaitu supaya setiap peng.ikut-Nya mengasihi Tuhan dan sesama (ay 27). Kedua perintah ini sekaligus menuntut setiap pengikut-Nya supaya melakukannya dan dengan demikian akan memperoleh hidup kekal. Rupanya ahli Taurat itu belum puas dan berusaha mencari pembenaran diri dengan bertanya: siapakah sesamanya manusia? Seperti diketahui, sesame dalam ajaran dan pandangan orang Yahudi adalah mereka yang berasal dari suku, agama dan kelompok yang sama.
Karena itu untuk menyadarkan orang itu dan juga semua pendengar-Nya, Yesus memakai perumpamaan Orang Samaria yang Baik Hati. Seorang Samaria menurut pandangan Yahudi adalah orang yang berasal dari suku yang tidak diperhitungkan dan mempunyai derajat lebih rendah dari pada seorang Yahudi. Namup justru pihak yang dianggap hina dan rendah inilah yang berhati mulia dan dengan tulus mau menjadi sesama bagi orang asing yang belum dikenalnya, bahkan menolongnya tanpa berpikir panjang.
Di sini ditunjukkan bahwa orang Samaria tersebut mempunyai kepekaan hati untuk menolong sesama yang membutuhkan, rasa kemanusiaannya terusik untuk berbuat sesuatu demi sesama yang sedang menderita, dan rasa itu melampaui daya pikirnya akan resiko yang mengancam akibat perbuatannya itu. Sebagaimana diketahui, Yerikho dikenal sebagai tempat yang rawan akan tindak kejahatan yang dapat membahayakan nyawanya jika ia berlama-lama di tempat itu karena ingin membantu orang yang sedang terluka tadi.
Sedangkan seorang Imam dan seorang Lewi yang jauh lebih memahami ajaran agama Yahudi justru menghindaridan meninggalkan orang yang membutuhkan pertolongan tersebut karena takut resiko yang akan dihadapi seperti antara lain dapat menjadi najis jika bersentuhan dengan orang asing yang terluka. Mereka lebih memikirkan profesi dan pekerjaan mereka pada pelayanan peribadatan dari pada mengutamakan kepekaan hati serta rasa kemanusiaan untuk menolong orang itu. Tugas dan status menjadi penghambat bagi mereka untuk bertindak sebagai sesame yang baik bagi orang lain.
Ketulusan dan pengorbanan orang Samaria ini bukan hanya dengan memberi perhatian saja, ia bahkan rela membalut lukanya sementara sebelum membawanya menuju penginapan, merelakan dirinya berjalan dan mengijinkan orang yang terluka itu duduk di atas keledainya, merawat dan membayar penginapan untuknya. Pengorbanannya dengan menyerahkan uang sebesar dua dinar yang setara dengan upah selama dua hari kerja juga melengkapi keihlasannya dalam berbagi dan menjadi sesama bagi yang menderita. Sikap orang Samaria yang baik hati dan tulus ini ditunjukkan sejak awal sampai akhir. la menolong orang yang terluka itu tanpa pamrih, semua karena tergerak oleh belas kasihan, seperti Yesus yang selalu berbelas kasihan kepada setiap orang tanpa kecuali. Ketulusan hati, rasa kemanusiaan, belas kasih, berani mengambil resiko dan kerelaan berbagi, itulah yang dilakukannya. Untuk itu diperlukan pengorbanan dalam bertindak, bukan hanya kerelaan berkorban perhatian, waktu, uang, tenaga, bahkan nyawanya sendiri mengingat resiko tinggi yang dihadapinya.
Walaupun ahli Taurat itu menyadari arti menjadi sesame bagi orang lain melalui perumpamaan yang Yesus sampaikan, namun ia tetap berusaha mengingkarinya dengan tidak menunjukkan identitas orang Samaria itu secara terus terang. Oalam akhir pengajaran-nya, Yesus menegaskan supaya pengikut-Nya melakukan perintah-Nya. Perintah untuk mengasihi sesama tanpa kecuali, tidak pandang bulu dan tanpa pamrih.
Pertemuan Kedua (Luk 15: 11-32)
Perumpamaan anak yang hilang ini disampaikan Yesus untuk menjawab kritikan dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, yang mempermasalahkan kedekatan Yesus dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa. Yesus menerima para pendosa dengan tulus dan makan bersama mereka, padahal di dalam budaya Yahudi, hal ini merupakan tindakan yang dilarang.
