DEVOSI KEPADA BUNDA MARIA
Dipublikasikan tanggal 12 May 2015
DEVOSI KEPADA BUNDA MARIA
Memahami Cara yang Tepat
Seorang katekis ketika mengajar katekumen yang berasal dari gereja-gereja Protestan, pasti mengalami kesulitan untuk mengajarkan tentang devosi kepada Bunda Maria. Tidak bisa disangkal lagi, Bunda Maria adalah sosok yang mengisi tempat yang cukup penting dalam penghayatan iman umat Katolik. Kuatnya devosi kepada Bunda Maria terbukti dari kayanya bentuk-bentuk penghormatan kepada Sang Bunda.
Gereja memiliki tiga hari raya Marianis: 1 Januari Hari Raya Maria Bunda Allah, 15 Agustus Hari Raya Maria Diangkat ke Surga, dan 8 Desember Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda. Belum lagi ada dua pesta, empat peringatan wajib, dan empat peringatan fakultatif dan sejumlah peringatan-peringatan Marianis yang bersifat lokal. Dari perbendaharaan doa kita mengenal: doa Salam Maria, doa Rosario, doa Malaikat Tuhan dan Ratu Surga, Litani Santa Perawan Maria dan masih banyak lagi. Tempat-tempat ziarah yang ada hubungannya dengan Bunda Maria ramai dikunjungi umat, misalnya: Guadalupe, Lourdes, Fatima, dll.
Penampakan Maria di Fatima
Penampakan Maria di Lourdes
Nilai penting Bunda Maria juga semakin nampak dengan ditetapkannya dua bulan dalam setahun sebagai Bulan Maria (Mei) dan Bulan Rosario (Oktober). Justru karena itu, para pemimpin umat seyogyanya wajib memiliki pengetahuan yang tepat dan memadai tentang Maria. Harus diakui bahwa terdapat banyak bahaya dan pertentangan yang terjadi di sekitar devosi kepada Maria.
Yang selalu dipersoalkan oleh saudara-saudara dari gereja-gereja Reformasi adalah kesangsian mereka bahwa devosi memiliki landasan alkitabiah yang kuat. Mereka menduga bahwa devosi lebih dipengaruhi oleh perasaan (emosionalisme). Emosionalisme yang tidak sehat bisa saja berujung pada “pemberhalaan” Maria.
Sesungguhnya devosi kepada Maria berakar pada sejarah yang sangat panjang. Tulisan-tulisan apokrif misalnya Proto Injil Yakobus melukiskan kisah kelahiran Maria dari pasutri yang sudah berusia lanjut, Yoakim dan Anna. St. Yustinus dan kemudian St. Ireneus mengembangkan antitesis Maria dan Hawa. St. Ireneus (180) menegaskan bahwa, “Ikatan ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria. Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.” Konsili Efesus (431) mengakui Maria sebagai Bunda Allah (Theotokos), dogma pertama tentang Maria, yang harus diakui sebagai sokoguru Mariologi.
Munculnya Protestantisme tidak menyusutkan devosi kepada Maria. Pada saat ini muncul dua tokoh Mariologi yang sangat terkenal: St. Louis Marie Grignon de Monfort dan St. Alfonsus Maria de Liguori. Perkembangan Mariologis berlanjut dengan maklumat dogma ketiga “Maria dikandung tanpa noda dosa asal” oleh Paus Pius IX dalam konstitusi apostolik “Ineffabilis Deus” pada tanggal 8 Desember 1854. Seabad kemudian Paus Pius XII memaklumatkan dogma keempat “Maria diangkat ke surga” dalam konstitusi apostolik “Munificentissimus Deus” pada tanggal 1 November 1950.
Sampai menjelang Konsili Vatikan II (1962-1965) terdapat dua pendekatan mengenai pokok-pokok ajaran tentang Maria. Pendekatan pertama dikenal sebagai pendekatan minimalistis dan para pendukungnya disebut kaum minimalis atau kaum eklesiologis. Menurut pendapat mereka pendekatan untuk memperdalam dan mengembangkan Mariologi hanya dapat dilakukan jika mempunyai dasar yang sungguh jelas dalam Kitab Suci. Maria adalah salah seorang anggota Gereja, meskipun teramat istimewa. Pendekatan yang lain disebut maksimalistis dan para pendukungnya disebut kaum maksimalis atau kaum kristologis. Menurut mereka Maria adalah pribadi yang disatupadukan dengan Kristus dalam misteri ilahi, sehingga tidak cukup apabila Maria dipandang sebagai anggota Gereja saja.
