MENGAPA SAYA TETAP KATOLIK?

Dipublikasikan tanggal 03 June 2015

MENGAPA SAYA TETAP KATOLIK?

Jawaban Seorang Katolik terhadap Kasus Pelecehan Seksual Anak-anak

Banyak umat Katolik, terutama di negara-negara Barat, mulai ragu dengan pilihan iman mereka. Skandal pelecehan seksual di dalam Gereja mendominasi pemberitaan selama satu dasawarsa terakhir ini. Kita pun hanya bisa menarik nafas dan tidak bisa berkomentar apa-apa lagi. Beberapa hari terakhir ini Gereja Katolik Australia kembali diguncang isu skandal pelecehan seksual. Pemberitaan ini berkembang ketika dalam siaran TV “60 Minutes”, Peter Saunders, salah seorang dari 17 anggota Komisi Kepausan untuk Perlindungan Anak Kecil menuduh Kardinal George Pell tidak menangani kasus pelecehan seksual dengan bijaksana. Kasus pelecehan seksual itu sebetulnya sudah terjadi lama dan pastur yang terlibat sudah mendapat hukuman yang setimpal. Namun, kali ini Kardinal diserang dengan tuduhan mencoba menyuap korban.

Paus Fransiskus di antara Peter Saunders dan Kardinal George Pell

Untuk masalah ini kita tidak perlu berkilah panjang lebar. Tidak ada gunanya! Namun, sebagai orang Katolik kita perlu memandang peristiwa ini dari sudut pandang yang lebih adil dan berimbang. Pelecehan seksual (secara khusus terhadap anak-anak) bukan masalah Gereja Katolik semata-mata. Hal ini merupakan masalah manusia atau masyarakat secara umum. Pelecehan seksual terjadi di setiap lembaga agama, setiap organisasi, dan setiap sistem sekolah. Belum pernah ada satu studi yang membuktikan bahwa kasus pelecehan seksual dalam Gereja Katolik adalah terparah di antara institusi-institusi lain. Ketika muncul satu kasus pelecehan seksual anak-anak, pelaku tidak hanya biarawan-biarawati, tetapi bisa juga kepala sekolah, guru, karyawan sekolah, bahkan anggota keluarga. Pemberitaan yang seolah-olah memusatkan kasus-kasus serupa hanya terjadi di dalam Gereja Katolik sungguh sangat menyesatkan dan tidak adil.

Gereja Kristus dibentuk dari manusia-manusia yang tidak sempurna. Sepanjang sejarah, Gereja berulang kali diuji dan diskandalisasi, baik dari dalam maupun luar. Ternyata Gereja masih kokoh berdiri. Tidak ada jaminan bahwa di kemudian hari Gereja akan terbebas dari skandal. Kita, umat beriman yang sedang berziarah di bumi ini, harus melangkah maju, meski tertatih-tatih, di jalan panjang menuju Kerajaan Allah yang definitif. Setiap kita maju satu langkah di jalan ini, semakin dalam pemahaman kita tentang apa maknanya menjadi bagian dari Gereja. Silakan mencari gereja yang sempurna dengan pemimpin-pemimpin yang sempurna. Pasti kita tidak akan pernah menemukannya! Mengapa?  Karena Yesus mendirikan Gereja-Nya di atas iman orang-orang berdosa. Jika ada orang yang berspekulasi bahwa kasus pelecehan seksual dalam Gereja Katolik akan menjadi akhir dari sejarah Gereja, tentu dia sedang bermimpi.

Benarkah Gereja Tidak Berbuat Sesuatu?