Yesus menyampaikan 3 perumpamaan (domba yang hilang, dirham yang hilang dan anak yang hilang) untuk menjawab kritikan tersebut. Struktur dan isi perumpamaan anak yang hilang ini berbeda dengan dua perumpamaan sebelumnya. Anak yang hilang tidak dicari tetapi ditunggu kedatangannya kembali. Di dalam perumpamaan ini bukan barang atau binatang yang hi lang, tetapi seorang manusia yang sengaja pergi meninggalkan orangtuanya. Di dalam perumpamaan dengan jelas digambarkan proses hilang dan kembali sebagai proses jatuh dalam dosa dan pertobatan.
Diceritakan bahwa ada seorang ayah memiliki 2 putra. Si bungsu meminta bagian dari warisan-nya, padahal sang ayah belum meninggal. Meminta warisan ketika orangtua masih hidup, jelas suatu tindakan durhaka di dalam tradisi Yahudi. Dengan uang banyak di tangannya, si bungsu itu pergi ke negeri yang jauh, meninggalkan ayah-nya. Dengan pergi ke negeri yang jauh, kelihatan bahwa anak bungsu itu sengaja meninggalkan ayahnya dan tidak ambil peduli pada nasib sang ayah pad a masa tuanya. Di sini digambarkan artinya berdosa, yaitu pergi menjauhi Allah dan tidak mau peduli kepada-Nya.
Dia memboroskan harta warisannya dengan hidup berfoya-foya sampai habis. Singkat cerita, ia terpaksa menghamba pada seorang majikan di negeri itu, yang memberinya pekerjaan menjaga babi. Karena tidak ada jalan lain, pekerjaan najis itupun dijalaninya, bahkan mencapai puncaknya ketika dia terpaksa memakan ampas makanan babi akibat kelaparan. Kondisi yang ekstrim tersebut melengkapi proses kedosaan yang semakin lama semakin parah, dan penderitaan inilah yang membawa si bungsu kepada penyesalan, dan penyesalannya membawa-nya kepada pertobatan, dan pertobatan (titik balik) membawanya kembali ke rumah bapanya. Si bungsu yang pergi menjauh dari rumah ayahnya tanpa menyadari bahwa sebenarnya dia sedang menuju ke penderitaan, akhirnya kembali ke rumah ayah-nya sebagai perjalanan menuju kebahagiaan.
Si bungsu merasa sudah tidak pantas lagi dianggap sebagai anak. Oleh karena itu, dia tidak berharap terlalu tinggi. Diterima sebagai orang upahan bapanya pun dia bersedia. Yang penting bapanya mau mengampuni dia. Pertobatannya membawa ke sikap pasrah.
Namun sang ayah ternyata memberikan sambutan yang tak terduga. Dia "berlari" menyambut si bungsu. Menurut tradisi Yahudi, "berlari" bagi orang tua dianggap sebagai perendahan martabat. Namun karena belas kasihan dan sukacitanya begitu meluap, dia tidak peduli dengan martabatnya. Apa yang dianggap sebagai perendahan martabat ternyata justru menjadi ungkapan kasih yang mengagumkan. Baginya si bungsu tetaplah anaknya, apapun yang telah dilakukannya dan apapun yang terjadi padanya.
Dosa di bungsu tidak meniadakan status-nya sebagai anak, sama seperti dosa manusia tidak meniadakan status-nya sebagai anak Allah.
Belum selesai si bungsu mengaku dosa, sang ayah telah memotongnya dengan seruan perintah agar para hambanya mengambilkan jubah yang terbaik, cincin dan sandal untuk dipakaikan kepada anaknya. Kepulangan anaknya ke rumah sudah merupakan bukti pertobatan, sang ayah tidak perlu mendengarkan pengakuan dosa si bungsu secara lengkap.
Ikatan kasih dengan anaknya telah membuatnya mampu mengatasi segal a perasaan manusiawi (marah, dendam, dsb). Sikapnya sungguh tepat jika dipakai sebagai gambaran sikap Allah yang dengan terbuka menerima kembali orang-orang yang bertobat. Inilah pesan inti dari perumpamaan ini.
Anak sulung yang tidak disebut-sebut di awal cerita, muncul dengan tiba-tiba. Setelah tahu bahwa adiknya disambut dengan meriah, si sulung menjadi marah campur iri dan tidak mau masuk keruang pesta. Tanggapan si sulung ini (ayat 29-30), membuka sisi negatif perilakunya yang selama ini tersembunyi di balik ketaatan melakukan perintah bapanya. Dari sikapnya ini kelihatan bahwa si sulung menempatkan dirinya sebagai orang upahan yang harus melayani bapanya dan diam-diam berharap mendapatkan upah. Sungguh ironis, di saat ikatan kasih bapa dan anak sedang dirayakan, ternyata si sulung justru kehilangan roh sebagai anak. Dia lebih memilih status orang upahan yang bekerja untuk mendapatkan upah.
