MEMAKNAI PANCASILA DALAM TERANG SABDA

Dipublikasikan tanggal 28 August 2016

MEMAKNAI PANCASILA DALAM TERANG SABDA

Bulan Kitab Suci 2016

Sebentar lagi umat Katolik akan memasuki Bulan Kitab Suci. Tahun ini Keuskupan Agung Jakarta menetapkan tema “Memaknai Pancasila dalam Terang Sabda”. Tentu saja hal ini berkaitan dengan Ardas 2016-2020 di mana Gereja KAJ bercita-cita untuk menjadi pembawa damai dan sukacita injili, mewujudkan Kerajaan Allah yang Maharahim dengan mengamalkan Pancasila demi keselamatan manusia dan keutuhan ciptaan.

Meskipun baru saja merayakan HUT Kemerdekaan yang ke-71, sebagai bangsa Indonesia kita harus mengakui bahwa negara kita belum sepenuhnya terbebas dari penjajahan. Kita masih mengalami penjajahan ekonomi, penjajahan budaya, dan penjajahan perilaku. Akibatnya negara kita kehilangan jati diri dan watak bangsa, hal ini terbukti dengan maraknya korupsi, kekerasan dalam rumah tangga dan perilaku para politisi yang jauh dari harapan rakyat. Di samping itu, masih banyak rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dengan infrastruktur terbatas dan tingkat pendidikan yang rendah. Oleh sebab itu, BKS 2016 bisa menjadi momentum bagi umat Katolik untuk merenungkan dan menerapkan nilai-nilai budaya bangsa serta menyosialisasikan Pancasila sebagai ideologi bangsa.

Pada dasarnya Pancasila terdiri dari dua aras: aras ketuhanan dan aras kemanusiaan.  Dengan sila pertama bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya kepada Tuhan yang Mahaesa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Aras ketuhanan sangat berhubungan dengan aras kemanusiaan. Maka, manusia Indonesia wajib mengembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, dan membina kerukunan hidup. Di samping itu bangsa Indonesia mengakui bahwa agama dan kepercayaan adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan, maka perlu dikembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah dan tidak memaksakan suatu agama/kepercayaan kepada orang lain. Akan tetapi semua butir pengamalan sila pertama Pancasila ini nampaknya hanya retorika belaka. Akhir-akhir ini kita melihat maraknya demo pelarangan pembangunan tempat ibadah dan tindakan kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Sesungguhnya, kemanusiaan dilaksanakan dengan mencintai sesama, mengembangkan toleransi, tidak sewenang-wenang, berani membela kebenaran dan keadilan serta mendahulukan yang miskin. Keberpihakan kepada kaum miskin (preferential option for the poor) pertama kali digunakan oleh superior general Jesuit, P. Pedro Arrupe pada tahun 1968 dalam surat kepada ordonya. Istilah ini kemudian dipakai oleh para uskup Amerika Latin. Gerakan berpihak kepada kaum miskin nampaknya dihubungkan dengan “salah seorang saudara-Ku yang paling hina” yang diucapkan oleh Yesus dalam Mat 25, “… sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40) Pada tahun 1991 Paus Yohanes Paulus II menggunakan istilah tersebut dalam ensiklik Centesimus Annus.

Mengapa kemiskinan masih melilit bangsa yang sudah 71 tahun merdeka ini? Pertama, karena negara kurang berpihak kepada rakyat. Hal ini nampak dari tingginya tingkat pengangguran dan masalah gizi buruk. Ketika standar gizi sehat untuk manusia adalah 2.200 kalori per hari, masyarakat di P. Jawa yang dianggap paling maju, hanya berkisar 1.700 – 1.800 kalori. Demikian pula halnya dengan komposisi masyarakat. Tiga persen dari jumlah rakyat Indonesia berasal dari golongan sangat kaya dan menguasai perekonomian negara, 17% dari golongan menengah ke atas, 40% dari golongan pas-pasan, dan 40% dari golongan di bawah garis kemiskinan.

Dalam Kitab Suci PL maupun PB kita menyadari bahwa kemiskinan fisik selalu ada. Meskipun kemiskinan fisik bisa saja diakibatkan karena kemalasan, kerakusan, kebodohan, dan malapetaka, namun kebanyakan rakyat miskin adalah korban kelompok-kelompok yang tidak adil. Namun secara menakjubkan Allah membentuk sejarah melalui dan bersama-sama orang miskin. Dalam PL kita mengenal kelompok anawim, yakni kaum miskin yang sangat mengandalkan Allah. Kalau di dalam PL kemiskinan lebih bersifat kemiskinan fisik, di dalam PB kemiskinan sudah berdimensi fisik, ekonomi, sosial politik dan religius. Mesias datang ke dunia untuk “membebaskan orang-orang yang tertindas.” (Luk 4:19)

Selama ini mungkin saja kita bukannya tidak pernah melibatkan diri dengan kaum miskin. Kita kerap berkunjung ke komunitas orang miskin: panti asuhan, panti jompo dll. Namun tentu saja bentuk kegiatan keterlibatan dengan kaum miskin bukan hanya itu. Ada juga yang melaksanakan penelitian ilmiah yang terdorong oleh keprihatinan terhadap kaum miskin. Keterlibatan pada kaum miskin yang paling utama adalah bagaimana kita hidup di tengah rakyat miskin dan bekerja sama dengan mereka. Kegiatan-kegiatan seperti advokasi rakyat kecil tanpa kepentingan politis dan membuka kesempatan kerja untuk mereka tentu saja sangat mulia. Gereja mungkin saja bisa menampilkan tokoh Bunda Teresa, yang mengumpulkan para gelandangan di saat-saat kematiannya. Atau P. Werner yang dalam kurun waktu 1970-1975 tidak lelah mendampingi para tahanan politik di P. Buru. Di tingkat paroki keberpihakan kepada kaum miskin dilayani oleh SPSE dan Seksi Pendidikan & Bursa Kerja.

Sangat diharapkan bahwa selama empat kali pertemuan selama BKS 2016 umat bersama-sama belajar bagaimana empat sila Pancasila ditinjau dari perspektif Allah dan semoga sebagai umat KAJ dan juga sebagai bangsa Indonesia dapat semakin menjadi garam dan terang dunia. Selamat memasuki Bulan Kitab Suci 2016 penuh berkat!

Gereja Harus Berpihak kepada Kaum Miskin

Sungguhkah Bangsa Indonesia Sudah Merdeka?