DIRGAHAYU RI KE-70
Dipublikasikan tanggal 17 August 2015
DIRGAHAYU RI KE-70
Sudahkah Kita Sungguh-sungguh Merdeka?
Hari ini bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-70. Setelah dijajah oleh bangsa Belanda selama tiga setengah abad dan oleh bangsa Jepang selama tiga setengah tahun, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia berhasil memiliki pemerintahan mandiri yang terlepas dari kendali bangsa lain. Sungguh suatu kebanggaan untuk semua rakyat Indonesia dan kita wajib mensyukurinya sebagai karunia Allah yang paling besar untuk bangsa tercinta ini. Mulai saat itu bangsa Indonesia memiliki keleluasaan untuk mengatur diri sendiri dan dalam pergaulan internasional bangsa Indonesia berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain.
Kita mungkin saja sudah merdeka sebagai warga negara satu bangsa di dunia. Namun, sebagai warga negara surga (bdk. Flp 3:20-21) apakah kita sudah sungguh-sungguh merdeka? Yoh 8:30-36 berbicara mengenai kemerdekaan Kristiani. Yesus menjelaskan bahwa setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa. Namun, apabila manusia menaati sabda Allah, manusia akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan manusia. Allah Bapa memerdekakan manusia lewat wafat dan kebangkitan Putera.
Sudah 70 tahun Indonesia merdeka dari penjajah, namun banyak pihak menilai, bangsa ini belumlah merdeka dalam arti sebenar-benarnya. Masih banyak warga Indonesia yang terjerat berbagai belenggu seperti kemiskinan, budaya, dan moral yang menjadikan bangsa ini tidak bisa dikatakan merdeka atau dengan kata lain bangsa ini masih terjajah. Marilah sekarang kita renungkan: sebagai warga negara surga, apakah kita, yang sudah mengecap kemerdekaan dengan wafat dan kebangkitan Kristus, sudah dapat dikatakan benar-benar merdeka? Untuk itu hari ini pada kesempatan merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-70, kita juga merenungkan makna kemerdekaan Kristiani, seperti yang diajarkan oleh St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Galatia,
Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. … Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih. Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!" Tetapi jikalau kamu saling menggigit dan saling menelan, awaslah, supaya jangan kamu saling membinasakan. Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging. Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging--karena keduanya bertentangan--sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki. Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat. (Gal 5:1, 13-18)
Paulus dengan tegas menyatakan bahwa landasan kemerdekaan Kristiani adalah wafat dan kebangkitan Kristus. Dia sangat berharap bahwa kemerdekaan umatnya tidak hilang lagi. Supaya kemerdekaan ini tidak hilang, manusia wajib mengisi kemerdekaan. Kalau Kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia, kemerdekaan Kristiani harus diisi dengan mengasihi sesama. Titik pangkal kemerdekaan Kristiani adalah semangat kasih untuk melayani sesama manusia.
Mengasihi adalah falsafah hidup orang Kristen. Kesediaan untuk mengorbankan diri sendiri untuk orang lain telah dilakukan oleh Kristus sendiri. Pelayanan kasih kepada orang lain harus dilaksanakan dengan segenap buah Roh: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Gal 5:22-23). Jadi jelaslah bahwa kemerdekaan Kristiani bukanlah kebebasan tanpa kendali. Maka tak heran, kalau seorang pakar hukum mengatakan, “Tidak usah berbicara, tentang kemerdekaan, kalau hukum dan keadilan diabaikan.”
Dengan demikian kemerdekaan sejati menurut ajaran Yesus semangat cinta kasih. Hidup dalam kemerdekaan adalah hidup dalam kasih dan pelayanan yang tulus tanpa pamrih terutama untuk orang-orang kecil, miskin, dan tertindas. Dalam ensiklik Redemptoris Missio, Santo Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “kasih, …. adalah satu-satunya tolok ukur untuk menilai apa yang harus dikerjakan atau tidak dikerjakan, diubah atau tidak diubah.” Kasih merupakan prinsip yang harus mengarahkan setiap tindakan, dan tujuan ke mana setiap tindakan harus diarahkan. Dirgahayu RI!