Hubungan antara Allah dan manusia sampai kini masih banyak dipahami sebagai hubungan antara seorang tuan dan orang-orang upahannya. Kebajikan yang diwarnai oleh keinginan mendapat upah pasti berbeda dengan kebajikan yang didasari oleh kasih yang tulus. Ketika kasih yang tulus menjadi pedoman tindakan kita, maka soal untung atau rugi tidaklah menjadi perhitungan lagi. Sebaliknya, ketika mental untung rugi begitu dominan, maka kasih tidak akan pernah tulus, alias menjadi barang dagangan saja.
Dengan perumpamaan tentang Anak yang hilang ini, kita disadarkan bahwa kasih Allah adalah suatu anugerah. Allah tidak menunggu kesiapan kita untuk mencurahkan anugerah-Nya. Bapa di dalam perumpamaan ini tampil sebagai tokoh belas kasih tanpa syarat. Demikian pula Allah bagi kita senantiasa siap menyambut kita dengan belas kasih-Nya yang tak terhingga. Ketika kita sedang jauh meninggalkan-Nya, Allah tetap menunggu pertobatan kita. Dia bukan Allah penghukum, tetapi Allah yang mengasihi setiap umat-Nya lebih lebih umat yang jatuh di dalam dosa. Ada sukacita Ilahi jika manusia mau bertobat dan kembali kepada-Nya.
Itulah tafsir biblis yang umum dari perikop ini. Silahkan ditambahkan dengan sharing-sharing pribadi dari umat agar perumpamaan Yesus ini menjadi lebih hidup di dalam hati umat dan menjadi motivasi untuk bertobat dari kesalahannya selama ini. Atau bahkan mungkin saja tercetus tafsiran (makna) lain yang lebih relevan/ mengena pada kondisi dan situasi umat pada saat ini.
Pertemuan Ketiga (Mat 13:24-30)
Ada 6 Perumpamaan Yesus tentang Kerajaan Sorga yang tertuang pada hampir seluruh Bab 13 dalam Injil Matius (ay53). Namun demikian, masih terasa sangat sulit untuk memahami dan memaknai secara tepat hal Kerajaan Sorga. Karena, dalam pengajaran-Nya, Yesus sendiripun tidak selalu menggunakan bahasa yang langsung dapat ditangkap oleh manusia, la menggunakan berbagai perumpamaan dan juga alegori.
Kerajaan Sorga pada hakikatnya lebih dipahami sebagai suatu kejadian/peristiwa dimana Allah diakui sebagai raja atas semua ciptaan serta menunjuk kepada pelaksanaan kuasa Allah pada hari penghakiman yang akan datang. Walaupun Kerajaan Sorga adalah murni karya Allah, namun, Kerajaan Sorga tidak serta merta terjadi begitu saja di bumi dan dalam kehidupan man usia. Manusia dituntut pula untuk terlibat dan berperan aktif dalam menciptakan keselamatan yang berakar pada perbuatan-perbuatan baik demi tegaknya Kerajaan Sorga di bumi.
Pada pertemuan yang ketiga, kita akan belajar merefleksikan lebih dalam tentang Kerajaan sorga yang diumpamakan (alegori) sebagai biji gandum dan lalang. Karena bentuk kedua benih tersebut hampir serupa (sehingga sangat sulit mengenali dan membedakannya) maka orang-orang Yahudi menyebut lalang itu gandum haram. Dalam bahasa Ibrani lalang adalah Zunim. Berasal dari bahasa Yunani, Zizanion. Tumbuhan ini mengandung racun yang dapat merusakkan tanaman disekitarnya. Memang pada tahap awal pertumbuhan kedua benih sangat sukar dibedakan dengan kasat mata, namun ketika keduanya mulai tumbuh besar dan berbulir, barulah dapat dikenali diantara keduanya. Tetapi pada saat itu, akar kedua tanaman sudah saling terkait dan terjalin satu dengan yang lain sehingga sangat sulit bagi petani untuk mencabutnya tanpa merusak tanaman yang tumbuh disekitarnya.