Sekali lagi, ini adalah tuduhan yang tidak berdasar. Pada tahun 1980 tercatat kasus pelecehan seksual yang dilaporkan kepada pihak berwajib berjumlah sekitar 800 kasus, sedangkan pastur yang didakwa dengan kasus yang sama berjumlah kira-kira 500. Pada tahun 2000-an jumlah itu menurun drastis sampai 50-an. Setidak-tidaknya Gereja sudah berbuat sesuatu meskipun belum merasa puas dengan hasil yang dicapai selama ini. Gereja bekerja keras untuk berbenah diri. Untuk itu Gereja telah menerapkan dan melaksanakan banyak sekali program, pemantauan, pengamanan dan kebijakan-kebijakan untuk memperbaiki situasi. Sebut saja misalnya pengujian latar belakang personalia yang berhubungan dengan anak-anak, entah itu biarawan-biarawati, relawan, dan karyawan. Penelitian yang sama dilakukan untuk para calon tahbisan. Sejak tahun 2002 Gereja tidak memberi toleransi sedikit pun untuk para pelanggar hukum. Apabila seorang imam secara hukum terbukti melakukan pelecehan seksual, dia akan ditindak tegas. Jadi tuduhan bahwa Gereja tidak berbuat sesuatu tidak perlu ditanggapi. Dalam hal upaya perbaikan, tidak ada institusi apa pun di dunia ini yang telah berbuat sebanyak Gereja Katolik dalam hal pencegahan pelecehan seksual. Namun, Gereja menyadari bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Sering pula pimpinan Gereja, baik Paus atau Uskup dituduh menutup-nutupi kasus pelecehan seksual. Jangan terlalu cepat menghakimi! Gereja bukan negara dan Paus bukan raja atau presiden. Gereja bukan perusahaan dan Paus bukan direktur utamanya. Cara Gereja menyelesaikan masalah berbeda dengan cara negara atau perusahaan menyelesaikan masalah. Laporan pemberitaan di media massa kerap tidak mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Camkan bahwa Gereja tidak pernah berpangku tangan!

Belajar dari Pengalaman Buruk

Jelas bahwa biarawan-biarawati yang melakukan pelecehan seksual mengkhianati Gereja. Akan tetapi media massa juga tidak bisa mencuci tangan. Kebanyakan media massa lebih tertarik untuk mengambil untung dari pemberitaan kasus-kasus pelecehan seksual, daripada kesejahteraan anak-anak yang menjadi korban. Memang tidak semua begitu.

Satu pengalaman perlu dipetik dari kasus-kasus ini adalah bahwa Gereja perlu terus-menerus berjaga-jaga. Sebagai umat Katolik, kita harus rela memikul kuk dan bergerak maju. Sambil tertatih-tatih kesakitan, kita harus menyadari bahwa inilah proses pengudusan dalam hidup menggereja.

Siapa yang menjadi korban? Kelompok pertama, tentu saja anak-anak korban pelecehan. Mereka menderita trauma yang mungkin berlangsung seumur hidup. Kelompok kedua, biarawan-biarawati dan pemimpin Gereja yang melayani dengan baik: yang berpihak kepada orang-orang miskin, atau mereka yang menyelamatkan banyak nyawa manusia. Bukankah mereka juga ikut terstigmatisasi dengan kasus ini? Kelompok ketiga, adalah umat Katolik yang saleh, yang tidak meninggalkan imannya di tengah badai yang menerpa Gereja. Tidak ada yang berterima kasih kepada mereka atas kesetiaan dan kesabaran mereka.

Mengapa Saya Masih Katolik?

Di sini saya mengutip kata-kata G. K. Chesterton. Beliau adalah seorang penulis, teolog, pujangga, dan pembela iman Katolik. Dia menulis:

“The difficulty of explaining ‘why I am a Catholic’ is that there are ten thousand reasons all amounting to one reason: that Catholicism is true.”

(kesulitan dalam menjelaskan “Mengapa Saya Katolik” adalah karena ada berlaksa alasan yang bermuara pada satu alasan: bahwa agama Katolik adalah benar)

Begitu sulit menerima pernyataan di atas dan bagi kebanyakan orang yang mengkritisi Gereja Katolik pernyataan itu pasti tidak cukup. Kita harus mengakui bahwa banyak orang yang marah dan terluka, terutama para korban pelecehan seksual. Namun bertahanlah pada iman. Bagikan pengharapan kita dengan mereka dan terutama cintailah mereka. Kita juga harus tak putus berdoa untuk para biarawan-biarawati. Mereka bukan manusia sempurna, mereka mengalami pencobaan seperti kita. Sebuah nasihat dari St. Paulus layak untuk kita renungkan dan doakan bersama,

Karena itu kami senantiasa berdoa juga untuk kamu, supaya Allah kita menganggap kamu layak bagi panggilan-Nya dan dengan kekuatan-Nya menyempurnakan kehendakmu untuk berbuat baik dan menyempurnakan segala pekerjaan imanmu.

(2 Tes 1:11)

Cintailah Mereka dan Beri Pengharapan kepada Mereka

Mereka Bukan Manusia Sempurna, Doakan Mereka!

(dari berbagai sumber)