Surat Keluarga Juni 2013
Dipublikasikan tanggal 05 June 2013
SURAT KELUARGA JUNI 2013
SEMANGAT BERKORBAN DAN MELAYANI
Keluarga Katolik yang terkasih, keluarga kita sungguh adalah sebuah anugerah sekaligus sebuah tantangan di era yang semakin terbuka ini. Pada saat kita ingin menghayati sebuah perkawinan yang kita impikan, kita berhadapan dengan keluarga yang justru menantang kita untuk terus bertanya, “Apakah dia sungguh-sungguh pasangan sejatiku?” Setiap hari kita sebenarnya mendapat tantangan untuk semakin memberikan diri dan melayani.
Salah satu penyebab mengapa kita sering mengalami beban dalam keluarga yang tak tertanggung adalah karena kita memiliki sedikit energi untuk melayani. Kita lebih suka dilayani. Anak-anak senang dilayani orangtuanya, suami senang dilayani oleh isterinya, atau isteri suka menjadi “boss” atas suami dan anak-anak. Ketika keadaan berubah dan keluarga membutuhkan pelayanan, kita menjadi lelah dan merasa putus asa.
Salah satu pengalaman mengharukan adalah ketika saya mengunjungi suatu tempat rehabilitasi anak-anak cacat. Mereka menyandang kecacatan yang satu sama lain berbeda. Ada yang kakinya pincang, ada yang matanya buta, ada yang cacat mentalnya. Semua mempunyai kesulitan sendiri-sendiri. Dalam suatu tempat yang sama, mereka dilatih untuk saling melayani. Mereka tidak hanya dilatih untuk menerima pelatihan, tetapi juga menjadi pelatih semampu mereka masing-masing bagi teman-temannya.
Yang cacat sebelah kaki, diajak untuk mendorong kursi roda temannya yang cacat seluruh tubuh. Yang cacat seluruh tubuh diajak untuk berbagi semangat dengan menyanyi dan menulis pesan puitis bagi pengunjung yang datang. Yang tuna grahita diajar untuk membantu teman mereka yang buta ke kamar mandi. Demikian hebat pesan yang dibawa oleh para pendamping. Sebagai penyandang cacat, semua masih berguna untuk memberikan dirinya.
Bagaimana dengan situasi keluarga kita? Bukankah kebanyakan kita mempunyai segala-galanya dalam hidup ini? Tubuh yang sehat, pengetahuan, kaki yang kuat, uang, dan bahkan kekuasaan yang hebat. Apakah yang sudah kita berikan bagi anggota keluarga kita? Apakah kita bertahan dalam kemapanan dan seakan akan mengharuskan diri untuk bahagia “tanpa” mau diganggu oleh kesulitan orang-orang serumah?
Budaya instan, serba cepat, memang sangat mempengaruhi kita dalam mencapai apa yang kita butuhkan segera. Kita hanya perlu sedikit waktu untuk minum air jernih, minum teh, makan daging goreng, menonton acara kegemaran, bermain games, atau menjadi penyanyi professional dalam waktu singkat. Kemudahan ini bisa membuat kita kurang suka pada proses.
Kesulitan anggota keluarga kita seringkali menuntut bahwa kita pun ikut berproses bersama mereka. Suami yang sedang kalut dengan masalah kantor memerlukan perhatian sedikit melalui omong-omong dan sharing yang mesra. Akan tetapi karena isteri tidak suka berada dalam kesulitan, maka kita enggan melayani dan justru menuntut suami untuk memperhatikan kita. Masalah suami menjadi bertambah-tambah dan akhirnya baik suami maupun isteri sama-sama putus asa dan berhenti mencintai.
