HARI RABU ABU
Dipublikasikan tanggal 10 February 2016
HARI RABU ABU
Menggali Sejarah dan Maknanya
Hari Rabu Abu adalah hari pertama dari Masa Prapaskah, di mana umat beriman menerima abu di dahi mereka. Praktek ini berakar dalam tradisi Yahudi kuno, yang masih tercatat dalam Perjanjian Lama:
1. Abu melukiskan betapa kecilnya manusia di hadapan Allah.
- dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu. (Kej 3:19)
2. Menaruh abu di kepala juga merupakan tanda perkabungan.
- Setelah Mordekhai mengetahui segala yang terjadi itu, ia mengoyakkan pakaiannya, lalu memakai kain kabung dan abu, kemudian keluar berjalan di tengah-tengah kota, sambil melolong-lolong dengan nyaring dan pedih (Est 4:1)
- Semua laki-laki, perempuan dan anak Israel yang diam di Yerusalem, meniarap di depan Bait Allah, menaburi kepalanya dengan abu dan membentangkan kain kabungnya di hadapan Tuhan. (Yud 4:11)
3. Abu juga dicatat sebagai tanda pertobatan:
- Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu (Ayb 42:6)
- Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu (Yun 3:6)
- Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu. (Dan 9:3)
Perayaan Rabu Abu mulai dikenal ketika kekaisaran Romawi menetapkan agama Kristen sebagai agama resmi kekaisaran. Prapaskah menjadi momen penting untuk pertobatan kelompok-kelompok peniten (orang-orang berdosa). Pada abad IV hari Kamis Putih merupakan hari pertobatan yang ditandai dengan pemberian abu kepada kelompok-kelompok peniten di hadapan umum dan puasa. Mulai abad VII, jumlah kelompok peniten mulai berkurang dan praktek pemberian abu di depan umum mulai surut. Pertobatan menjadi kegiatan yang lebih bersifat pribadi.
Sejak abad VIII pedoman Misale Romawi mulai memasukkan hari raya Abu, yang dirayakan pada awal masa Prapaskah tanpa tanggal dan hari yang tetap. Baru pada abad X pemberian abu ditetapkan pada hari Rabu pertama masa Prapaskah. Pada saat itu kalender liturgi Masa Prapaskah sudah meliputi empat puluh hari dengan mengecualikan hari Minggu.
Ada dua rumusan yang umum ketika menerimakan abu di dahi umat beriman:
- “Sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (bdk Kej 3:19)
- “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (bdk Mrk 1:15)
Setiap negara bebas memilih rumusan penerimaan abu sampai Konsili Vatikan II. Konsili ini menyarankan agar dipakai rumusan Perjanjian Baru (Injil Markus), yang dipandang lebih kristiani. Dengan rumusan ini umat beriman diingatkan untuk bertobat dari dosa-dosa mereka dengan tulus dan rendah hati, supaya menjadi umat Kristen yang baik. Sementara itu, rumusan pertama dari Perjanjian Lama lebih menekankan kerapuhan dan keterbatasan manusia.
(dari berbagai sumber)