AKU BERKATA SEPERTI ORANG GILA
Dipublikasikan tanggal 31 August 2015
AKU BERKATA SEPERTI ORANG GILA
Menjawab Tantangan dalam Pelayanan
Apakah mereka pelayan Kristus? --aku berkata seperti orang gila--aku lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi; bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Aku banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali aku tidak tidur; aku lapar dan dahaga; kerap kali aku berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian, dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita? Jika aku harus bermegah, maka aku akan bermegah atas kelemahanku. (2 Kor 11:23-30) Sebagai pengikut Kristus, Paulus mengalami pelbagai tantangan dan kesulitan dalam pelayanannya. Penderitaan memang merupakan bagian dari pelayanan Paulus, karena Tuhan sendiri telah menentukannya, “Aku sendiri akan menunjukkan kepadanya, betapa banyak penderitaan yang harus ia tanggung oleh karena nama-Ku.” (Kis 9:16). Maka, hanya satu istilah yang tepat bagi Paulus mengenai pelayanannya, seperti “orang gila”. Menjadi pelayan sejati adalah seperti menjadi orang gila. Pelayan Tuhan melakukan hal-hal yang dianggap kegilaan oleh orang-orang lain. Dalam perikop di atas Paulus menyebut banyak hal tentang penderitaannya. Sebut saja misalnya dipenjarakan demi nama Kristus. Kisah Para Rasul menceritakan dua kali Paulus dipenjara, pertama di kota Filipi (Kis 16) dan kemudian di Roma (Kis 28). Kemudian Paulus bercerita tentang bagaimana dia didera. Didera berarti dicambuk dengan cambuk khusus terbuat dari kulit binatang yang ujungnya dilengkapi dengan bola besi dan kait yang tajam. Seseorang yang didera dilucuti seluruh pakaiannya lalu dia harus memeluk sebuah tiang, dan membiarkan punggungnya didera tiga puluh sembilan kali. Bukan cuma sekali Paulus didera, melainkan lima kali. Paulus juga menceritakan bagaimana dia terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalanan menuju Roma kapal yang ditumpangi oleh Paulus kandas dan dia terdampar di Pulau Malta. Di Pulau Malta dia dipagut oleh seekor ular beludak berbisa (Kis 28:1-10). Akan tetapi, pengalaman yang mungkin paling menyakitkan dalam perjalanan hidup pelayanan Paulus adalah bagaimana dia dikhianati oleh saudara-saudaranya sendiri, yang dia sebut di sini sebagai “saudara-saudara palsu.” Mereka kerap menghasut jemaat supaya meragukan kerasulan Paulus dan ajarannya. Kadang hasutan itu berhasil sehingga Paulus harus membela diri mati-matian seperti misalnya dengan menulis surat dengan hati yang sangat cemas dan dengan mencucurkan banyak air mata (2 Kor 2:4). Secara pribadi Paulus juga kurang merawat diri: lupa makan dan minum, kurang tidur, dan kedinginan. Paulus juga kadang merasa kesepian, dan bahkan pernah sekali dia mengeluh bahwa dia juga pantas ditemani seorang isteri seperti Petrus (1 Kor 9:5). Di samping itu, Paulus tetap bekerja demi nafkah sehari-hari sebagai tukang tenda. Maka, dia mengkritisi orang-orang Tesalonika yang malas bekerja, padahal dia sendiri tetap berjerih payah siang dan malam supaya tidak menjadi beban bagi jemaat (2 Tes 3:7-8) Sekali lagi, sebagai seorang pengikut Kristus, Paulus bertindak seperti orang gila. Apa yang menjadi resepnya selain menjawab panggilan Tuhan yang telah menyelamatkannya? Pertama, adalah cintanya kepada umat. Jemaat Paulus sangat membutuhkan pelayanannya. Paulus merasa berkewajiban untuk memelihara mereka. Paulus merasa sehati dan sejiwa dengan mereka, sehingga ketika salah seorang dari mereka merasa lemah, dia juga turut merasa lemah. Ketika yang lain tersandung, Paulus berdukacita. Kedua, Paulus bermegah atas segala penderitaannya. Dalam 2 Kor 4:7-11 Paulus menyebut dirinya sebagai bejana tanah liat yang rapuh. Dalam kerapuhannya dia kerap ditindas, kehabisan akal, dianiaya dan dihempaskan. Tetapi, Paulus tidak pernah merasa terjepit atau putus asa, karena dia yakin tidak pernah ditinggalkan sendirian oleh Tuhan. Mengapa demikian? Karena justru dalam bejana tanah liat yang rapuh itulah, sebuah harta rohani, yaitu kehidupan Kristus, menjadi nyata dalam tubuhnya yang fana. Tidak pernah ada yang menjanjikan bahwa pelayanan itu selalu menyenangkan. Pengalaman difitnah, dikambinghitamkan, dikhianati, tidak dihargai dan masih banyak lagi tentu merupakan dinamika yang tidak pernah akan lepas dari kehidupan pelayanan seorang pengikut Kristus. Apakah lalu harus mundur? Tidak! Banyak orang masih membutuhkan pelayanan para pengikut Kristus. Acapkali kemampuan manusia melewati tantangan dalam pelayanan menjadikannya semakin terampil dan terasah dan sudah pasti semakin banyak orang akan menjadi percaya. Maka, nasihat Paulus ini selalu harus diingat, “Sebab semuanya itu terjadi oleh karena kamu, supaya kasih karunia, yang semakin besar berhubung dengan semakin banyaknya orang yang menjadi percaya, menyebabkan semakin melimpahnya ucapan syukur bagi kemuliaan Allah.” (2 Kor 4:15)
|
|