MISA IMLEK

Dipublikasikan tanggal 17 February 2016

MISA IMLEK

Inkulturasi atau Kebablasan?

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, perayaan Imlek dan penggunaan karakter China dilarang di tempat umum dengan Inpres Nomor 14 tahun 1967. Peraturan ini baru dicabut dalam era reformasi ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres Nomor 19 tahun 2001. Setelah masa penantian kurang lebih 31 tahun, akhirnya warganegara Indonesia keturunan Tionghoa dapat kembali merayakan Imlek dengan meriah. Bahkan sejak tahun 2003 Presiden Megawati menetapkan  bahwa Imlek adalah hari libur nasional.

Perayaan Imlek di gereja-gereja Katolik dalam bentuk Misa Imlek sebenarnya juga masih diperdebatkan banyak orang.  Uskup Surabaya, Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono melarang perayaan Imlek di gereja dan membebaskan gereja dari pernak-pernik Imlek (Jawa Pos, Minggu 14 Februari 2010). Beliau mendukung perayaan Imlek di luar gereja, tetapi dengan tegas melarang mencampuradukkan pesta itu dengan liturgi Gereja Katolik. Namun, di lain pihak banyak orang merasa bahwa sebagai sebuah perayaan syukur, Imlek sah-sah saja dilaksanakan di dalam gereja.

Persoalan tentang ritus-ritus China dalam gereja Katolik bukan persoalan baru. Mungkin kita terpesona dengan Gereja St. Maria de Fatima yang lebih dikenal dengan nama Paroki Toasebio di Jalan Kemenangan III kawasan Pecinan Glodok. Dari tampak luar gereja ini lebih mirip sebuah kelenteng. Bangunan ini menjadi cagar budaya. Beberapa tahun yang lalu panitia renovasi gereja sibuk memperbaiki konstruksi kayu yang mulai lapuk dimakan usia. Altar dan goa Maria bernuansa oriental. Di samping gereja ada sebuah sekolah Katolik yang terkenal: Sekolah Ricci. Siapakah Ricci?

Gereja Maria de Fatima 

Matteo Ricci (1552-1610) adalah misionaris Jesuit yang pertama kali menyebarkan agama Katolik di Tiongkok. Ricci melakukan pendekatan yang unik dalam pewartaan Injil di sana. Beliau mempelajari bahasa Chinese dan ajaran Confucianisme. Allah disebut dengan nama “tian zhu” (Yang Empunya Langit) supaya akrab di telinga orang-orang Tiongkok yang sudah berabad-abad menyebut Allah mereka sebagai “tian” atau “shangdi”. Kepandaiaannya dalam ilmu pasti membuat Kaisar Wanli mengundangnya sebagai orang Eropa pertama yang diizinkan masuk ke “Istana Terlarang”. Beliau juga mengajarkan bahwa praktek sembahyang leluhur adalah wujud dari penghormatan orang tua dan bukan merupakan penyembahan berhala, sehingga tidak bertentangan dengan iman dan ajaran Gereja Katolik.

Gelombang misionaris berikutnya dari ordo Dominikan dan Fransiskan menganggap Ricci terlalu “lunak” dan “longgar”. Mereka melaporkan hal ini kepada Paus dan akhirnya Paus Clement XI terpengaruh dan menyatakan bahwa tindakan Ricci adalah sesat dan tidak dapat diterima oleh Gereja Katolik. Maka, Paus Clement XI membuat beberapa keputusan yang sangat menyinggung perasaan Kaisar Kangxi. Akibatnya, agama Katolik dilarang di Tiongkok.

Matteo Ricci - Misionari Jesuit di Tiongkok

Gereja Katolik mulai melunak pada tahun 1936 dan akhirnya setelah kurun waktu kurang lebih 400 tahun akhirnya model pendekatan Ricci dalam pewartaan Injil diterima oleh Gereja. Konperensi Propaganda Fidei mengakhiri pendirian negatif selama berabad-abad terhadap ritus-ritus China. Di Indonesia pada tahun 1939 Konperensi Waligereja Indonesia mengadakan rapat untuk memutuskan tentang praktek-praktek ritus China yang dapat diizinkan di Indonesia. Karena tidak setiap pemimpin gereja lokal satu suara dalam hal ini, maka dalam perdebatan sengit di Girisonta akhirnya diputuskan bahwa praktek ritus China yang dapat ditoleransi dalam Gereja Katolik diserahkan kepada pemimpin (Uskup) masing-masing. Maka, tidak heran ketika hari Rabu Abu tahun 2015 jatuh bertepatan dengan malam Imlek, dispensasi puasa dan pantang tidak sama di setiap keuskupan. Sampai sejauh mana ritus-ritus China bisa disikapi dengan tenggang rasa tentu saja disesuaikan dengan kondisi, komposisi, dan kebutuhan umat.

