APANTA KOINA

Dipublikasikan tanggal 01 April 2016

APANTA KOINA

Mulai dengan Minggu Paskah sampai dengan Minggu Pentakosta Gereja memasuki Masa Paskah yang akan berlangsung selama 50 hari. Kitab Kisah Para Rasul mengisi bacaan liturgis pada Masa Paskah. Kali ini saya mengajak para pembaca yang setia merenungkan sebuah kisah dalam Kitab Kisah Para Rasul yang justru tidak menjadi bacaan liturgi pada Masa Paskah …. 

Petrus tertegun melihat setumpuk uang di kakinya. Hampir-hampir dia tidak mempercayai hal yang terjadi. Ketika jemaat sedang dalam kesulitan finansial, tiba-tiba muncul Yusuf, orang Lewi kelahiran Siprus, yang tanpa pikir panjang menjual ladang miliknya dan menyerahkan uang hasil penjualan itu kepadanya. Sungguh tepat nama yang kemudian diberikan kepadanya, Barnabas, yang artinya anak penghiburan. Mendapat bantuan tepat pada waktunya tentu merupakan penghiburan besar. (bdk Kis 4:36-37).

Cara hidup jemaat perdana memang sangat ideal. Mereka sehati dan sejiwa serta segala sesuatu adalah kepunyaan bersama (Yun. apanta koina). Seorang wanita bernama Maria, ibu dari Yohanes Markus (diduga sebagai pengarang Injil kedua) selalu siap menyediakan rumahnya untuk tempat berkumpul dan berdoa (bdk Kis 12:12). Luar biasa! Padahal seorang ketua lingkungan sekarang ini selalu kelimpungan mencari umat yang bersedia dipakai rumahnya untuk kepentingan pertemuan lingkungan. Tapi begitulah cara Lukas melukiskan kehidupan umat Gereja Perdana.

Benarkah peristiwa ini pernah terjadi? Entahlah, sampai sekarang ada dua kelompok tafsir. Kelompok pertama meyakini bahwa hal ini benar-benar terjadi. Umat tidak peduli lagi dengan milik pribadi, karena mereka percaya bahwa Yesus akan segera datang untuk kedua kalinya. Hal ini terbukti bahwa di kemudian hari jemaat Yerusalem jatuh miskin, sehingga perlu mengandalkan sumbangan dari jemaat-jemaat lain di luar Palestina (bdk Kis 11:29). Kelompok kedua menyimpulkan bahwa cerita ini melukiskan keadaan ideal yang acap didengungkan oleh para filusuf Yunani. Karena orang Kristen Yunani adalah sidang pembaca Luk dan Kis, Lukas mencoba meyakinkan mereka bahwa cita-cita yang begitu luhur ternyata berhasil diwujudkan oleh jemaat perdana!  

Keindahan hidup jemaat perdana segera tercoreng dengan skandal memalukan yang dilakukan oleh pasutri Ananias dan Safira. Secara harafiah Ananias berarti Allah Pemurah dan Safira berarti cantik. Berbeda dengan Barnabas, yang tingkah lakunya sesuai dengan namanya, pasutri ini justru gagal membuktikan keluhuran nama mereka. Dalam Kis 5:1-11 diceritakan bahwa pasutri ini menjual sebidang tanah milik mereka. Namun, hanya sebagian hasil penjualan itu yang diserahkan kepada para rasul, sedangkan sebagian yang lain mereka tahan. Timbul pertanyaan, mengapa mereka harus melakukan hal tersebut, padahal menjual harta milik pribadi dan menyerahkan seluruh hasil penjualan kepada para rasul tidak pernah diwajibkan? Barangkali pasutri ini ingin menjadi terkenal, akan tetapi kurang bermurah hati.

Kisah yang sama pernah muncul di Perjanjian Lama. Dalam Yos 7:1-26 dikisahkan seorang Yahudi bernama Akhan mengambil barang-barang yang dikhususkan untuk TUHAN berupa perak, jubah, dan emas sebatang. Hal ini membangkitkan murka TUHAN dan Akhan dirajam lalu dibakar. Di tempat eksekusi Akhan didirikan sebuah batu peringatan dan tempat itu lalu diberi nama Lembah Akhor.

Bagaimana nasib Ananias dan Safira? Setali tiga uang. Mereka mati demi mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Kesalahan fatal yang mereka lakukan adalah mendustai Roh Kudus (bdk Kis 5:3), dengan demikian berarti mendustai Allah (bdk Kis 5:4). Peristiwa itu menimbulkan ketakutan yang luar biasa di tengah umat.

