FENOMENA PENGAKUAN DOSA SERENTAK

Dipublikasikan tanggal 10 March 2016

FENOMENA PENGAKUAN DOSA SERENTAK

Umat Merindukan Kerahiman Allah? 

Sebersit keraguan menyelimuti Tim Penggerak Tahun Kerahiman Allah. Dalam Bulla “Misericordiae Vultus” Paus Fransiskus menegaskan bahwa acara “Momen 24 Jam bagi Tuhan” wajib dilaksanakan di setiap keuskupan di seluruh dunia. Hari Jumat dan Sabtu tanggal 4 dan 5 Maret 2016 telah ditetapkan sebagai saatnya. Sebagai katekis yang sering mendampingi murid-murid dalam pengakuan dosa, saya sendiri pun ragu. Akan adakah yang datang untuk mengaku dosa pada hari-hari itu?

Keraguan tersebut membuat semua pihak memikirkan cara untuk mempromosikan acara tersebut. Mulai dari himbauan di setiap grup medsos di seluruh paroki, promosi setiap acara pendalaman iman Prapaskah di lingkungan-lingkungan, sampai renungan yang dikumandangkan di setiap media komunikasi umat, tidak ada yang terlewat, semua dicoba.

Hari H pun tiba. Luar biasa! Hari Jumat pengakuan dosa dimulai dari sehabis misa pagi sampai jam 11.30. Sore hari dilanjutkan mulai  jam 16.00 sampai jam 22.00. Sabtu masih membludak, sampai empat orang pastor harus diturunkan. Santo Petrus! Ada apa yang terjadi?

“Kami harus mengaku dosa hari ini, karena hanya pengakuan dosa dua hari ini yang menjamin indulgensi penuh,” kata seorang umat. “Saya umat Paroki Mangga Besar, di paroki saya tidak ada pelayanan tobat, saya bergegas ke Katedral, sama juga tidak terlayani, maka saya datang ke paroki Sunter,” tegas sang Ibu sambil sabar menantikan antrean yang sudah dia nantikan lebih daripada satu jam.

Di lain pihak, antusiasme umat juga diwarnai kekacauan. Sistem menggunakan nomor antrean yang dimaksudkan agar antrean tertib dan lancar malah menimbulkan masalah. Seorang bapak kukuh mempertahankan lima nomor antrean untuk keluarganya, yang masih dalam perjalanan. Belum lagi, kebiasaan orang Indonesia, nyelak antrean. Ditimpali oleh gusar kekesalan yang lain, “Mau ngaku dosa malah nambah dosa nih.” Berbagai keanehan terjadi. Ternyata, antrean panjang pengakuan dosa terjadi di semua gereja.

Saya mencoba memahami dan mempelajari fenomena yang terjadi. Seorang teman saya yang beragama lain berkomentar pedas, “Kalian sih seperti orang Farisi. Jangan jatuh lagi ya ke zaman penjualan surat pengampunan dosa di zaman Martin Luther!” Ya Tuhan, ada apa lagi?

Jawaban baru saya peroleh ketika mempersiapkan diri memandu pendalaman iman Prapaska yang kedua. Bacaan diambil dari Yoh 3:14-21 sebagai berikut:

Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup  yang kekal.  Karena begitu besar kasih  Allah akan dunia ini , sehingga Ia telah mengaruniakan  Anak-Nya  yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya  kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.  Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia  bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum;  barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak  Tunggal Allah.  Dan inilah hukuman itu: Terang  telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang , sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.

Dalam teks ini Penginjil mengacu pada sebuah peristiwa yang dicatat dalam PL (Bil 21:4-9. Dikisahkan di padang gurun bangsa Israel kembali melawan Allah dan Musa. Mereka menggerutukan nasib mereka di padang gurun, terutama manna yang dikecam sebagai “makanan hambar”. Maka, Tuhan menghukum mereka dengan mendatangkan ular-ular. Baru mereka menyesal dan minta ampun kepada Allah lewat perantaraan Musa. Allah pun menyuruh Musa untuk membuat ular dari tembaga dan menggantungkannya pada sebuah tiang, sehingga seitap orang yang melihatnya akan tetap hidup, meskipun dipagut ular.

Dalam konteks yang sama Penginjil mengarahkan pandangan pembacanya ke arah salib Kristus. Kristus yang wafat di salib adalah wajah kerahiman Allah. Syarat yang dibutuhkan manusia hanyalah “percaya” kepada Yesus, maka mereka akan memperoleh hidup yang kekal. Di tempat lain Yohanes mencatat bahwa hidup yang kekal adalah mengenal Bapa sebagai satu-satunya Allah yang benar dan mengenal Yesus Kristus yang sudah diutus-Nya. (Yoh 17:3). Bagaimana cara manusia mewujudnyatakan kepercayaannya itu?

Dalam wejangan tentang Roti Hidup (Yoh 6:25-59) Yesus sendiri yang memberikan pengajaran:

  1. Bahwa kehendak Bapa adalah supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya, beroleh hidup yang kekal, dan supaya dibangkitkan-Nya pada akhir zaman. (Yoh 6:40)
  2. Bahwa barangsiapa makan daging-Nya dan minum darah-Nya, ia mempunyai hidup yang kekal dan akan dibangkitkan-Nya pada akhir zaman (Yoh 6:54)

Wejangan Yesus bersifat ekaristis. Pada saat merayakan Ekaristi, ketika imam mengangkat roti dan piala anggur, saatnyalah bagi manusia untuk “melihat” dan “percaya”. Rasa percaya itu dilanjutkan kembali dengan santapan surgawi berupa penerimaan Tubuh Kristus (komuni).

Penginjil melanjutkan dengan penegasan bahwa Yesus datang bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya. Sekali lagi dituntut sikap “percaya”. Barangsiapa yang percaya, tidak akan dihukum. Sebaliknya, mereka yang tidak percaya akan dihukum. Akan tetapi, bagaimana bentuk hukuman itu?

Hukumannya bukan berupa siksa dan sangsi, melainkan menyatakan dosa-dosa manusia di hadapan Terang Kristus. Orang-orang ingin menutupi dosa-dosa mereka, tidak mau datang kepada Sang Terang, sebaliknya orang-orang yang datang kepada Sang Terang akan mencicipi kerahiman Allah.

Kembali ke fenomena pengakuan dosa serentak. Berdosakah manusia bila menitip nomor antrean? Sucikah mereka yang nyelak antrean? Mereka yang menggerutu dan mengoceh karena antrean panjang dan budaya nyelak, akankah mereka menerima kerahiman Allah? Semua menjadi jelas.

Ketika manusia mengaku dosa, dia datang kepada Sang Terang. Meskipun tidak semua dosa berani diakukan, dia sudah datang kepada Kristus. Anak yang hilang tidak pernah menyelesaikan pengakuan dosanya, namun ayahnya sudah mengampuninya. Kerahiman Allah tidak bisa diselami oleh pikiran manusia, karena itu merupakan sifat Allah yang Mahakuasa. Namun, kerahiman Allah dapat dirasakan dengan hati yang bertobat. Selamat melanjutkan Masa Prapaskah dengan pertobatan yang sejati dan nikmati kemewahan citra rasa kerahiman Allah.

Umat Setia Menunggu Giliran Mengaku Dosa

 Gereja Penuh Sesak pada Jumat Pertama 4 Maret 2016

P. Yakub Janami Barus, OFMConv Memimpin Adorasi Ekaristi