Ketegangan antara dua kelompok ini mewarnai Konsili Vatikan II. Meskipun konsili ini adalah konsili ekumenis, hal ini tidak mengurangi sifat marianisnya. Hal ini terbukti dari tanggal pembukaan dan penutupan konsili. Konsili Vatikan II dibuka pada tanggal 11 Oktober 1962 (Pesta Keibuan Maria) dan ditutup pada tanggal 8 Desember 1965 (Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda). Terjadilah perdebatan yang cukup alot dengan dua kali pemungutan suara. Namun akhirnya Konsili menerima teks tentang “Santa Perawan Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja” sebagai Bab VIII dari Konstitusi Lumen Gentium (konsituti dogmatik tentang Gereja). Dengan demikian, Maria secara prinsipial ditempatkan sebagai anggota Gereja.
Pasca Konsili Vatikan II devosi kepada Maria mengalami kemunduran karena umat sangat berhati-hati dalam berdevosi. Pada tanggal 2 Februari 1974 Paus Paulus VI mengeluarkan ensiklik yang berjudul “Marialis Cultus”. Ensiklik ini menyediakan seperangkat tolok ukur sehubungan dengan praktek devosi. Paus memberikan empat tuntunan praktis untuk berdevosi kepada Maria:
- Bercorak biblis: devosi sejati harus bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi. Devosi yang benar dan otentik harus mulai dari iman yang benar dan doktrin resmi Gereja.
- Bercorak liturgis: liturgi memberi jaminan untuk menghindari ekstremisme baik maksimalistis maupun minimalistis. Liturgi juga menempatkan Maria dalam posisi dan peran yang tepat serta menjamin orientasi kepada Kristus. Paus mencela dengan keras kebiasaan mendoakan doa-doa novena atau rosario selama perayaan ekaristi.
- Bercorak ekumenis: Gereja menghimbau agar Maria menjadi pengantara bagi semua rumpun bangsa untuk membawa semua kepada Puteranya. Penghormatan semestinya yang diberikan kepada Maria harus menjadi tempat berpijak bersama untuk berdialog. Hal ini sungguh sangat penting karena dalam sejarah Maria seringkali dianggap sebagai sumber pertentangan di antara orang Kristiani.
- Bercorak antropologis: devosi kepada Maria harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Paus Paulus VI Mengajarkan Cara Berdevosi yang Tepat
Pada dasarnya Gereja mengingatkan umat beriman agar tetap hati-hati dalam berdevosi kepada Maria. Emosionalisme atau gejolak-gejolak yang berlebihan dalam perasaan harus dihindari dalam berdevosi. Demikian pula sikap mudah percaya tanpa sumber dan dasar yang benar. Umat beriman tidak boleh begitu saja mudah percaya pada apa yang dikatakan dan dialami seseorang berkaitan dengan penampakan Maria. Kedua tanda negatif di atas malah akan membuat devosi kepada Maria menjadi “mandul”.
Dengan demikian mempelajari Mariologi bukan hanya suatu tantangan, tetapi merupakan kewajiban bagi umat beriman. Kita perlu menimba dan menghayati kekayaan hidup Santa Perawan Maria. Kita pun harus membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus. Benar Maria adalah anggota Gereja yang unggul karena dia dikaruniai dengan pelbagai keutamaan. Namun Maria tidak perlu diagung-agungkan secara berlebihan karena pada dasarnya ketaatan Maria adalah sebuah penghambaan. Bukankan dia berkata demikian,
“Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Luk 1:38)
Maria adalah teladan dalam hal penghambaan mulai dari fiat-nya (“jadilah padaku …) sampai dengan kayu salib. Sekarang dia juga tetap menjalankan tugasnya menjadi pendoa bagi seluruh umat Gereja, yang adalah Tubuh Mistik Puteranya. Selamat berdevosi!