NAGASAKI

Dipublikasikan tanggal 10 August 2015

NAGASAKI

Dua Pertiga Umat Katolik Tewas dalam Peristiwa Pemboman

Tanggal 9 Agustus 2015 adalah peringatan 70 tahun serangan bom atom oleh Amerika Serikat di Nagasaki. Ketika “Fat Man”, nama sandi dari bom atom untuk kota di negeri Sakura itu, dijatuhkan, komunitas umat Katolik di kota itu harus kehilangan dua pertiga dari jumlah umatnya. Setelah Hiroshima dihancurkan pada tanggal 6 Agustus 1945, militer Amerika Serikat di bawah pimpinan Harry Truman, mengarahkan serangan ke kota Kokura untuk memaksa agar pasukan Jepang menyerah. Namun, cuaca buruk mengubah pilihan mereka ke Nagasaki.

Pada waktu itu  jumlah penduduk Nagasaki adalah sekitar 240 ribu jiwa. Penerbang Amerika Serikat melakukan kesalahan dalam perhitungan, sehingga bom tidak jatuh di pusat kota. Meskipun demikian, bom itu meluluhlantakkan kota dan langsung menewaskan sekitar 75 ribu orang. Pada hari-hari berikut jumlah korban yang meninggal meningkat akibat luka parah dan penyakit yang disebabkan oleh radiasi.

Sejarah Komunitas Katolik

Sejak abad XVI Nagasaki adalah pusat agama Katolik di Jepang, yang didukung oleh misionaris Jesuit dan Fransiskan, seperti tercatat dalam buku memoir Kardinal Giacomo Biffi, yang meninggal tahun ini. Beliau menulis, "Saya telah mendengar tentang Nagasaki. Saya menemukan hal itu berulang kali dalam 'Manual Sejarah Misi Katolik' karangan  Giuseppe Schmidlin, yang terdiri dari tiga jilid dan diterbitkan di Milan pada tahun 1929. Sejak abad XVI Nagasaki tampil sebagai komunitas Katolik pertama yang bertahan di Jepang."

Dalam buku sejarah itu diceritakan bahwa pada tanggal 5 Februari 1597, di Nagasaki, tiga puluh enam martir (enam misionaris Fransiskan, tiga Jesuit Jepang, dan dua puluh enam awam), telah memberikan hidup mereka bagi Kristus. Mereka sudah dikanonisasi oleh Paus Pius IX pada tahun 1862. Ketika penganiayaan berlanjut pada tahun 1637, tiga puluh lima ribu orang Kristen tewas terbunuh. Kemudian mereka yang bertahan, kebanyakan kaum muda, hidup di katakombe, terpisah umat Katolik yang lain tanpa seorang gembala. Namun komunitas itu tidak pernah mati.

Pada tahun 1865 Pastor Petitjean menemukan “gereja di bawah tanah” ini. Mulai saat itu, kehidupan sakramental bisa dilanjutkan secara teratur. Hampir dua puluh tahun kemudian, pada tahun 1889 pemerintah Jepang memberikan kebebasan beragama penuh dan Gereja Katolik berkembang lagi. Pada tanggal 15 Juni 1891 lahirlah Keuskupan Nagasaki. Pada tahun 1927 Mgr. Hayasaka menjadi uskup Jepang pertama dan ditahbiskan secara pribadi oleh Paus Pius IX serta memimpin Keuskupan Nagasaki. Schmidlin mencatat bahwa pada tahun 1929 terdapat 94.096 umat Katolik Jepang, dan 63.698 orang dari antaranya berasal dari Nagasaki.

Hal ini berarti bahwa 16 tahun sebelum bencana atom, di Nagasaki terdapat sedikitnya lebih dari 63.000 umat Katolik. Tidak mengherankan apabila setelah memberi ulasan singkat tentang komunitas Katolik di Nagasaki, Kardinal Biffi menulis, "Kita boleh saja beranggapan bahwa bom atom tidak dijatuhkan secara acak. Pertanyaan yang timbul adalah: Kota mana yang akan 'dipilih' menjadi tempat pemboman kedua setelah Hiroshima dari semua kota di Jepang? Kota mana lagi di Jepang yang  memiliki sejarah kekatolikan yang paling mulia, luas dan pasti?”

(dari berbagai sumber)

Nagasaki setelah Dibom (foto: Science in the Early Twentieth Century, An Encyclopedia)