Apakah sebagai orangtua, kita pun mempunyai banyak waktu untuk anak-anak yang menghadapi situasi tuntutan pelajaran yang semakin rumit dan sulit? Atau kita lebih suka menitipkan anak pada guru-guru les dan menuntut mereka sukses sesudah kita mengeluarkan banyak uang untuk les-les itu? Bukankah kegagalan anak-anak kita salah satunya adalah karena ia jarang Anda sentuh dan Anda damping dalam belajar? Jika mau diakui, kita pun malas berhadapan dengan kesulitan anak-anak dan lebih suka menuntut mereka berkembang baik tanpa usaha kita.
Cobalah menghitung, apa yang sudah Anda lakukan sebagai seorang suami dengan kesempurnaan badani dan kesempurnaan akal budi? Apakah Anda sudah memberikan diri, di luar hal-hal material, sebagai dukungan moral dan mental untuk mereka yang telah dipercayakan Allah kepada Anda? Pelayanan ini saya bandingkan dengan pelayanan anak-anak cacat kepada sesamanya. Saya pun menjadi insyaf, bahwa banyak kali kita tidak menggunakan seluruh anugerah Tuhan untuk orang-orang yang memerlukan kasih kita.
Keluarga-keluarga yang terkasih, menuntut pasangan atau anak-anak menjadi baik itu mudah, tetapi menuntut diri sendiri itu suatu tantangan yang tidak boleh berhenti. Kita semua harus menyadari bahwa keluarga kita membutuhkan satu-dua hal yang menjadi kelebihan kita untuk mereka nikmati. Keluarga tidak hanya membutuhkan perintah dan kata-kata marah. Mereka ingin menikmati juga kesabaran, sanjungan, sentuhan, pujian, dan pelayanan kita.
Kita memang bisa menjadi letih lesu berhadapan dengan salah satu anggota keluarga kita yang menjengkelkan dan menyakitkan hati. Akan tetapi sakramen perkawinan Katolik justru menganggapnya sebagai cara kita bertemu dengan Tuhan. Melalui kesulitan dan perjuangan itulah kita seperti sedang melayani Tuhan. Kita justru bersentuhan dengan Tuhan pada waktu kita sedih, bertanya, dan lelah mengurus keluarga kita.
Janji perkawinan bersifat kekal. Salah satu perwujudannya bukan hanya dengan bertahan, melainkan dengan berjuang bersama menyelesaikan masalah bersama. Kenalilah pasangan dan anak-anak Anda, maka Anda akan lebih mudah menangani mereka sebagai lahan pelayanan Anda. Dengan mengenali siapa keluarga yang Anda kasihi, Anda akan mempunyai lebih banyak energy untuk bergumul di dalamnya.
Salah satu hal yang ingin saya sampaikan pada keluarga-keluarga kali ini adalah bahwa miskinnya pelayanan dan pengorbanan menjadi sebab gagalnya pernikahan dan pecahnya keluarga. Semua mencari keuntungan diri sendiri. Masing masing menghindari kesulitan dan mencoba melarikan diri, sampai akhirnya semua hidup sendiri-sendiri. Kesendirian ini menimbulkan kekeringan dan munculnya keinginan untuk berpisah.
Sungguh, pengertian dan penerimaan pada anggota keluarga adalah pelayanan dan pengorbanan yang dimaksudkan. Pasangan dan anak-anak serta orangtua kita selalu sedang berkembang bersama kita, maka kita perlu membuat situasi yang saling melayani dan sekaligus mendidik satu sama lain. Rahmat Tuhan mengalir pada mereka yang setuju untuk setia, sehati untuk bersama, setia untuk memperjuangkan cinta.
Seorang anak menitipkan pesan pada saya, “Tolong beritahu orangtua saya, kami mencintai mereka. Sampaikan bahwa sebenarnya kami ingin memberi yang terbaik, tanpa tuntutan, tanpa kemarahan yang panjang, tetapi cinta yang mesra dan tulus.” Sudahkah Anda memenuhi permohonan ini?
Tuhan memberkati keluarga-keluarga di Keuskupan kita bersama
Salam Keluarga Kudus
Rm.Alexander Erwin Santoso MSF