Dikisahkan dalam perumpamaan, bahwa benih lalang yang merusak dan menggangu kehidupan manusia secara diam-diam ditaburkan oleh seorang musuh yang menyellnap masuk ke ladang gandum. Hal ini terjadi di saat para hamba lelap tertidur, sehingga tak ada yang mengetahui secara pasti bagaimana dan mengapa hal tersebut terjadi. Perumpamaan Yesus kali ini menunjukkan bahwa pengaruh dari kekuasaan gelap dan jahat senantiasa membayang-bayangi kehidupan orang-orang baik yang hidup taat kepada Allah. Mereka mencari dan mananti saat yang tepat untuk menghancurkan kehidupan orang-orang baik. Pada dunia ini, mereka tumbuh bersama dan saling berlomba mempengaruhi kehidupan manusia, benih yang baik membawa pengaruh yang positif bagi lingkungan dimana la tumbuh. Sebaliknya, benih yang jahat dapat membawa dampak negative bagi kehidupan dan keselamatan manusia. Oleh karenanya yang dapat kita lakukan adalah senantiasa waspada dan selalu berjaga-jaga agar tldak terjerumus oleh tipu muslihatnya. Karena pada awalnya benih-benih itu sulit dibedakan; seseorang mungkin terlihat baik dari sisi luarnya tetapi ternyata hatinya tldak sebaik penampilannya. Dan begitu pula sebaliknya, seseorang mungkin terlihat berpenampilan tidak baik, tetapi ternyata memiliki hati dan sifat yang baik.
Reaksi terkejut dan marah dari para penggarap (hamba-hamba) sangatlah wajar dan manusiawi ketika di suatu ketika mereka menemukan kumpulan lalang di antara bulir-bulir gandum di ladang tempat mereka mencari nafkah. Kerena sepengetahuan mereka, tuannya hanya menaburkan satu macam benih saja, yakni benih yang baik! Sehingga mereka berpikir,"Dari mana asalnya lalang ini?" Tidak ada jalan lain bagi anak-anak terang, selain senantiasa waspada mengamati perilaku dan gerak-gerik si jahat juga sekaligus membiarkan sang pemilik ladang ketika sudah tiba saatnya memerintahkan para penuainya untuk memisahkan mereka dari anak-anak si jahat. Seperti yang dijelaskan Yesus, para malaikatlah yang pada akhir zaman (ay 39b) nanti bergerak mengumpulkan, memberangus serta membakar lalanglalang jahat ke dalam dapur api (ay 42).
Hal menghakimi adalah kewenangan dan mutlak merupakan hak Allah. Yesus tidak mengajarkan kepada kita untuk saling menghakimi didalam dunia ini. Berbeda dengan keinginan kita, yaitu mencabut paksa lalang-Ialang itu sehingga kita dapat hidup tanpa musuh dan orang-orang yang mengancam kehidupan kita. Tuhan membiarkan gandum dan lalang tumbuh bersama, agar kita tidak pernah mengandalkan pikiran dan kekuatan sendiri untuk mengadili serta mengenyahkan mereka, dan sekaligus agar kita dapat lulus sebagai gandum yang tahan uji nantinya. Dilain pihak, tindakan tidak main hakim sendiri akan memberi kesempatan kepada setiap orang berdosa untuk menyadari perbuatan-perbuatannya yang jahat dan segera bertobat. Sebaliknya bagi orang-orang yang saleh harus tetap berhati-hati dalam hidupnya, tetap konsisiten dan setia pada imannya, agar jangan pada akhir hidupnya justru terpuruk dalam dosa dan hidup jauh dari Kerajaan Sorga.
Pertemuan Keempat (Mat 18:21 35)
Apakah ungkapan-ungkapan ini sering kita dengar atau kita ucapkan? "Saya tidak butuh kamu", "Seratus orang seperti kamu saya bisa dapat dalam satu hari" atau "Saya bisa hidup sendiri dan tidak butuh orang lain". Ungkapan kemarahan dan kekesalan seseorang ini dan yang terus dipegangnya tanpa sedikitpun perasaan mau mengampuni adalah contoh karena derasnya era modernisasi. Bahkan ada ungkapan "Sampai mati pun saya tidak akan mau mengampuni, karena dia sudah menyakiti saya berulangulang kali" dan banyak lagi ungkapan sejenis yang bisa kita tambahkan. Salahkah ungkapan tersebut? Mengapa?
