TAIZÉ, MUSIM SEMI YANG KECIL

Dipublikasikan tanggal 26 August 2016

TAIZÉ, MUSIM SEMI YANG KECIL

Mengenal Komunitas Taizé dan Doa Mereka

Taizé adalah sebuah nama desa kecil di Burgundy, Perancis, kurang lebih 378 km di sebelah selatan kota Paris. Di tempat inilah menetap Komunitas Taizé, yang pada awalnya (1940) merupakan komunitas para biarawan Kristen yang bersifat ekumenis. Pendiri komunitas, Br. Roger Louis Schutz mendapatkan inspirasi untuk membentuk komunitas ini setelah berkecamuk Perang Dunia II yang mengerikan, di mana bangsa-bangsa Eropa terpecah belah, termasuk perpecahan hebat dalam agama Kristen sendiri (Katolik, Protestan, Ortodoks, Anglikan dan sebagainya). Merasa prihatin dengan hal tersebut, beliau bersama beberapa biarawan pada saat itu, memulai kehidupan  bersama dengan berpegang pada tradisi monastik dan kehidupan selibat. Sampai saat ini sudah ada beberapa orang bruder berkebangsaan Indonesia seperti Br. Francesco dan Br. Andre.

Di mana pun para bruder berada, mereka berdoa tiga kali sehari pada waktu-waktu tertentu. Doa dengan nyanyian dari Taizé sangat khas karena diisi dengan lagu-lagu meditatif yang dinyanyikan berulang-ulang, Susunan doa dengan nyanyian dari Taize adalah: satu atau dua nyanyian pujian, Mazmur, Bacaan Kitab Suci, nyanyian, saat hening, doa permohonan atau pujian, doa Bapa Kami, doa penutup, dan nyanyian. Pada setiap hari Sabtu malam dilaksanakan doa di sekitar Ikon Salib. Ikon Salib Taizé sangat khas dan mirip dengan ikon salib San Damiano dari tarekat Fransiskan. Memang orang Katolik mulai bergabung dengan Komunitas Taizé pada tahun 1968 dengan kehadiran sekelompok biarawan Fransiskan. 

Nyayian dari Taizé merupakan nyanyian sederhana yang dilantunkan berulang-ulang sambil tetap menjaga suasana khidmat. Lagu yang berirama cepat maupun lambat, keras maupun lembut, kuat maupun lirih, dibawakan terus menerus atau bersahut-sahutan, dengan beberapa lagu diselingi ayat-ayat oleh solis di sela-sela ayat utama. Beberapa lagu dibiarkan tetap dalam versi aslinya (bahasa Latin) agar karena ada teks bahasa Latin yang sulit untuk disesuaikan dalam berbagai bahasa. Namun, untuk mempermudah penghayatan, ayat-ayat solis dan doa-doa biasanya menggunakan bahasa setempat, atau setidaknya bahasa yang dimengerti oleh sebagian besar peserta ibadat.

Pada waktu-waktu tertentu Taizé menjadi tempat ziarah yang sangat populer dengan pertemuan “The Pilgrimage of Trust on Earth”, yakni pertemuan kaum muda dari seluruh dunia. Paus St. Yohanes Paulus II mengunjungi Taizé pada tanggal 5 Oktober 1986 dan  mengatakan, “Seseorang yang singgah di Taizé bagaikan mendekati sumber mata air. Di sini seorang peziarah berhenti, melepaskan dahaganya sebentar, sebelum melanjutkan perjalanannya”. Uskup Agung Canterbury, kepala gereja Anglikan bersama seribu orang muda berziarah ke Taizé pada tahun 1992. Di Indonesia doa dengan nyanyian dari Taizé telah menyebar ke dalam lingkungan Gereja, perkumpulan sekolah, hingga ke jenjang universitas, termasuk salah satunya unit Pastoran Atma Jaya. Kelompok doa dengan nyanyian dari Taizé sudah lahir di paroki Santo Lukas sejak tahun 90-an atas bimbingan para biarawati Ursulin. Doa dengan nyanyian dari Taizeé mulai berkembang di Indonesia pada pertemuan para Uskup se-Asia di Lembang pada tahun 1990. Sekelompok awam mulai melaksanakan doa dengan nyanyian dari Taizé secara rutin di bawah koordinasi Sr. Be Kien Nio, OSU.

Doa di Sekitar Ikon Salib

Pertemuan Kaum Muda "The Pilgrimage of Trust on Earth"