SUPAYA TIDAK ADA YANG TERBUANG

Dipublikasikan tanggal 08 April 2016

 

SUPAYA TIDAK ADA YANG TERBUANG

Renungan dari Yoh 6:1-15

“Warga Madaya di pinggiran Kota Suriah mengatakan mereka ingin segera pergi dari sana. Warga berujar, kelaparan yang meluas dan melonjak menyebabkan mereka bertahan hidup dengan air dan garam saja. Bahkan seorang aktivis oposisi mengatakan orang-orang di Madaya ada yang makan daun dan tanaman.”  (Tempo, 12 Januari 2016)

Membaca Injil hari ini Yoh 6:1-15, saya berdoa dalam hati, “Yesus, hadirlah di Madaya!” Peristiwa penggandaan roti dengan latar belakang Paskah merupakan tanda yang keempat dari tujuh tanda dalam bagian pertama Injil Yohanes. Tanda ini juga mengawali wejangan panjang Yesus tentang “Roti Hidup”, yang kemudian dikembangkan dengan pemahaman sakramentalnya.

Hari itu banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus, tetapi dengan alasan yang sangat manusiawi: mereka ingin menyaksikan atau mungkin mengalami sendiri mukjizat penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus.

Ada beberapa hal yang dilakukan oleh Yesus sebelum Dia membuat mukjizat penggandaan roti. Pertama, Dia mencobai Filipus dengan bertanya, “Di mana kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” Jawaban Filipus melenceng jauh; pertanyaan “di mana” dibalas dengan jawaban “berapa”; “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini.”

Ternyata ada seorang anak yang mempunyai lima roti dan dua ikan, yang bersedia merelakan bekal perjalanannya (orang Yahudi dewasa makan tiga roti bundar setiap harinya). Yesus juga memberi perintah agar orang-orang duduk.

Barulah Yesus membuat mukjizat; Ia mengambil roti, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ; hal yang sama dilakukan-Nya juga terhadap ikan-ikan itu. Alhasil, semua orang makan sampai kenyang, dan murid-murid disuruh-Nyalah mengumpulkan roti yang tersisa: 12 bakul penuh! Padahal yang makan lebih daripada 5000 orang.

Kembali ke Madaya! Di mana Yesus? Mengapa Dia tidak hadir justru di tengah penderitaan warga kota Madaya yang sekarang dicap sebagai kota kelaparan Suriah? Inilah yang harus menjadi permenungan kita sepanjang hari ini:

  1. Mungkin Yesus sedang menantikan jawaban kita seperti jawaban Filipus; “Tuhan saya tidak mampu membantu. Keuangan saya sangat terbatas. Masih banyak yang harus saya biayai.”
  2. Jawaban klise itu terbantahkan dengan persembahan seorang anak kecil yang rela menyerahkan miliknya yang sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan pada hari itu. Lima roti dan dua ikan adalah jatah makan dua hari, kalau dinilai dengan nilai uang sekarang di Jakarta, mungkin berkisar 200 ribu rupiah. Pertanyaannya, apakah kita rela memberikan jatah makan kita dua hari untuk sesama yang sangat membutuhkan bantuan kita?
  3. Kerelaan kita sekecil apapun jumlahnya tidak pernah sia-sia kalau dipersembahkan kepada Kristus. Dia yang akan melipatkgandakannya.
  4. Murid-murid Kristus tidak boleh membuang-buang makanan. Makanan-makanan yang tersisa ternyata banyak jumlahnya, dua belas bakul. Kita mungkin tidak pernah sadar bahwa makanan yang acap tidak kita habiskan ternyata jumlahnya tidak sedikit! Maka, hari ini juga kita ditantang untuk menghargai kemurahan Tuhan dalam rupa makanan dan minuman yang kita santap hari ini. Jangan ada yang terbuang! Dalam teks aslinya bahkan berbunyi “supaya tidak ada yang BINASA (Yun. apoletai, terbuang).” Membuang-buang makanan secara tidak bertanggung jawab adalah jalan menuju kebinasaan.

Maka, ternyata untuk membantu Yesus membuat mukjizat tidak sulit. Kita cukup menjawab tantangan Yesus, merelakan sebagian dari milik kita dan menyerahkannya kepada Yesus, dan tidak membuang-buang rezeki yang sudah kita terima dari Allah.

Selamat melewati hari Jumat penuh berkat!

 

 Seorang Anak Menderita Kelaparan di Madaya Suriah

Foto: Dewan Revolusi Lokal (https://m.tempo.co/)