Yesus memberikan penegasan dan sekaligus perintah berapa kali seharusnya kita mengampuni dan bagaimana kita mengampuni melalui Perumpamaan tentang Pengampunan dari Injil Matius 18:21-35. Inti dari perumpamaan ml adalah para murid diminta untuk mengampuni karena Bapa telah lebih dahulu mengampuni dosa-dosa kita dengan pengampunan yang tiada batasnya. Sungguh menarik untuk disimak 151 dan makna perumpamaan Yesus tentang pengampunan ini yang hanya bisa ditemukan dalam Injil Matius. Yesus menyatakan tentang sebuah perumpamaan hal Kerajaan Sorga dimana Allah dengan kemurahan hatiNya memberikan pengampunan kepada kita umat manusia.
Adalah Petrus yang mempertanyakan kepada Yesus tentang berapa kali seorang harus mengampuni sesame yang bersalah padanya (Ay.21) dan jawaban Yesus pada ayat 22 sungguh mengejutkan, karena pengampunan harus diberikan tujuh puluh kali tujuh kali, yang artinya tidak terbatas, sama seperti pengampunan Allah Bapa kepada kita, apapun kesalahan dan dosa yang telah kita lakukan.
Yesus memberikan perumpamaan tentang seorang Raja yang telah membebaskan hutang sebanyak sepuluh ribu talenta seorang hamba yang berhutang kepada Raja tersebut karena hamba tersebut memohon kemurahan hati raja agar diberi waktu untuk membayar hutangnya. Padahal, raja tersebut sudah memerintahkan untuk menjual semua miliknya yaitu, harta,istri dan anaknya meskipun tetap tidak dapat melunasinya. Namun karena hamba tersebut memohon belas kasihan sehingga tergeraklah hati raja maka dia tidak hanya memberikan kelonggaran waktu untuk melunasi hutang si hamba tersebut melainkan menghapuskan seluruh hutangnya saat itu juga (Ay.23-27).
Namun, apa yang terjadi dengan diri si hamba tersebut? Pada ayat 28-30, ia tidak mau membebaskan hamba lain yang berhutang kepadanya hanya sebanyak 100 dinar!. Bukan hanya tidak mau mengampuni dan membebaskan. Dengan tanpa belas kasihan ia menangkap dan mencekik bahkan memasukkannya ke dalam penjara sampai hamba tersebut melunasi hutangnya. Meskipun, kawannya tersebut sudah memohon sambil bersujud meminta kesabarannya.
Tindakan yang tidak tahu berterima kasih tersebut diketahui oleh teman-temannya dan membuat mereka sedih karena mereka tahu tentang hutang hamba tersebut yang sepuluh ribu talenta baru saja dihapuskan oleh raja. Mengapa ia sekarang tidak bersedia menghapuskan hutang temannya yang hanya 100 dinar (ay.31). Mereka melaporkan tindakan yang berlebihan hamba tersebut kepada raja. Raja sangat murka dan marah sekall dengan tindakan hamba tersebut. Kata-kata raja tersebut menjadi kunci pesan dari perumpamaan : "Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?" (Ay.32-33). Karena hamba tersebut tidak mau mengampuni kawannya meskipun ia telah dlampuni maka tindakannya yang jahat itu membawanya kepada penjara sampai ia melunasi hutangnya.
Pesan perumpamaan cukup jelas. Karena hamba itu telah diampuni oleh tuannya, maka ia harus mau mengampuni temannya sesama hamba. Demikianlah para murid Yesus yang telah diampuni oleh Bapa hendaknya mau mengampuni sesama. Pengampunan kepada sesame merupakan pancaran dari pengampunan Bapa. Atas dasar inilah Yesus menegaskan bahwa kita harus mau mengampuni sesama karena kitapun telah diampuni oleh Allah. Pengajaran Yesus mengenai kasih sungguh amat khas, karena teladan yang dipakai adalah tindakan Bapa sendiri terhadap umat-Nya.
Perintah Yesus agar kita berani mengampuni tanpa batas dengan sendirinya tidak membuka kemungkinan untuk tindakan balas dendam. Pengampunan harus dimulai dari ketulusan hati yang didasari oleh pengampunan dari Bapa yang telah kita terima lebih dahulu. Pengampunan kita merupakan pancaran dari pengampunan Bapa sendiri. Demikian pula pengampunan yang tulus menyingkirkan dari kita mental "do ut des" yaitu mengampuni supaya diampuni. Tidak ada lagi tempat bagi pengampunan yang diberikan hanya demi perintah Tuhan. Pengampunan hendaknya muncul dari kedalaman hati yang tulus. Jika pengampunan Tuhan terus-menerus ditawarkan kepada kita, maka pengampunan kita kepada sesama pun tidak ada batasnya.
Catatan : Sebelum membaca Lampiran ini lihat juga Bahan Pendalaman Kitab Suci Untuk Pertemuan I, II, III, IV di sini