Daya tarik uang memang hebat. Yudas Iskariot, murid Yesus sendiri rela mengkhianati gurunya demi tiga puluh keping perak. Entah kebetulan atau tidak, Yudas Iskariot ditunjuk sebagai bendahara rombongan Yesus dan rupanya sering nilep uang kas. (bdk Yoh 12:6). Yudas Iskariot juga orang yang tahu harga barang. Minyak narwastu yang digunakan oleh Maria dari Betania untuk mengurapi kaki Yesus langsung dapat dia taksir harganya, yakni tiga ratus dinar (bdk Yoh 12:5). Dia benar-benar ekonom ulung.

Kisah-kisah di atas mengajarkan kepada manusia di segala tempat dan di segala zaman untuk berhati-hati mengelola uang umat. Uang umat adalah apanta koina, milik bersama, yang harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepada umat, tetapi terlebih-lebih kepada Allah. Menggelapkan uang umat berarti mendustai Roh Kudus, dengan demikian mendustai Allah.

Harian New York Times edisi 5 Januari 2007 melaporkan penggelapan dana umat di banyak keuskupan di Amerika Serikat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Universitas Villanova membuktikan bahwa 85% keuskupan di Amerika Serikat diterpa badai penggelapan dana umat dalam lima tahun terakhir. 11% responden bahkan menyatakan bahwa jumlah dana yang disalahgunakan mencapai lebih dari lima ratus ribu dolar, sedangkan 29%  keuskupan melaporkan kerugian di bawah lima puluh ribu dolar.

Hasil survei tentu saja sangat mengejutkan, mengingat bahwa Gereja Katolik memiliki peraturan keuangan yang jauh lebih ketat dibandingkan dengan gereja-gereja lain. Namun amat disayangkan peraturan-peraturan ini kerap diabaikan dan dalam sekejap uang pun melayang ke pundi-pundi orang yang tidak bertanggung jawab.

Di mana letak kesalahannya? Chuck Zech, direktur Pusat Studi Management Gereja di Universitas Villanova berkomentar: “Gereja adalah organisasi yang berbasiskan kepercayaan, sehingga terlalu memberikan kepercayaan kepada umatnya. Ada keyakinan kuat bahwa berbuat tidak jujur pasti tidak ada dalam benak seseorang yang bekerja untuk gereja, entah relawan atau imam. Akan tetapi manusia toh tetap manusia, dan godaan selalu besar, apalagi keuangan gereja selalu bersifat tunai, sehingga lebih mudah disalahgunakan.”

Hasil studi Villanova seharusnya menjadi genderang yang membangunkan banyak paroki di Indonesia. Sistem pengelolaan dana umat harus tepat, transparan, dan akuntabel. Segera setelah tercium ketidakberesan, harus segera dilakukan tindakan. Mat 18:15-17 boleh dijadikan acuan. Musyawarah harus menjadi langkah pertama.

Banyak penanggung jawab gereja memilih menutup-nutupi masalah dengan dalih supaya tidak terjadi keresahan di tengah umat. Langkah ini juga kiranya kurang bijaksana. Melalui Nabi Yehezkiel Allah pernah memperingatkan: “Kalau Aku berfirman kepada orang jahat: Hai orang jahat, engkau pasti mati! -- dan engkau tidak berkata apa-apa untuk memperingatkan orang jahat itu supaya bertobat dari hidupnya, orang jahat itu akan mati dalam kesalahannya, tetapi Aku akan menuntut pertanggungan jawab atas nyawanya dari padamu.  Tetapi jikalau engkau memperingatkan orang jahat itu supaya ia bertobat dari hidupnya, tetapi ia tidak mau bertobat, ia akan mati dalam kesalahannya, tetapi engkau telah menyelamatkan nyawamu.” (bdk Yeh 33:8-9)

Pada tahun 2012 Keuskupan Agung Jakarta menerbitkan Pedoman Keuangan Paroki (PKP KAJ) 2012. Penyusunan buku ini mengacu pada sistem akuntansi dan program GL yang merupakan penyempurnaan dari pedoman-pedoman yang pernah diterbitkan pada tahun 2008 dan 2010. Melalui PKP KAJ 2012 diharapkan tercipta suatu sistem tata layan keuangan dan harta benda paroki yang terpadu, kredibel, transparan, dan akuntabel. Semua ini tentu saja demi mengembangkan reksa pastoral paroki yang dibangun di atas sistem pengendalian yang sehat. 

Hati-hati! Bersih, Transparan, dan Profesional dalam Pengelolaan Aset Paroki

Nasib Tragis Ananias dan Safira