Dengan demikian, sesungguhnya perjuangan ritus China sudah berakhir. Semangat keterbukaan yang mewarnai Konsili Vatikan II semakin mengukuhkan semangat membuka diri terhadap integrasi dan akhirnya inkulturasi adat dan budaya dalam perayaan-perayaan keagamaan. Namun, tentu saja inkulturasi tidak berarti “bablas”. Merayakan Imlek di gereja bukan berarti “menyulap” gereja menjadi kelenteng, apalagi kalau para imamnya diberi topi China dan tarian persembahan diganti dengan barongsay. Itulah salah satu alasan Uskup Surabaya melarang pencampuradukan Imlek dengan liturgi Gereja.

Pada dasarnya Imlek adalah pesta syukur dimulainya musim semi. Setelah melewati beberapa bulan musim dingin, orang-orang Tiongkok mulai merasakan hangatnya sinar matahari. Cuaca cerah mulai menggantikan kesuraman musim dingin, suatu pertanda akan adanya harapan baru. Demikian pula kata ekaristi berasal dari kata Yunani “eucharistia” yang berarti “syukur”.

Dalam liturgi misa Imlek yang disetujui oleh Konperensi Waligereja Taiwan, bacaan pertama diambil dari Kel 12 yang berbicara tentang perjamuan Paskah Yahudi. Meskipun memiliki teologi yang berbeda, Imlek dan Misa setidak-tidaknya memiliki beberapa kemiripan: dilaksanakan dalam bulan pertama (ay 2), perjamuan makan (ay 8), warna merah (ay 13), dan “lewat” (ay 23).

Misa Imlek di Katedral Kupang

Imlek merupakan kesempatan bagi seluruh anggota keluarga untuk berkumpul dan makan bersama. Makan bersama memiliki semangat “berbagi” karena makan menu yang sama dari meja yang sama. Dalam Kitab Suci malah kita melihat beberapa kisah pertobatan berasal dari meja makan (pertobatan Matius dan Zakheus). Sungguh disayangkan bahwa kesempatan “makan bersama” seluruh anggota keluarga menjadi semakin langka di tengah denyut kesibukan kehidupan warga Jakarta.

Warna merah darah anak domba yang dibubuhkan pada kedua tiang dan ambang atas pintu rumah bangsa Yahudi menyatakan bahwa Allah berkenan menyelamatkan umat-Nya.  Demikian pula halnya warna merah yang dominan pada perayaan Imlek, terutama pada kertas angpao. Orang yang sudah menikah memberi angpao kepada mereka yang belum menikah sebagai bekal di tahun yang baru. Sebagai orang Katolik umat diingatkan bahwa berkat bagi anak tentu saja bukan hanya yang bersifat materi, namun terlebih lagi yang bersifat rohani. Orang tua selalu harus diingatkan bahwa mereka bertanggung jawab atas pendidikan dan perkembangan iman anak-anak mereka.

Kata Paskah berasal dari kata Ibrani “pesach” yang berarti “lewat”. Perayaan Imlek sering disebut dengan istilah “guo nian” atau dalam dialek Hakka disebut “ko nyan”, yang artinya “melewati tahun”. Setiap perayaan Imlek selalu ditandai dengan ucapan syukur karena sudah dapat melewati satu tahun penuh suka dan duka serta siap melewati tahun yang baru dengan penuh pengharapan. Bangsa Israel ketika merayakan perjamuan Paskah selalu ingat akan pengharapan iman mereka bahwa TUHAN berkenan memberikan kepada mereka sebuah tanah yang berlimpah susu dan madu.

Terakhir ada satu kata yang sangat sering dipakai dalam perayaan Imlek yaitu kata “fu” () yang berarti “rezeki”. Kalau dilihat dari akar katanya “礻” berarti “kultus” atau berhubungan dengan sesuatu yang ilahi. Sedangkan “一口“ bisa diterjemahkan sebagai “sebuah mulut atau seorang manusia” dan “”berarti ladang atau kebun. Maka apa rezeki manusia yang paling berharga? Ketika manusia bisa berada bersama-sama dengan Allah di taman Firdaus. Puji Tuhan! Ternyata inkulturasi itu indah asal tidak kebablasan. Gong xi fa cai!

 

P. Yakub Janami Barus OFMConv Membagi Angpao dan Jeruk